Bandar Udara Internasional Silangit

Bandara Silangit dan Peta Kemiskinan Tapanuli

Loading

IndependensI.com – Di Tahun 1982, Koran sore Harian Umum Sinar Harapan menerbitkan laporan tiga wartawannya yang mengadakan perjalanan “Safari 10.000 Km Sinar Harapan di Sumatera”,  mewartakan “Tapanuli Peta Kemiskinan di Sumatera Utara”.

Laporan itu menggambarkan perkembangan di Tapanuli yang seolah tidak ada beda dengan waktu penjajahan dan di awal kemerdekaan. Tapanuli adalah Karesidenan  di Sumatera Utara (Sumut) bersama Aceh dan Sumatera Timur. Kemudian menjadi tiga kabupaten yaitu utara, tengah dan selatan yang terdiri dari pegunungan Bukit Barisan dan pantai barat Sumatera.

Laporan perjalanan wartawan Frans F. Harahap, Totok Soesilo dan Bachtiar Sitanggang itu sangat tidak disenangi pemerintah terutama gubernur Sumatera Utara waktu itu, namun selama Orde Baru hingga reformasi, Tapanuli yang peta kemiskinan itu, biasa-biasa saja.

Di era reformasi sama seperti daerah lain muncul  kabupaten pemekaran tanpa ada peningkatan kehidupan masyarakat yang signifikan di Tapanuli. Yang kelihatan, cuma satu, yakni adanya industri pulp dan rayon milik PT Inti Indorayon Utama yang semula diharapkan berkat bagi masyarakat setempat,  ternyata sempat jadi bencana dengan segala problemnya dan berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari, tanpa produksi rayon, namun telah melahap hutan pinus dan hutan alam di sekitar Danau Toba.

Dengan Kabupaten baru muncul “kasta” tersendiri yaitu elit politik dan pejabat baru, Bupati dan perangkatnya serta Kepala-kepala Dinas dan anggota DPRD yang ke semuanya mengharapkan dana dari pusat karena tidak memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) .

Setelah kesulitan hidup masyarakat di Tapanuli terkuak, ada usul agar Tapanuli dijadikan satu propinsi, sebagai satu-satunya  Karesidenan yang belum propinsi di Indonesia.

Wacana itu dikumandangkan  beberapa tahun lalu, namun terhenti karena di saat  unjuk rasa, ke DPRD Sumut, ketuanya  terkena “serangan jantung” dan wafat, mengakibatkan banyak orang dituduh berperan dan dihukum.

Di era Jokowi dengan melakukan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke dan seluruh rakyat Indonesia, hendaknya keinginan masyarakat agar Tapanuli satu propinsi sudah waktunya diwujudkan, dengan mengelola serta mengoptimalkan potensi wisata Danau Toba sebaga tujuan wisana.

Pemerintahan Jokowi-JK telah berhasil mengubah “Tapanuli sebagai Peta Kemiskinan” itu meningkatkan kapasitas atau status Bandar Udara Silangit dari bandara domestik menjadi bandara internasional yang hanya 1 jam jarak tempuh ke Danau Toba.

Rakyat pegunungan Bukit Barisan dan Pantai Barat Sumatera Utara harus berterimakasih dengan terbukanya isolasi selama ini, sehingga  penduduk pegunungan Bukit Barisan dan Pantai Barat itu tidak lagi sebagai  warga kelas dua.

Hanya saja pemerintah perlu memperhitungkan promosi wisata Danau Toba dengan mengundang investor agar masyarakat Batak yang bermukim di sana tidak tercampakkan dari tanah leluhurnya serta tidak   tercerabut dari akar budayanya. Banyak contoh, Suku Betawi di Jakarta, Aborigin di Australia serta Suku Indian di Amerika.

Penggusuran besar-besaran bisa saja terjadi bila masyarakat tidak dipersiapkan dengan pengaturan kepemilikan tanah. Tanpa pengaturan yang baik dan benar, modal raksasa dengan mega proyeknya akan melahap hidup dan kehidupan penduduk setempat, dan harus dihindari agar tidak menjadi “jongos” di tanah leluhurnya.

Tidak adil rasanya “mengkambing hitamkan” masyarakat, seolah suku Batak tidak ramah terhadap wisatawan. Pemerintah seharusnya mengoreksi diri, apa yang telah dilakukan membina masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

Pariwisata selama ini di sekitar Danau Toba hidup hanya dengan swadaya dengan mengandalkan  ulos, tor-tor dan Sigale-gale, itu sudah dimiliki sejak berabad-abad. Ada baiknya pemerintah mengadakan penelitian menyeluruh  apakah peningkatan pariwisata Danau Toba itu sebagai berkat  atau bencana penduduk lokal, tidak hanya memikirkan keuntungan pemerintah.

Peningkatan potensi pariwisata tanpa didukung sektor pertanian dan perkebunan/ kehutanan, dengan perambahan hutan oleh PT IIU dan PT TPL yang sampai saat ini, tanah sekitar Danau Toba akan gersang dan masyarakat tidak akan memiliki mata pencaharian, sama dengan menggusur mereka ke tempat lain.  Mudah-mudahan itu tidak terjadi dan khusus pengadaan lahan untuk pariwisata hendaknya dihindari cara-cara  “injak kaki” dengan dalih untuk “proyek Pemerintah” gaya Orba.

Tokoh masyarakat Tapanuli juga harus menyadari betapa tersiksanya selama ini  harus berurusan administrasi pemerintahan, berobat dan melanjutkan pendidikan ke Medan di pantai Timur. Sudah waktunya meminta kepada Pemerintah mewujudkan Tapanuli  propinsi tersendiri, dan menurut hemat banyak pihak,  tidak ada alasan pemerintah untuk tidak mewujudkan keinginan lama tersebut. Kecuali alasan PAD yang rendah, dan itupun adalah tanggung jawab pemerintah yang tidak memperhatikannya selama ini. (Bch)