Oleh Bachtiar Sitanggang SH
Jaksa Agung RI Prof. Dr. Sanitiar Burhanuddin SH MH viral di media sosial dengan durasi beberapa detik, dan diakhiri dengan kata-kata, agar “Kejaksaan harus mampu menunjukkan penegakan hukum yang tajam ke atas humanis ke bawah tanpa pandang bulu”.
Video tersebut tidak menjelaskan kapan dan di mana serta kepada siapa berbicara, tapi melihat pesertanya para anak muda dengan rambut cepak dengan seragam Kejaksaan, mungkin di depan para calon jaksa.
ST Burhanuddin, demikian sering disebut pers, bukan tanpa alasan menyarankan agar tajam ke atas humanis ke bawah dengan menggunakan hati nurani serta tidak legal formalistik dan kepastian hukum.
Jaksa Agung yang dilantik 23 Oktober 2019 itu menjelaskan, “contoh, kasus nenek Minah, yang didakwa melakukan pencurian 3 buah kakao kemudian divonis 1 bulan dan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Tentunya kasus nenek Minah mengusik rasa keadilan banyak pihak karena hanya dengan 3 buah kakao seorang nenek yang sudah tua renta tetap diproses hukum yang panjang.
Kasus lain yang serupa tentunya kakek Samirin yang divonis bersalah 2 bulan dan 4 hari penjara karena mencuri getah karet yang hanya sekitar Rp. 17.000.
Akhirnya banyak kalangan yang memandang jika hukum bagaikan pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Untuk itu saya tidak menginginkan lagi ada munculnya kasus -kasus serupa di dalam pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh Jaksa”.
Ditegaskannya, “Saya tidak menghendaki ketika saudara menjadi jaksa, saudara melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di dalam masyarakat.
Menuntut bukan hanya sebatas menghukum, ingat menuntut bukan hanya sebatas menghukum ingat itu!
Melainkan lebih dari itu, menuntut adalah bagaimana memberikan keadilan dan kemanfaatan terhadap seseorang dengan berpangkal pada hati nurani kalian.
Mengapa hati nurani? Saya tegaskan kepada ceramah saya kali ini karena beranjak dari tataran empiris”.
Sebagai Jaksa Agung, yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum dan perwujudan keadilan ternyata menyadari bahwa telah menciderai rasa keadilan masyarakat.
Oleh karenanya dia mengungkapkan “kekeliruan” selama ini oleh karenanya dia mengatakan “Penegakan hukum dewasa ini yang cenderung mengedepankan legalitas formal pada aspek kepastian hukum daripada keadilan dan kemanfaatan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat”.
Sebenarnya keluhan masyarakat dalam bidang penegakan hukum bukan hanya kepada Kejaksaan, tetapi hampir merata kepada aparat penegak hukum, Penyidik-Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim dan tidak terkecuali para Advokat, termasuk Lembaga Kemasyarakatan.
Masyarakat melalui media sosial sangat mengapresiasi ketegasan Jaksa Agung tersebut, walaupun dirasakan terlambat tetapi daripada terus-menerus Kejaksaan itu dalam menegakkan hukum “tumpul ke atas, tajam ke bawah” dan “tidak menggunakan hati nurani”, apa yang dikemukakan ST Burhanuddin tersebut bagaikan ‘setitik embun dimusim kering” merambahnya ketidak adilan oleh oknum aparat penegak hukum.
“Kita tidak dapat menutup mata dari sejarah kelam penegakan hukum yang berkembang di Indonesia.
Telah terjadi beberapa kali peristiwa penegakan hukum yang seringkali menciderai rasa keadilan masyarakat”.
Di akhir potongan video tersebut, Jaksa Agung tegaskan, “Kejaksaan harus mampu menunjukkan penegakan hukum yang tajam ke atas humanis ke bawah tanpa pandang bulu”.
Memang kebijakan yang sering kita dengar dari para pimpinan institusi penegak hukum itu sangat bagus, seperti pendampingan Kejaksaan dalam proyek pembangunan di daerah yaitu TP4 (Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan Pemerintahan dan Pembangunan) di Pusat dan Daerah, ternyata di salah gunakan juga untuk mengeruk keuntungan pribadi orang lapangan, akhirnya kebijakan itu dihilangkan.
Terbukti tidak hanya oknum Kejaksaan, sesuai pengakuan AKBP Dalizon di sidang Pengadilan bahwa dana yang didapat dari proyek PUPR juga disalurkan ke atasannya sampai Rp. 500 juta setiap bulan, walaupun masih perlu dibuktikan benar atau tidak.
Harapan masyarakat para pimpinan institusi penegak hukum konsisten dan konsekuen dalam melakukan pengawasan dan tindakan tegas terhadap para pelanggar serta terbuka dan transparan, terutama tidak melukai hati masyarakat seperti bebasnya para koruptor dengan “dalih” bebas bersyarat.
Pemerintah dan DPR seyogyanya tanggap dalam menampung aspirasi masyarakat apabila ada kebijakan yang melukai rasa keadilan masyarakat.
Demikian juga setiap kebijakan hendaknya diawasi sehingga tidak menjadi bumerang akibat ulah pelaksana di tingkat operasional.
Bercermin pada kebijakan pemerintah tentang TP4 tahun 2015, ada kehawatiran yang muncul di masyarakat dengan kebijakan “restorative justice”, sebab kalau di-salah guna-kan akan berakibat negatif lagi.
Karena tidak semua kasus pidana dapat diselesaikan dengan pendekatan mediasi antara korban dan terdakwa. Apalagi bila mediasi akibat intervensi kekuatan uang atau pengaruh.
Sangat memalukan dan memilukan apabila restorative justice tersebut digunakan alat “peras memeras” sebagaimana dikeluhkan masyarakat puluhan tahun lalu dalam menghadapi kasus.
Kita berterima kasih atas ungkapan yang tegas dari Jaksa Agung agar para Jaksa tidak tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, tetapi harus tajam ke atas dan humanis ke bawah.
Mudah-mudahan tidak hanya slogan semata, yang penting pengejawantahannya di tengah masyarakat terutama pencari keadilan.***
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta.