JAKARTA (Independensi.com) – Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah, Nurhadi mengatakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak perlu menjadi petugas PLN yang memeriksa 1.000 Peserta BPJS Kesehatan yang dicurigai membobol dana APBN. Demikian disampaikan Nurhadi dalam rilisnya kepada media, Kamis (24/11), menanggapi pernyataan Menkes Budi Gunadi Sadikin di DPR beberapa waktu lalu.
“Sistim dalam BPJS sudah amburadul dilindungi oleh UU No 40/2004 Tentang SJSN dan UU No 24/2011 Tentang BPJS yang memang bermasalah. Ada yang tertangani dengan baik, tapi lebih banyak yang tidak tertangani semestinya,” jelasnya.
Ia mengingatkan Menkes bahwa UU SJSN dan UU BPJS itu diwajibkan pada seluruh warga negara kaya maupun miskin.
“Gak ada urusan dengan ukuran pembayaran PLN. Karena kalau sakit parah, orang kaya bisa jatuh miskin. dan sebagai peserta BPJS.dia berhak mendapatkan pelayanan karena sudah bayar iuran setiap bulan, itu perintah undang-undang,” jelasnya.
Persoalannya menurut Nurhadi, kemana dana BPJS Kesehatan yang terkumpul dari iuran dan APBN juga APBD serta perusahaan swasta itu? Undang-undang menegaskan dan tersebut bisa diputar untuk membeli surat berharga.
“Jadi dana BPJS sebenarnya untuk kepentingan memutar rodak ekonomi, bukan untuk pelayanan kesehatan rakyat,” tegasnya.
Dana BPJS juga menurutnya dipakai untuk operasional, dan bayar gaji dari semua direksi, manajemen sampai semua petugas seperti perusahaan asuransi.
“Gaji seorang direksi bisa ratusan juta. Hitung aja sendiri.berapa total pengeluaran BPJS untuk semua operasional,” tegasnya.
Menurutnya, BPJS Kesehatan perlu dibubarkan saja, dikembalikan jaminan kesehatan yang dikelola negara seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dibawah Kementerian Kesehatan.
“Semua warga negara dijamin kesehatannya oleh negara tidak perlu bayar iuran dan masuk rumah sakit manapun mendapat pelayanan standar semua.
Kalau minta naik kelas dan pelayanan plus, harus bayar plusnya. Gitu aja,” tegasnya.
Menurutnya, jangan seperti sekarang dibawah UU SJSN dan UU BPJS yang mewajibkan rakyat membayar pelayanan kesehatan seperti asuransi, tapi pelayanan semakin buruk.
“Ngakunya dana habis untuk pelayanan kesehatan, padahal dana habis diputar dalam jual beli surat berharga dan biaya operasional dan manajemen BPJS,” ujarnya.
Nurhadi mengingatkan bahwa Presiden Jokowi diawal pemerintahan pernah mencanangkan KIS (Kartu Indonesia Sehat) bagi mereka yang miskin dan tak mampu. Pembiayaannya dimasuk skema BPJS PBI (Penerima Bantuan Pemerintah) dari dana APBN.
“Pak Jokowi tahu gak kalau KIS dan PBI itu udah gak berlaku tidak ditanggung BPJS? Sekarang program itu diserahkan ke Kemensos. Karena tidak ada alokasi dana diserahkan ke Dinas Sosial daerah. Dan kalau kuotanya habis maka pelayanan kesehatan orang miskin tidak ada yang bayar. Rumah sakit menolak beban dan pasiennya mati!” tegasnya. Soal ini sudah berkali-kali disampaikan kepada BPJS Kesehatan tapi tidak ada jalan keluar,” tegasnya.
Cek Tagihan Listrik
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan mengecek data tagihan listrik 1.000 orang yang tagihan biaya perawatannya paling membebani keuangan BPJS Kesehatan.
Hal tersebut akan ia lakukan karena curiga sejumlah orang kaya membebani BPJS Kesehatan dengan biaya pengobatan tinggi.
“Saya mau lihat 1.000 orang yang paling banyak expense-nya di BPJS. Saya mau tarik datanya, saya mau lihat itu PLN-nya besarnya berapa,” kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (22/11).
Ia menyebut dirinya bakal mengukur kekayaan 1.000 peserta yang paling membebani BPJS melalui besaran VA listrik yang dikonsumsi.
Menurutnya, jika seseorang memiliki besar VA di atas 6.600, maka ia tergolong ke dalam masyarakat yang mampu alias kaya.
“Kalau VA-nya di atas 6.600, yang pasti itu adalah orang yang salah. Karena saya juga dengar sering sekali banyak orang-orang yang dibayarin besar itu banyaknya, mohon maaf, orang-orang kadang konglomerat juga,” kata Budi.
Ia menuturkan peserta BPJS Kesehatan dari golongan orang kaya tidak seharusnya bergantung banyak pada pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu. Sebagai gantinya, mereka seharusnya mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta jika ingin berobat. (*)