Gedung Bundar pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Kejaksaan Agung.(foto/muj/independensi)

Dirjen ILMATE Diperiksa Sebagai Saksi Korupsi Pengadaan Tower Transmisi PLN

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat
Transportasi dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan hari ini hadir di Gedung Bundar pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Kejaksaan Agung.

Kehadiran IGP Suryawiran untuk memenuhi panggilan Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tahun 2016 oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Pemeriksaan terhadap saksi IGPS selaku Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika pada Kementerian Perindustrian untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan,” ungkap Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Kamis (15/9).

Sehari sebelumnya yaitu Rabu (15/9) sebanyak empat saksi pegawai Direktorat Pengawasan Industri dan Distribusi juga diperiksa dalam kasus yang sama. “Ke empat saksi yaitu AKR, DY, S dan LH,”  tutur Sumedana.

Dalam kasus ini Kejagung belum menetapkan satupun tersangka meskipun sejumlah saksi sudah diperiksa. Adapun kasusnya berawal ketika PT PLN melakukan pengadaan tower transmisi pada tahun 2016.

Namun, kata Sumedana, saat diusut Kejagung ditemukan fakta-fakta hukum antara lain dokumen perencanaan pengadaan tower transmisi tidak dibuat, menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower.

“Padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat tahun 2016. Namun kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat,” tuturnya seraya menyebutkan PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodir permintaan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo).

“Sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli PT Bukaka. Karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua Aspatindo,” ucapnya.

Dikatakannya juga PT Bukaka dan 13 Penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.

Selanjutnya, tutur dia, pada periode November 2017 hingga Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pengadaan tower tanpa legal standing yang memaksa PT PLN melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama satu tahun.

Kemudian, katanya, PT PLN dan Penyedia Tower melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019. “Dengan alasan pekerjaan belum selesai dan ditemukan fakta hukum tambahan alokasi sebanyak 3000 set tower di luar kontrak dan addendum,” ucap Sumedana.(muj)