Webinar “Kesiapan Pemerintah Dan Industri Menghadapi Indonesia Bebas Odol 2023” yang digelar Sinar Harapan. Net di Jakarta, Senin (20/12/2021). (Ist)

Dunia Industri Minta Pelaksanaan Kebijakan Zero ODOL Ditunda 2025

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pengusaha, pelaku industri dan jajaran pemerintah meminta agar kebijakan zero over dimension over loading (ODOL) yang sedianya diterapkan pada Januari 2023 ditunda setidaknya pada tahun 2025. Sebab, dunia industry belum benar-benar pulih akibat imbas pandemi dua tahun terakhir.

Permintaan ini terungkap dalam Webinar “Kesiapan Pemerintah Dan Industri Menghadapi Indonesia Bebas Odol 2023” yang digelar Sinar Harapan. Net di Jakarta, Senin (20/12/2021).

Webinar dipandu Pengamat Kebijakan Publik Andri Gunawan SH, MA ini menampilkan narasumber Ir. Ignatius Warsito, M.B.A. Staf Ahli Menteri Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri Kementerian Perindustrian); Rachmat Hidayat (Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik- Gabungan Asosiasi Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI); Yustinus Gunawan (Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman). Ir. M. Popik Montansyah (Direktur Prasarana Transportasi Jalan, Ditjen Perhubungan Darat, Kemenhub); Susiwijono Moegiarso, S.E., M.E. (Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian); Drs. Suripno MTrs ( Sekolah Tinggi Transportasi Darat- Trisakti).

Staf Ahli Menteri Bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri Kementerian Perindustrian, Ir. Ignatius Warsito, MBA mengatakan, saat ini industri nasional dalam masa recovery yang dapat dilihat dari pertumbuhan yang mengalami kenaikan mulai TW III tahun 2020. Namun pada TW III tahun 2021, pertumbuhan kembali mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi dan industri masih dibayangi oleh gelombang pandemi berikutnya yang mungkin terjadi.

Mengenai kebijakan Zero ODOL, Ignatius mengatakan, diperkirakan, kebutuhan truk pada beberapa industri seperti semen, keramik kaca pupuk pulp dan kertas baja beton ringan serta makanan dan minuman akan meningkat sebesar 65% hingga 112% dari jumlah semula. Penambahan jumlah armada tentunya memerlukan perluasan lahan parkir. Selain itu, akan ada penambahan kebutuhan BBM.

Menurutnya, diperkirakan peningkatan/tambahan kebutuhan solar untuk angkutan industry semen, beton ringan, kaca, serta pulp dan kertas sebesar 6,35 M liter/ tahun dari sebelumya sebesar 9,72 M liter/ tahun.

Ignatius mengatakan, Kemenperin mendukung pemberlakuan Kebijakan Zero ODOL. Namun dalam penerapannya memerlukan perencanaan yang tepat sasaran agar tidak berdampak negatif danmenimbulkan shock terhadap makro perekonomian dan khususnya pada perkembangan industri.

Dia menjelaskan, Industri kehilangan momentum sekitar dua tahun dalam persiapan pelaksanaan kebijakan Zero ODOL secara penuh pada tahun 2023 karena adanya pandemi Covid-19.

Untuk itu, Ignatius mengatakan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan penyesuaian kembali waktu pemberlakuan Zero ODOL pada tahun 2025.
Keinginan penundaan juga disampaikan Rachmat Hidayat dari Gabungan Asosiasi Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).

Menurutnya, pihaknya mengapresiasi Kemenperin, sebab dengan pandemi pada dua tahun terakhir ini industri makan minum sangat terpukul dan saat ini hanya sekadar survival. “Saat ini masih recovery dan membutuhkan waktu untuk pulih,” jelasnya.

Rachmat mengharapkan, pihaknya tidak menolak Zero ODOL, tetapi sangat mengharapkan agar pelaksanaannya ditunda sampai 2025. Sebab, dengan penerapkan kebijakan ini dengan sendirinya akan menaikkan biaya angkut.

Mengenai sanksi hukum, Rachmat mengharapkan, agar pemerintah mengedepankan sisi pembinaan daripada hukuman atau sanksi.

Senada dengan Rachmat, Yustinus Gunawan dari Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) mengatakan, kebijakan Zero ODOL akan berdampak pada kenaikan langsung biaya logistik sekitar 23%. Bahkan, katanya, UGM mencatat setiap satu persen inefisiensi di sektor transportasi pada industry berpotensi menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,057%.

Untuk itu, kata Yustinus, diperlukan waktu 3 tahun, 2020 – 2022, untuk sepenuhnya kembali ke tingkat operasional sebelum pandemi, Selain itu, dibutuhkan waktu 2 tahun, 2023 – 2024, untuk kembali ke tingkat finansial sebelum pandemi, sehingga industri sudah cukup kuat dan siap investasi untuk peremajaan dan/atau penambahan armada truk.

“Kami dengan rendah hati memohon agar diberikan lagi unjury time dua tahun, sehingga bisa dilakukan pada tahun 2025,” katanya.

Sementara itu, Direktur Prasarana Transportasi Jalan, Ditjen Perhubungan Darat, Kemenhub, Ir. Popik Montansyah, mengatakan, sebenarnya persiapan kebijakan Zero ODOL ini sangat siap, karena dimulai tahun 2017.

Dia menjelaskan, sebenarnya kebijakan Zero ODOL ini tidak perlu ada, kalau semua mengikuti peraturan yang ada, sehingga tidak ada pelanggaran ketentuan safety. Popik menjelaskan berbagai dampak dari kelebihan muatan dan dimensi, mulai dari kecelakaan sampai dengan kerugian akibat kerusakan industri.

Popik Montansyah menegaskan, pihaknya mendukung pergerakan ekonomi yang memenuhi syarat keamanan di jalan. “Apakah kita mentolerir pelanggaran yang berdampak pada safety dan kerugian infrastruktur? Pilihannya ada di kita, apakah mendistribusikan logistic dengan odol atau mengurangi kecelakaan lalu lintas dan kerugian infrastruktur,” jelas Popik.

Dia menegaskan, pewujudan zero ODOL merupakan upaya dan komitmen bersama sebagai bentuk tanggung jawab moral bagi seluruh pengguna jalan.

Sementara itu, Asisten Deputi (Asdep) Fasilitasi Perdagangan dari Kemenko Perekonomian, Tatang Yuliono mengatakan, ODOL merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum yang harus dilakukan penegakan hukum, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Dia juga menjelaskan, implementasi kebijakan Zero ODOL tidak secara tiba-tiba diberlakukan, karena sudah melalui beberapa kali penundaan. Tatang menjelaskan kebijakan ini dimulai tahun 2017.

Menurut Tatang, implementasi kebijakan Zero ODOL 2023, harus bisa ditegakkan, namun dalam masa transisi 2021-2023 diberikan toleransi sehingga tidak merugikan industri, dan memberikan waktu yang cukup kepada industri untuk melakukan penyesuaian.

Kemenko perekonomian, jelas Tatang, juga mempertimbangkan perlunya diberikan insentif (fiskal & non-fiskal), untuk industri dalam upaya menerapkan implementasi kebijakan Zero ODOL. “Insentif ini diperlukan agar industri bisa melakukan peremajaan kendaraannya, namun tentunya hal ini perlu dibahas dengan Ditjen pajak,” ungkap Tatang.

Selain itu, dikatakan juga bahwa penegakan (enforcement) kebijakan Zero ODOL diharapkan menjadi peluang pengembangan sistem transportasi multimoda dalam mendistribusikan barang melalui penggabungan moda transportasi darat dengan moda lainnya, dimana hal ini memerlukan sinergi antar kementerian terkait.

Pengamat Transportasi dari Trisakti, Suripno mengatakan, sebenarnya ada kelemahan koordinasi dalam persiapan kebijakan zero ODOL, padahal kebijakan ini berdampak ke berbagai bidang. Dia menegaskan, penerapan kebijakan Zero ODOL harus melalui peratiran presiden, bukan peraturan menteri.

Dia juga menyampaikan berbagai rekomendasi untuk memperbaiki transportasi lalu lintas dan angkutan jalan. Dia mengatakan, perlu ada pihak yang menjadi “komandan” dalam pelaksanaan Zero ODOL.