DKPP Kembali Periksa Tujuh Komisioner KPU, Kuasa Hukum Tekankan tentang UU Nomor 12 Tahun 2011 

DKPP Kembali Periksa Tujuh Komisioner KPU, Kuasa Hukum Tekankan tentang UU Nomor 12 Tahun 2011 

Loading

JAKARTA (Independensi.com)- Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) menggelar sidang lanjutan atau kedua terkait pemeriksaan perkara dugaan pelanggaraan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), Senin (8/1/2024).

Adapun perkara yang diperiksa, yakni nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023). Sebagai teradu, yaitu tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rinciannya yaitu Ketua KPU Hasyim Asyi’ari, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Affifudin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.

Sedangkan majelis yang hadir Adalah Heddy Lugito (Ketua Majelis), J. Kristiadi (Anggota Majelis), Ratna Dewi Pettalolo (Anggota Majelis), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (Anggota Majelis), Muhammad Tio Aliansyah  (Anggota Majelis)

Pokok aduan lantaran para teradu didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden pada tanggal 25 Oktober 2023. Menurut para pengadu, hal itu tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden karena para Teradu belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pascaadanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/202.

Pengadu menduga bahwa tindakan para teradu yang membiarkan Gibran Rakabuming Raka terus menerus mengikuti tahapan pencalonan tersebut telah jelas-jelas melanggar prinsip berkepastian hukum.

Sunandiantoro selaku  Kuasa Hukum Perkara 135-PKE-DKPP, mengungkapkan apa yang dilaporkan berkaitan dengan tindakan KPU yang tidak sesuai dengan prinsip ketidakpastian hukum.

“Jadi KPU melanggar etika berkepastian hukum, yaitu ada diperaturan 3 PP no. 2 tahun 2017. KPU menyalahi wewenang menindaklanjuti keputusan MK,” paparnya  kepada para media.

Dalam hal ini, Sunandiantoro menjelaskan, putusan MK itu sekalipun bermasalah, ia tidak dalam rangka mempermalahkan keputusan MK, tetapi yang mendasar adalah putusan MK itu sudah final. Lalu, dia mempertanyakan apa tindak lanjut secara hukum yang bisa dikerjakan terkait adanya keputusan MK tersebut.

“Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan Pasal 10 Ayat 1 Huruf D dan Ayat 2 serta penjelasannya, bahwa tindaklanjut keputusan MK itu dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk menghindari kekosongan hukum. Maka dengan adanya keputusan MK Nomor 90 tanggal 16 Oktober itu harus ada tindak lanjut dari DPR atau Presiden. Jika ada tindak lanjut maka ada kekosongan hukum. Yang lebih aneh lagi KPU secara serta Merta menyalahgunakan wewenangnya pada 17 Oktober 2023 membuat edaran kepada pimpinan partai politik untuk mempedomani keputusan MK, ini dasar hukumnya apa? Artinya  DM KPU tidak menggunakan prinsip berkepastian hukum. Lalu KPU menerima pendaftaran Gibran. Mohon maaf sebagai catatan juga saya tidak ada persoalan pribadi dengan beliau, tetapi kita ingin proses pemilu berjalan sebagai peraturan perundangan yang berlaku,” tambahnya.

Pada tanggal 25 Oktober, KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai bakal cawapres dari Prabowo Subianto. Lalu tanggal 26 Oktober, Gibran diberikan hak untuk mengikuti test kesehatan. “Dan itu menggunakan anggaran siapa? Jika itu pakai anggaran negara, Gibran sendiri belum memenuhi syarat usianya belum genap 40 tahun,” tambahnya.

“Yang lebih aneh lagi, tanggal 27 Oktober. Tiba-tiba kita mendapatkan dokumen ada berita acara penerimaan pendaftaran terhadap pasangan calon bapak Prabowo dan Gibran. Padahal pendaftaran ditutup pada tanggal 25 Oktober. Apa dasar hukumnya ini dijadikan dasar oleh KPU melakukan tindakan tersebut. Ada lagi berita acara verifikasi dokumen dibuat 28 Oktober 2023 di sana tertera bahwa Gibran dinyatakan memenuhi syarat usia paling rendah 40 tahun padahal belum sampai.  Ada juga klausul yang diputusan MK yang belum ada perubahan sebagaimana UU No 12 2011 itu dimasukan di dalam kolom verifikasi yang dilakukan oleh KPU, inilah yang dimaksud dugaan penyelundupan hukum. Apa dasar KPU memasukan klausul pernah menjabat sebagai kepala daerah dasar hukum apa, itu tidak ada karena belum ada perubahan,” terangnya lagi.

Kemudian berkaitan dengan perubahan PKPU No.23 Tahun 2023, kenapa KPU bisa melakukan perubahan sedangkan putusan MK belum ditindaklanjuti oleh DPR atau Presiden, tidak ada dasarkan hukumnya memberikan wewenang dan tugas KPU untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut tidak ada.

“Ini penyalahgunaan wewenang, dugaan penyelundupan hukum, pelanggaran etik dan prinsip, tidak menjalankan prinsip berkepastian hukum dan jelas-jelas bertentangan dengan perundangan yang berlaku,” jelasnya lagi.

Sunandiantoro menyimpulkan bahwa  komisioner KPU sudah tidak tepat karena menyalahi peraturan perundangan. Oleh krena itu seluruh komisioner harus diberhentikan, diganti dengan yang baru untuk menyelamatkan proses pemilihan presiden 2024. Terlebih, menurutnya lagi, karena KPU sudah mendustai rakyat Indonesia.(bud)