Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Susilo Bambang Yudhoyono

Koalisi Partai-partai Utuh

Loading

Oleh: Bachtiar Sitanggang

TAHUN 1967, awal Orde Baru, Panglima Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo dan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) Sumatera Utara Brigjen Pol Widodo Budidharmo yang berkedudukan di Medan melakukan kunjungan kerja ke Pangururan Pulau Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara.

Mungkin itu pertama sekali kota Pangururan dikunjungi seorang Brigjen RPKAD (sekarang Kopassus) gagah perkasa memakai atribut baju loreng baret merah, pisau komando, postur tubuh dan langkah tegap, serta lengan baju digulung.

Petinggi TNI dan Polri se-Sumut itu dari Balige, sekarang Ibukota Kabupaten Toba ke Pangururan, sekarang Ibukota Kabupaten Samosir melintasi Danau Toba dengan kapal khas setempat, kapal kayu itu tidak sebagaimana lazimnya, dilengkapi alat komunikasi khusus dengan antena pakai dua bambu satu di buritan dan satu di haluan dihubungkan kabel dan menggunakan generator.

Suasana saat itu, awal orba masih tegang apalagi menerima kunjungan penguasa tertinggi militer ke daerah, boleh dikata masih “terpencil” waktu itu, aparat pemerintah yang masih setingkat Kewedanaan sungguh rikuh dengan penyambutan minim apa adanya.

Setibanya di pelabuhan Pangururan, dua orang siswa SMA yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) ditugaskan untuk mendampingi Brigjen Sarwo Edhie Wibowo menuju lapangan upacara di halaman Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), yang jaraknya kurang lebih 500 meter.

Kedua siswa yang mengapit Brigjen Sarwo Edhie hanya dilengkapi dengan kacu Pramuka dan siap di kiri dan kanan sang Pangdam sejak menginjakkan kaki di Samosir sampai selesai acara di lapangan.

Polarisasi Masyarakat

Kurang lebih suasana masyarakat di Pangururan saat itu terbagi dua berdasarkan orientasi politiknya, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) di satu pihak Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik dan Partai Murba (kalau tidak salah) di satu pihak. Di kalangan buruh juga demikian di satu pihak Kesatuan Buruh Kendaraan Bermotor Marhaenis (KBKBM) dan Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia (Kespekrindo).

Demikian juga di kalangan pelajar antara Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) di satu pihak dengan Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) dan KAPPI di pihak sebelah.

Kondisi sosial politik masyarakat saat itu boleh dikatakan tegang, baik di kalangan pegawai negeri termasuk para guru.

Persatuan ala Sarwo Edhie

Sebagai Panglima Daerah Militer penanggung jawab keamanan dan ketertiban, Sarwo Edhie Wibowo tergerak berbicara tentang persatuan.

Menurut Pak Sarwo, persatuan itu ada tiga dengan memberi contoh. Pertama, persatuan ibarat sebatang pohon. Kebetulan di tengah lapangan itu ada pohon kelapa, menurut dia persatuan yang baik adalah bagaikan pohon kelapa itu mulai dari akar sampai batang, pelepah/cabang/ranting dan daun bersatu dan saling menghidupi, utuh.

Kedua, adalah persatuan para penjudi, di mana beberapa orang sepakat untuk berkumpul dan melakukan sesuatu akan tetapi saling bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri. Ketiga, persatuan seperti pasir, rapuh.

Kebetulan di lapangan yang walaupun berumput namun terlihat banyak pasir.

Disebutkan, pasir-pasir itu berkumpul, tetapi setiap ada yang melintasinya pasir itu akan terpisahkan dan bercerai.

Dari tiga contoh persatuan itu tentu persatuan yang baik dan utuh saling menghidupi adalah persatuan ibarat pohon.

Koalisi Utuh Partai-partai

Setelah 56 tahun, apa yang dikemukakan Sarwo Edhie tersebut, relevan bila dicermati koalisi partai-partai menjelang pencalonan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 yang akan datang, tercermin melalui silaturahmi tokoh-tokoh atau elit partai.

Sebut saja yang banyak menarik perhatian, silaturahmi Ketua PDI-Perjuangan Puan Maharani yang juga Ketua DPR-RI dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudoyono (AHY). Kebetulan keduanya adalah cucu dari tokoh sentral Republik, Bung Karno dan tokoh sentral peralihan Orde Lama ke Orde Baru, Sarwo Edie Wibowo.

Puan adalah cucu Bung Karno, sementara AHY adalah cucu Sarwo Edhie. Dalam silaturahmi itu kita yakini kedua tokoh muda itu memikirkan kepentingan partai masing-masing, terutama menjelang Pemilu 2024.

Semoga tidak seperti persatuan para penjudi sebagaimana diibaratkan Brigjen Sarwo Edhie di atas, sebab para penjudi sepakat bersatu tetapi “saling memangsa” untuk kepentingan dan mementingkan diri sendiri dan merugikan pihak lain (temannya yang bersepakat untuk bersatu-berjudi).

Koalisi Utuh

Sebagaimana dinamika politik yang sedang berlangsung dan akan terus berkembang, kita akan menyaksikan berbagai hal, akan lebih ramai lagi, apalagi disemarakkan dengan mimpi-mimpi seperti mimpi Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) Presiden RI ke-6 itu bermimpi dikunjungi Joko Widodo Presiden ke-7 dan bersama-sama menjemput Megawati Soekarnoputri Presiden ke-5 dan bersama-sama ke Stasiun Gambir dan di sana sudah menunggu Presiden ke-8 dan bersama-sama naik kereta api menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kelihatannya, mimpi itu bukanlah mimpi di kala tidur namun mimpi di kala bangun. Mimpi itu menyiratkan, betapa perlunya kebersamaan di kalangan elit, pemimpin bangsa ini.

Di tengah kesulitan membangun Koalisi berdasarkan kepentingan sendiri, menyadarkan dan mengharuskan langkah baru yang lebih esensial yang mengutamakan kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara.

Di tengah suasana semangat Bulan Bung Karno sekarang ini, kita mengharap bahwa koalisi partai-partai pertama-tama mendahulukan semangat persatuan terlebih dahulu yang menjadi warisan, keteladanan dari para pendiri Bangsa ini.

Meminjam istilah Sarwo Edhie atau kita sebut Persatuan ala Sarwo Edhie yang pertama “Persatuan Pohon”, persatuan yang saling menghidupi, melengkapi sesama elemen masyarakat, bangsa dan negara.

Ada baiknya kesadaran seperti mimpi Presiden ke-6 itu dibangun, dikembangkan di tengah suasana, hari-hari, munggu-minggu, bulan menjelang 2024. Wariskan nilai-nilai untuk dipedomani para generasi muda.

Para petinggi partai dan tokoh-tokoh bangsa lainnya, tidak saling menyerang dan merasa dia dan kelompoknya lah yang paling berjasa dan berbakti untuk nusa dan bangsa.

Sebagai suatu bangsa yang berbudaya, hendaknya warganya hidup rukun dengan saling asih, asah, asuh, saling melengkapi. Menarik uraian-uraian “sumbang” dari para tokoh partai, sejauh ini yang cenderung menyerang pihak lain sebagai lawan.

Dengan silaturahmi Puan Maharani dengan Agus Harimurti akan merajut persatuan bagaikan pohon yang tumbuh subur di tepi sungai.
Tidak ada kata terlambat untuk saling menghargai dan menghormati di antara para tokoh sebab tingkat kedewasaan dan kemapanan tidak diukur masyarakat dari banyaknya memoles diri apalagi menyerang pihak lain.

Semoga menjelang kampanye dan Pemilu situasi dan kondisi kita sebagai bangsa semakin baik dan damai penuh sukacita. *
(Bachtiar Sitanggang, penulis adalah wartawan senior)