Para Penolak RUU Perlindungan PRT Berparadigma Feodalistik

Loading

JAKARTA (Independensi)- Sudah 18 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dibahas di DPR, dan bahkan masuk Prolegnas Prioritas. Namun, RUU tersebut tak kunjung diloloskan menjadi undang-undang.

Padahal, sebagaimana dinyatakan Koordinator Koalisi Sipil RUU PPRT Eva Kusuma Sundari, ‘bola’ pengesahan RUU ini sepenuhnya ada di DPR.  Karena sejatinya, pemerintah sudah membuat gugus tugas, dan ingin menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) mereka.

RUU PPRT diusulkan tahun 2004 setelah melalui kajian mendalam selama lebih dari empat tahun. Pada tahun 2010 RUU ini masuk tahap pembahasan di Komisi IX DPR, dan sepanjang tahun 2011-2012 Komisi Ketenagakerjaan DPR kembali melakukan riset di 10 kabupaten/kota, uji publik di tiga kota dan studi banding ke dua negara.

Draft RUU PPRT akhirnya diserahkan ke Badan Legislasi DPR pada tahun 2013. Tetapi sepanjang masa bakti DPR tahun 2014-2019, RUU itu pun menghilang, dan baru dibahas lagi pada periode DPR 2019-2024.

Pada tahun 2020 RUU PPRT selesai dibahas di Badan Legislasi dan masuk ke Badan Musyawarah sebagai Prolegnas Prioritas tahun 2021. Tetapi sialnya, RUU ini lagi-lagi tertahan dan belum diketahui apakah bisa menjadi RUU inisiatif DPR untuk dibahas lebih lanjut, apalagi untuk disahkan.

Lantas, apa gerangan penyebab macetnya pembahasan dan pengesahan RUU ini?

Ternyata, ‘biang kerok’nya adalah dua Fraksi di DPR-RI yang getol menolak RUU ini.  Sialnya lagi, dua fraksi ini tergolong fraksi ‘gajah’ di DPR-RI, yakni Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar.

Dan lebih sial lagi, Ketua DPR-RI saat ini berasal dari salah satu Fraksi penolak RUU PPRT, yakni PDI Perjuangan. Hal itu menyebabkan Koalisi Sipil untuk UU PPRT menyatakan Ketua DPR-RI Puan Maharani telah melakukan praktik ‘veto’ terhadap RUU PPRT.  Sebab, faktanya, RUU PPRT sudah di meja Ketua DPR selama 2 tahun tetapi tidak kunjung diagendakan ke Sidang Paripurna.

Menurut Koalisi, praktik veto oleh Ketua DPR terhadap RUU PPRT tersebut merupakan pelanggaran dari UU MD3. Koalisi pun meminta agar para anggota dan pimpinan Baleg serta pimpinan 7 fraksi sebagai inisiator dan pendukung RUU PPRT membuat laporan dugaan pelanggaran etik Ketua DPR kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lalu, apa penyebab dua partai besar itu menjegal RUU PPRT?

Eva Kusuma Sundari mengungkapkan ada
persepsi yang salah dari para politisi partai-partai penolak RUU Perlindungan PRT. Pada umumnya, mereka menilai semangat gotong royong yang selama ini diterapkan dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dengan PRT akan rusak jika RUU ini disahkan.

Hal itu terkonfirmasi oleh pernyataan Politisi Partai Golkar Nurul Arifin pada 2013. Dia menilai,
RUU PPRT merusak tatanan kekerabatan dan gotong royong yang telah mengakar di masyarakat. RUU itu, dinilai oleh Nurul dan partainya, berlandaskan tradisi liberal berbasis materialisme yang tak sesuai budaya Indonesia.

Sejatinya, pandangan para penolak RUU PPRT bahwa hubungan kerja antara majikan dan PRT harus dilandasi oleh tradisi gotong-royong dan kekerabatan sebenarnya diwariskan dari masa feodalisme.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Biasanya, para bangsawan ini memiliki tanah yang luas, sekaligus para penggarap nya.

Di Nusantara, sistem feodalisme ini diterapkan pada zaman kerajaan sebelum kolonialisme Eropa datang. Para petinggi Kerajaan dan bangsawan memiliki pembantu yang memasak, merawat anak-anak raja dan pejabat tinggi kerajaan, dan melakukan tugas bersih-bersih di istana maupun rumah-rumah kaum bangsawan.

Para pembantu itu tidak mendapatkan upah. Mereka biasanya bekerja atas dasar pengabdian kepada kerajaan dan mendapat rezeki secukupnya dari kerajaan atau para bangsawan.

Kini, meski zaman sudah berubah, paradigma feodalistik dalam memandang pembantu masih digunakan oleh kebanyakan masyarakat kita, termasuk para Politisi. Pembantu masih dianggap sebagai orang yang harus melayani majikan. Mereka dipandang berbeda dari pekerja pada umumnya dalam hubungan kerja industrial-kapitalisme.

Jadi, para majikan masih dipandang  memiliki kekuasaan penuh atas diri pembantu. Para pembantu pun harus menuruti perintah majikan untuk berbagai macam jenis pekerjaan. Hubungan kerja semacam ini, terus berlangsung dengan diselubungi ‘mantra-mantra’ seperti ‘gotong-royong’ dan ‘kekeluargaan’.

Dengan berlandaskan paradigma feodalistik itu, mereka menuduh RUU PPRT akan menyeret hubungan kerja antara majikan dan PRT menjadi seperti hubungan industrial. Dan itu dinilai akan merusak kultur gotong-royong antara majikan dan PRT.

Padahal, RUU ini sama sekali tidak berupaya menyamakan relasi kerja antara majikan atau rumah tangga dan PRT, dengan hubungan industrial antara pengusaha atau perusahaan dan buruh.

 RUU ini hanya ingin memastikan seluruh PRT mendapatkan perlindungan dalam melakukan tugas pekerjaan nya sehari-hari. RUU ini bertujuan mencegah PRT mendapatkan perlakuan tak manusiawi, seperti perbudakan kerja dan kekerasan.

Bukan rahasia, bahwa seringkali terjadi pemberangusan hak PRT dalam wujud perbudakan maupun kekerasan. Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sepanjang 2015 – 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia.

Semua itu terjadi, karena paradigma feodalistik yang masih menghinggapi banyak majikan.

Ironisnya, salah satu partai penolak RUU ini adalah partai yang mengklaim diri sebagai pewaris ideologi Marhaenisme ajaran Bung Karno.

Ketika melalui berbagai tindakan dan ajarannya di masa lalu, Bung Karno gigih memperjuangkan penghancuran terhadap feodalisme, para kader partai ‘pewaris’ Marhaenisme di DPR justru mendasarkan pandangannya terkait PRT pada paradigma feodalistik. Dan dengan paradigma feodalistik tersebut, partai ‘pewaris’ Marhaenisme  itu gigih menjegal regulasi yang dibuat untuk kesejahteraan kaum Marhaen, yakni RUU PPRT. (Hiski Darmayana)