Sudakara Art space SUDAMALA Resort Gelar Karya Pelukis Made Wianta

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Sudakara ArtSpace bersama Keluarga Almarhum Made Wianta menghadirkan pameran lukisan kolaborasi “Whispering Calligraphy”, di Sudakara ArtSpace, Sudamala Resort, Sanur yang berlangsung selama dua bulan, tanggal 28 Agustus hingga 30 September 2023.

 

Pembukaan acara itu dihadiri Founder Museum ARMA Agung Rai  Intan Wianta Istri Alm. Made Wianta, GM Sudamala Resort Ricky, Ketua Kagama Bali Gung Diatmika, Agung Putra mantan petinggi BNI, Made Jirna, Seniman Nyoman Erawan, Made Budhiana, Dr Jean Couteau, Dr Inez Loedin, Dr Made Suklu.

 

Hadir pula Putu Suasta yang juga Alumni UGM dan Cornell University. Putu Suasta dan Dr Markakis adalah pertama kali menjadi editor bukunya Made Wianta His Art and Balinese Culture, buku ini diterbitkan Tahun 1993.

 

Suasta juga memberikan ulasan dalam sambutannya. Kesenian Wianta adalah sebagai Gerakan Kebudayaan, Wianta melakukan gerakan kebudayaan Art and Peace menghadirkan 2000 penari dan menulis spanduk ttg perdamaian sepanjang 1000 meter, ART for Aids pameran kemanusiaan yg diselenggarakan di San Francisco,dan menyumbangkan seluruh hasil penjualan lukisannya sebesar Rp 3 miliar untuk penanggulangan penyakit AIDS, terus dilakukan kampanye keliling ke seluruh Amerika, pameran Catur Yuga di Basel Swis.

 

Dalam wawancara itu Suasta mengatakan pergaulan global Made Wianta membuktikan jejaring yang luas sehingga posisi itu kerap memudahkannya dalam berbagai pameran internasional.

 

“Saya melihat dari dekat Wianta berkarya ketika saya bersama Agung Rai Arma dan Dr Jean Couteau menemaninya presentasi konsep Catur Yuga di Basel, Swiss,” kenang Putu Suasta.

Catur Yuga merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan hubungan seni budaya dan ilmu pengetahuan antara Bali dan Swiss.

 

Wianta berkarya di Basel dan pameran bersama seniman setempat, Andreas Straub, pada Oktober 1997 sampai dengan Maret 1998 di Museum der Kulturen Basel serta di Fabian Walter Gallery Basel dan dipamerkan pula di Jakarta, Denpasar, dan Singapura.

Suasta menyebut Wianta telah melewati tonggak kesenimanan yang penting seperti pameran di Venezia Biennale (2003), OPEN 2003 Lido Italia, dan sejumlah pameran di berbagai negara. Juga melalui mahakarya “Art and Peace” (1999) serta “United in Diversity” (2003) yang mengusung isu universal hingga kini.

Pada 2017 Wianta menggagas pertunjukan teater bersama sutradara Prof. Dr. Ron Jenkins dan pentas di Wesleyan University, Connecticut, AS. Teater ini menghadirkan cara pandang kritis terhadap Pulau Run pada masa perdagangan rempah yang sarat konflik, pembantaian, perang, ekonomi global, ketidakadilan sosial, perjuangan untuk kebebasan, dan melenyapkan masa depan penduduk asli. Wianta melakukan riset di Kepulauan Banda dan melahirkan sejumlah karya yang terangkum dalam buku “Run for Manhattan.”

Selain itu, dalam mengenang perjalanan kesenian Made Wianta berhasil meluncurkan  buku “Made Wianta: Catatan dan Kenangan.

Made Wianta lahir pada 20 Desember 1949, menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Denpasar, berlanjut ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ‘ASRI’ yang saat ini merupakan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

 

Selain belajar gaya klasik wayang pada lukisan Bali di Kamasan, Klungkung, Made Wianta juga memperdalam kemampuan melukisnya di Brussels, Belgia pada sekitar tahun 1970-an. Koleksi lukisannya sendiri diketahui jumlahnya sekitar 2000-an.

 

Made WIANTA telah pergi,semangat berkesenian nya yg progresif terus merangauki sanubari para seniman muda untuk berkesenian dan berkarya dengan cara cara baru. (hw)