Aparat Harus Tangkap Perusak Wale Paliusan Penghayat Kepercayaan Laroma

Loading

MINAHASA SELATAN (Independensi)- Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur Dr. Denni Pinontoan mendesak aparat untuk segera memproses para pelaku perusakan Wale Paliusan, yang merupakan rumah tinggal dan tempat berkumpul penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma) di Desa Tondei Dua, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (Sulut), beberapa waktu lalu.

Denni menegaskan, apapun alasannya pelaku harus diproses secara hukum.

“Ada mekanismenya. Untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam menangani tindak kriminal bernuansa agama yang menimpa penganut Malesung, Laroma,” kata Denni, baru-baru ini.

Baginya, pembiaran aparat penegak hukum terhadap pelaku yang sejak 21 dan 22 Juni lalu melakukan penghancuran Wale Paliusan di Tondei Dua adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Pembiaran polisi dan aparat hukum lainnya terhadap penghancura tersebut, sama artinya negara melakukan kejahatan HAM (crime by omission).

Justru, kata Denni, korban jangan diperlakukan seperti pelaku, sehingga aparat kepolisian seolah memberikan pembenaran kekerasan.

“Jangan yang terjadi malah kriminalisasi terhadap korban karena tuduhan tak berdasar, seperti memicu konflik,” ujarnya.

“Jangan diputarbalikkan. Laroma adalah korban. Harus dilindungi, dijamin hak-haknya dan mendapatkan keadilan hukum,” tambah Denni.

Terkait penentangan beberapa tokoh agama terhadap Laroma, Denni sangat berharap masyarakat harus menerima pemeluk agama atau keyakinan yang bukan Kristen di Minahasa, seperti Islam, Budha, Hindu, Yahudi, Konghucu maupun penghayat kepercayaan seperti Laroma.

Masyarakat Minahasa Selatan, papar Denni, harus memperoleh edukasi dan literasi multikultural, karena Minahasa terdiri dari banyak agama atau kepercayaan dan etnis.

“Masyarakat tidak bisa melakukan resistensi terhadap Laroma. Secara kultural, Minahasa sangat beragam. Hormatilah keberagaman ini,” pungkas Denni. (Hiski Darmayana)