Tim Inafis melakukan olah TKP di lokasi ledakan di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Pengamat: Pelaku Bom Para Janda Teroris yang Tewas di Tangan Densus

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Peledakan bom di tiga gereja di Surabaya diduga dilakukan oleh janda-janda teroris yang tewas di tangan Detasemen Khusus antiteror. Motifnya adalah menunjukkan eksistensi diri kelompok teror dan membuat kacau situasi dan kondisi sosial politik di Indonesia.

Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya berpendapat, dugaan tersebut muncul karena polisi dan saksi menyebut pelaku adalah wanita dan membawa anak-anak.

“Ini bukan hal baru. Kasus tahun lalu rencana bom panci calon pengantin adalah wanita, dan di kelompok teror para wanita juga ada beberapa yang siap menjadi ‘pengantin’,” kata Harits.

Kata Harits, jika benar terbukti wanita, maka kemungkinan mereka adalah para janda dari terduga teroris yang tewas di tangan Densus.

“Atau istri dari para narapidana teroris, atau janda dari para anggota ISIS asal Indonesia yang tewas di Suriah, atau mereka yang gagal berangkat ke Suriah atau rekrutan baru,” kata Harits.

Selain itu, Harits mengatakan aksi ini terlihat terorganisir dengan baik. “Dilakukan melibatkan kelompok, banyak individu, dan telah direncanakan jauh hari. Pemilihan tempat yang semua sama yaitu gereja,” katanya.

Aksi bom bunuh diri itu, menurut Harits, sudah diplot jauh hari, cuma tinggal nunggu momentum saja. Secara psikis, bagi kelompok teror, momentum paska kerusuhan di Mako adalah moment tepat.

“Biasanya mereka paham, ketika ada korban dari pihak polisi maka dampaknya kelompok mereka yang masih di luar akan menjadi target pengkapan sampai dengan resiko kematian di tangan Densus,” katanya.

Kondisi seperti itu, menurut Harits, membuat para janda secara psikis bisa nekat untuk melawan jika sudah ada persiapan sebelumnya.

Harits menambahkan kasus kerusuhan di Mako Brimob menjadi sesuatu yang menggairahkan bagi kelompok teror ini.

“Jadi kasus Mako Brimob bukan menjadi pemicu utama, karena jika melihat TKP, aksi tersebut tidak cukup dengan waktu singkat (beberapa hari) paska rusuh mako Brimob untuk menyiapkan,” katanya.

Menurut Harits, aksi peledakan bom di Surabaya membutuhkan perakitan bom dengan cermat. “Butuh orang yang punya skill merakit bom termasuk penyiapan bahan bom.

Belum lagi kesiapan calon pengantinnya. Semua butuh waktu yang cukup dan terencana dengan baik,” katanya.

Harits berharap polisi segera menemukan titik terang, karena di TKP banyak jejak ditinggalkan. “Ada motor, mobil. Dari sana bisa ditelusuri untuk menemukan siapa sebenarnya pelaku. Dan bisa diungkap aktor dibalik serangan bom bunuh diri Surabya,” katanya.

Dia meyakini spekulasi pasti akan berkembang liar di publik jika pelaku tidak segera terungkap.

“Apakah benar-benar mereka kelompok teroris atau orang gila atau orang yang dihipnotis dimanfaatkan untuk lakukan serangan, atau orang-orang yang labil dan putus asa yang punya rasa dendam kepada aparat,” katanya.

Sebelumnya Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan pihak berwenang tidak akan bisa mencegah serangan bom seperti yang terjadi di sejumlah gereja di Surabaya karena ada perubahan pola perencanaan serangan dan pola penyebaran ideologi radikal.

Noor Huda mengatakan serangan-serangan yang terjadi ini dilakukan karena kesamaan ide tanpa ada perintah dari pimpinan.

“Ini leaderless jihad hanya karena kesamaan ide,” kata Noor Huda.

Dia menjelaskan meski tidak ada pemimpin atau perintah, perencanaan aksi itu dilakukan oleh kelompok-kelompok melalui aplikasi pesan instan seperti Telegram dan Whatsapp.

“Dengan medsos terutama telegram mereka berkoordinasi,” ujar Noor Huda.