Didin Fachrudin (43) pemilik Toko Nusantara (kiri)

Raih Penghargaan Bergengsi, Toko Nusantara Harumkan Nama Bangsa Lewat Kuliner

Loading

DEN HAAG (Independensi.com) – Keberuntungan itu bisa datang kapan saja seperti dialami oleh seorang warga Indonesia yang kini berbisnis di negeri Kincir Angin Belanda. Tak pernah terpikir dalam benak Didin Fachrudin (43) bahwa warung makan miliknya “Toko Nusantara” berhasil mendapat penghargaan paling bergengsi di Belanda. Padahal warungnya itu baru berusia satu setengah tahun.

“Saya mendapat pemberitahuan via email bahwa Toko Nusantara masuk dalam nominasi warung atau rumah makan paling menyenangkan se- Belanda (Het Leukste Restaurant 2018). Saya terharu sekaligus bangga karena satu-satunya rasto indonesia yang masuk dalam nominasi di Kota Den Haag. Apalagi keluar sebagai pemenang hasil pemilihan para pelanggan se Belanda. Dengan begitu, saya membuat nama Indonesia harum di Belanda melalui kuliner, kata Didin sambil tertawa.

Het Leukste Restaurant Award adalah penghargaan tahunan yang diberikan kepada pengusaha reataurant se- Belanda. Nah yang memberikan penilaian adalah para pelanggan berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan panitia.

Diawali dengan pemilihan restaurant di tingkat kota. Restoran yang mendapatkan suara terbanyak otomatis masuk dalam pemilihan tingkat nasional. Jadi dari ratusan rastaurant atau warung makan hanya dua award yang diberikan.

Di Belanda, warung makan sering disebut juga toko. Biasanya toko ini tidak hanya menjual makanan panas tapi juga beberapa jajanan plus aneka bumbu instant yang diimpor dari Asia. Seperti produk dari Indonesia, China, Thailand atau vietnam.
Nah dari ratusan restaurant atau toko inilah pelanggan harus memilih tempat ,makan yang paling menyenangkan. Salah satu kriterianya adalah servis, rasa makanan dan harga yang kompetitif.

Pria ramah dengan 5 anak ini awalnya merantau dan bekerja sebagai perawat Belanda. Namun seiring dengan perjalanan waktu, ia ingin mencoba tantangan baru di negeri rantau. Didin lalu berunding dengan Risah (45) yang pandai memasak.

“Selama ini kami memang sering menerima pesanan katering, sebagai tambahan penghasilan. Lalu kenapa ngga sekalian aja buka warung. Nah jadilah kita dengan modal minim disertai ridha Allah membuka Tono Nusantara ini. Dan alhamdullilah banyak yang cocok” kata Didin.

Toko Nusantara selalu ramai dikunjungi penikmat kuliner khas Indonesia

Selain memiliki passion dengan kuliner, Didin dan istrinya juga senang menjalin hubungan dengan orang lain. Bukan hanya warga Indonesia yang tinggal di Belanda, tetapi juga dengan orang keturunan indonesia, bahkan dengan warga Belanda. “Makanya, kami juga menyediakan ragam masakan yang berbeda. Misalnya kalau orang Indonesia suka menu bakso, bubur ayam dan aneka masakan ayam. Saya lalu buat menunya yang agak kekinian. Misalnya Bakso beranak, bakso granat atau ayam geprek” kata Didin.

Makanan andalan lainnya adalah bubur ayam dan pecel lele. Semua harga itu di bandrol 8.75 euro- 10.50 euro ( Rp 150 -170 ribu). Untuk ukuran di Belanda harga itu tentu relatif sangat murah.

Sementara menu untuk warga Belanda atau keturunan Belanda, mereka lebih memilih rijstafel atau nasi rames. Untuk paket 2 orang, Didin memasang harga 33 euro atau Rp551 ribu. Dalam paket itu terdiri atas 2 jenis masakan ayam, 2 jenis masakan daging, 2 jenis sayuran, tempé/tahu, 2 tusuk sate, serundeng, acar dan nasi atau bakmi goreng.

Selain menjual selera masakan tradisional, pelayanan dan servis yang memuaskan juga menjadi salah satu daya tarik Toko Nusantara. Disamping tentu saja banyak dijajakan aneka kue jajanan pasar yang tidak hanya digemari warga Indonesia, tetapi juga warga Belanda. Seperti Risoles, lemper, pastel dan aneka kerupuk. “Untuk warga Indonesia yang rindu dengan makanan khas seperti abon, dendeng presto dan cemilan tradisonal serta aneka sambal bisa pesan di sini,” kata Didin .

Menurut Didin, pelanggan warga belanda dan Indonesia sama banyaknya. Dan dia berharap semakin banyak warga Indonesia berprestasi di luar negeri, maka nama bangsa kita semakin semerbak bukan saja di Belanda tapi juga di Eropa. (Pr/Yuke Mayaratih)