JAKARTA (IndependensI.com) – Banyak pejabat dan kepala daerah menjadi pengurus klub sepakbola di Indonesia. Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 jelas melarang dana APBD untuk mendanai klub profesional.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hal baru. Tapi, yang menarik perhatian Save Our Soccer #SOS adalah ketika Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu (23/9/2017).
Maklum, Iman Ariyadi merupakan Ketua Umum Cilegon United, kontestan Liga 2 Kompetisi Sepakbola Indonesia yang saat ini sedang beraksi di Babak 16 Besar. Iman ditangkap bersama 10 orang lainnya. Empat di antaranya pengurus Cilegon United, yakni Yudhi Apriyanto (Chief Executive Officer Cilegon United) dan bendahara Wahyu Ida Utama. Termasuk mengamankan R yang merupakan staf Yudhi dan AS, staf Wahyu. KPK mengamankan uang sejumlah Rp1,152 miliar sebagai barang bukti.
Yudhi ditangkap di Bank BJB sore hari sesaat setelah menarik uang Rp800 juta. Selanjutnya, KPK meluncur ke kantor Cilegon United, dan mendapati uang Rp352 juta. Uang itu ditransfer dari PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT KIEC) yang merupakan bagian dari pemulusan izin Analisa Dampak Lingkungan (Amdal).
Ada juga dana dari PT Brantas Abipraya (PT BA), berupa Coorporate Social Responsibility (CSR). Dana tersebut ditransfer dua kali ke rekening Cilegon United Football Club (CUFC). Pertama, Rp700 juta dikirimkan PT KIEC pada 19 September 2017. Kedua dikirim oleh PT BA Rp800 juta pada 22 September 2017. KPK menyebut ini sebagai modus baru korupsi dengan menggunakan melibatkan klub sepakbola.
Sejatinya, menurut Save Our Soccer #SOS ini bukan modus baru. Tapi, modus lama yang dimodifikasi. Sebelum APBD dilarang digunakan untuk klub sepakbola profesional melalui Permendagri No. 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012, banyak pejabat daerah yang menggunakan klub sepakbola untuk tujuan korupsi dan politik.
“Dari kasus Tubagus Iman Ariyadi, KPK harus segera masuk ke klub-klub sepakbola profesional yang berkompetisi di Liga 1 dan Liga 2. Banyak pejabat publik yang terlibat sebagai pengelola,” kata Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer (SOS).
“Ada potensi korupsi, pencucian uang, atau menggunakan sepakbola sebagai kendaraan politik pejabat publik. Ini harus mendapatkan perhatian serius KPK dan juga Pemerintah,” kata Akmal menegaskan.
Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) #SOS, setidaknya ada hampir 50 klub profesional (lihat data lampiran SOS: Daftar Pejabat Negara Pengelola Klub Profesional Sepakbola Indonesia) yang dikelola oleh pejabat negara. Mulai dari Kepala Daerah, Anggota DPR/DPRD, tentara, polisi, dan pejabat BPK. Padahal, sesuai aturan Perseroan Terbatas dilarang melibatkan pejabat negara.
“Dulu sebelum ada Permendagri No 22/2011, klub jadi sarana pejabata daerah menggerogoti dana APBD untuk kepentingan pencitraan dan politik. Kini, modusnya bisa melalui CSR, tekanan politik, atau pencucian uang karena celah menggunakan APBD sudah ditutup,” Akmal mengungkapkan.
Permendagri No 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2012 dalam lampiran Bab V No. 23 menyebutkan telah menyebutkan bahwa: “Pendanaan untuk organisasi cabang olahraga profesional tidak dianggarkan dalam APBD karena menjadi tanggung jawab induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional yang bersangkutan”.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 29 (2) Undang-Undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga dan/atau organisasi olahraga profesional.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 3 Tahun 2005, didefiniskan bahwa cabang olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran olahraga. Permendagri Nomor 37 Nomor 2012 ikut menguatkan tentang pedoman penyusunan APBD 2013, secara tegas menyebut larangan APBD untuk olah raga profesional.
Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya ada sejumlah pejabat daerah yang ditangkap KPK punya keterikatan dengan klub sepakbola. Sebut misalnya, Eddy Rumpoko, Walikota Batu yang merupakan Pembina Persikoba. Achmad Syafi’i Yasiin, Bupati Pamekasan yang juga Ketua Umum Persepam Madura United. Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang punya keterikatan dengan PS Bengkulu.
Sebelumnya juga terindikasi korupsi seperti Fuad Amin (Bupati Bangkalan/Perseba Super Bangkalan), Bambang Irianto (Walikota Madiun/Madiun Putra), Thomas Ondy (Bupati Biak Numfor/PSBS Biak), bahkan Herry Noegroho, mantan Bupati Blitar menjadi tersangka kasus penyelewengan dana Konida.
“PSSI sebagai organisasi sepakbola Indonesia juga harus memberikan contoh. Transparansi keuangan baik PSSI maupun klub profesional. Juga harus pisahkan antara jabatan negara dan jabatan di klub sepakbola. Ini untuk menjaga marwah sepakbola Indonesia agar #bersih #profesional dan #bermartabat,” kata Apung Widadi, Pendiri sekaligus Presiden Save Our Soccer #SOS.
“Semua kegiatan sepakbola profesional baik kompetisi maupun turnamen yang terindikasi menggunakan uang negara harus diaudit secara tuntas. KPK harus masuk segera karena sepakbola profesional rawan korupsi dan dalam kondisi siaga 1”.
“Kalau mau sepakbola berprestasi, syarat nonteknisnya adalah bersihkan korupsi dan pisahkan pengelolaan klub dari segala macam pejabat negara sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan,” Apung menegaskan.