Sertifikat Empat Tempat Ibadah Umat Buddha di Cirebon Masih Dikuasai Pemerintah 

Loading

CIREBON (IndependensI.com) – Sertifikat empat tempat ibadah umat Buddha di Cirebon hingga kini masih dikuasai pemerintah.

Empat tempat ibadah tersebut adalah Vihara Dewi Welas Asih, Vihara Pemancar Keselamatan, Vihara Budi Asih, sertifikat Kelenteng Talang, dan Mes Guru Talang.

Sertifikat tersebut diambil secara paksa sejak tahun 1997 lalu, saat itu pemerintah menuduh keempat tempat ibadah umat Buddha itu digunakan untuk aktivitas organisasi terlarang. Namun, pengurus Klenteng membantah hal tersebut.

Berbagai upaya untuk meminta kembali sertifikat Klenteng yang termasuk Cagar Budaya hingga kini tidak membuahkan hasil. Hal ini juga yang membuat Perayaan Waisak 2567 BE/tahun 2023 ini terasa ada sedikit ganjalan.

Wakil Ketua Yayasan Buddha Metta Richard Dharma mengatakan, Vihara Dewi Welas Asih berdiri sebelum Indonesia Merdeka yakni tahun 1595, sementara Klenteng Talang 100 tahun lebih tua yaini berdiri tahun 1450.

“Klenteng yang dibangun sebelum Indonesia Merdeka itu sampai sekarang tidak pernah digunakan untuk kepentingan organisasi terlarang. Berbagai perayaan agama Buddha setiap tahun digelar bahkan sering dikunjungi tokoh-tokoh nasional, tokoh agama, dan lainnya,” katanya, Sabtu (3/6).

Ia menyatakan, segala upaya untuk mengembalikan sertifikat sudah ditempuh namun, instansi terkait yang dikonfirmasi hanya memberi jawaban yang sama yaitu masih dalam proses.

“Kami sudah ke BPN Kota Cirebon, lalu ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) menanyakan sertifikat Klenteng tapi hasilnya nihil,” imbuhnya.

Ia mengaku, sertifikat Vihara atas nama Yayasan Buddha Metta diambil paksa pada tahun 1997 di bawah tekanan dan ancaman.

“Waktu itu kita diancam dan ditekan, mau nyawa atau sertifikat yang diserahkan,” tuturnya.

Pihaknya berharap, pemerintah atau instansi terkait terketuk hatinya untuk mengembalikan sertifikat tersebut, pasalnya Klenteng atau Vihara tidak hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan bahkan digunakan untuk pelestarian budaya.

“Kami berharap ada keterbukaan dari pemerintah, hatinya terketuk sehingga apa yang menjadi hak kami bisa kembali,” pungkasnya. ()