Alissa Qotrunnada Munawaroh (Dokumentasi)

Bulan Ramadan Momentum Toleransi Antar-Umat

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Bulan Ramadan tentunya harus bisa menjadi sebuah momentum untuk saling bertoleransi dan hormat-menghormati bagi antar umat beragama. Sebagaimana kita ketahui bahwa kita hidup dalam sebuah masyarakat majemuk yang tidak hanya dari aspek etnis, adat istiadat atau tradisi, tapi juga keyakinan atau agama.

Hal yang terakhir inilah yang senantiasa menuntut adanya sikap toleransi di antara kita agar jalinan kerukunan antarumat beragama selalu terjaga. Demikian diungkapkan Koordinator jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Qotrunnada Munawaroh atau yang biasa dikenal dengan Alissa Wahid

“Sebagai warga negara yang hidup dalam masyarakat yang majemuk, bulan Ramadan ini harus bisa dijadikan sarana untuk mengasah spirit toleransi dan kerukunan antar sesama umat tersebut,” ujar Alissa Wahid, di Jakarta, Selasa (13/6/2017)

Dijelaskan putri sulung Presiden keempat RI, mendiang KH Abdurrachman Wahid ini, toleransi itu pada dasarnya sikap untuk saling menghormati. Dan sikap saling menghormati itu sendiri dasarnya adalah keyakinan bahwa semua manusia itu adalah ciptaan tuhan. Dan karena itu setiap manusia memiliki posisi yang setara yang nantinya akan dinilai oleh Tuhan.

“Jadi yang membedakan atau manusia berbeda hanya dari ketaqwaannya. Dan Tuhan akan menilai manusia hanya dari ketaqwaan. Bukan manusia yang menilai. Tetapi selain itu manusia di muka bumi ini adalah setara,” ujarnya

Dan dari situlah menurutnya kita sebagai manusia yang beragama kemudian bisa untuk saling hormat-menghormati dan bisa saling bertoleransi antar sesama umat. Untuk itu dirinya meminta kepada seluruh umat manusia untuk memulainya dari berpikir adil.

“Kalau kita bisa berpikir adil, lalu kalau kita mengikuti ajaran di dalam kitab suci bahwa Tuhan itu menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal dan saling membantu, maka toleransi seharusnya tidak menjadi masalah,” ujar wanita yang meneruskan perjuangan pemikiran Gus Dur dalam bidang sosial, budaya dan keagamaan melalui The Wahid Institute ini.

Wanita yang telah menyelasaikan studi master bidang psikologi.di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini tidak menampik atas kekhawatiran yang terjadi selama ini terhadap pesan permusuhan yang beredar di media sosial yang semakin menguat.

Bersama para murid-murid Gusdurian yang tersebar di berbagai daerah dirinya bermitra dengan Infid (International NGO Forum on Indonesian Development) untuk melakukan penelitian terhadap masalah intoleransi dan masalah terorisme.

Menurutya ada dua hal yang cukup menarik yang muncul dari penelitian tersebut dalam dua kutub. Dimana kutub yang pertama adalah 88% anak muda di Indonesia itu sebenarnya tidak setuju dengan terorisme. Tidak menganggap terorisme itu wujud sebagai keberagamaan, bahwa ini adalah jihad atas nama tuhan, itu tidak dipercaya oleh mereka.

“Tapi  pada saat yang sama, sikap intoleran itu ternyata juga semakin menguat. Jadi walaupun tidak setuju dengan terorisme pada saat ini, tetapi ada sikap-sikap tidak menyukai atau tidak setuju kepada orang-orang yang berbeda agama, berbeda suku,” ujarnya menyayangkan.

Kelompok ekstremis ini menurutnya menggunakan istilah-istilah yang menyulut kemarahan. Yang pertama adalah soal bagaimana kelompok agama tertentu itu ditindas dan memandang orang lain menjadi musuh.

“Jadi bahan bakarnya adalah permusuhan, rasa takut dan kebencian. Jadi rasa takut diserang oleh kelompok yang berbeda, kemduian yang kedua yaitu benci. Benci kepada kelompok yang berbeda, lalu yang ketiga permusuhan dan upaya untuk menguasai. Jadi menyerang kelompok yang berbeda,” ujarnya.

Melihat hal tersebut dirinya pun juga memberikan contoh pemikiran dan apa yang telah dilaksanakan oleh sang ayah, Gus Dur, yang tidak akan pernah membeda-bedakan agama masyarakat. Karena bagi sang ayah menurtnya, yang lebih penting bagaimana  mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

“Almarhum bapak saya dulu juga pernah memperkenalkan rukun kemanusiaan, yaitu keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Jadi kemanusiaan juga menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam bersikap saling toleransi antar-umat,

Untuk itu dirinya mengingatkan agar kita sebagai umat manusia tidak perlu ketakutan dengan orang yang berbeda pendapat, kelompok, berbeda agama maupun berbeda latar belakang. Karena, justru perbedaan itu yang menjadi ruang untuk kita saling bekerja sama dan saling mengisi.

“Dan momentum bulan Ramadan ini adalah kesempatan buat kita semua untuk mengikis rasa benci, rasa curiga dengan memperkuat rasa saling percaya dan saling rasa keinginan untuk saling membantu sesama umat manusia,” ujarnya mengakhiri.