JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung giliran bongkar kasus dugaan korupsi yang terjadi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kali ini terkait proyek pengadaan Tower Transmisi tahun 2016 dengan anggaran pekerjaan Rp2,251 triliun yang diduga merugikan keuangan negara.
Jaksa Agung Burhanuddin mengungkapkan kasus tersebut resmi ditingkatkan ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Nomor Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.
“Setelah pada tahap penyelidikan ditemukan peristiwa pidana dugaan korupsi dengan adanya fakta-fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,” kata Jaksa Agung dalam konfrensi Pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (25/7).
Dia mengatakan tim jaksa penyidik berdasarkan surat perintah penyidikan juga telah melakukan penggeledahan di tiga tempat yaitu kantor PT. Bukaka, rumah dan apartemen pribadi milik SH.
“Dalam penggeledahan tim jaksa penyidik menemukan dan menyita dokumen dan barang elektronik terkait dugaan korupsi pengadaan tower transmisi di PT PLN,” ucap Jaksa Agung didampingi JAM Pidsus Febrie Adriansyah dan Direktur Penyidikan Supardi.
Sementara Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menambahkan dalam tahap penyelidikan ditemukan fakta-fakta hukum antara lain dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahu 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower.
“Padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016. Namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat,” tuturnya seraya menyebutkan PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodir permintaan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo).
“Sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli PT Bukaka. Karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua Aspatindo,” ucapnya.
Dikatakannya juga PT Bukaka dan 13 Penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.
Selanjutnya, tutur dia, pada periode November 2017 hingga Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama satu tahun.
Kemudian, katanya, PT PLN dan Penyedia Tower melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019.
“Dengan alasan pekerjaan belum selesai dan ditemukan fakta hukum tambahan alokasi sebanyak 3000 set tower di luar kontrak dan addendum,” ucap Sumedana yang menyebutkan terkait kasus tersebut tim jaksa penyidik akan memeriksa 12 saksi sampai satu minggu ke depan.(muj)