Tiru Donald Trump, Kondisikan Prabowo Ratna Sarumpaet Berbohong

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pengakuan aktifitas perempuan, Ratna Sarumpaet yang sekarang berusia 70 tahun, Rabu siang, 3 Oktober 2018, telah berkata bohong dianiaya di Bandung, melainkan baru usai lakukan operasi plastik wajah di Jakarta, pada dasarnya, tidak lebih dari bagian strategi kampanye Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 2, atas nama Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Sandiaga S Uno.

Kebohongan Ratna Sarumpaet, membuat Prabowo Subianto cs meminta maaf, karena sudah terlanjur membuat konferensi pers, mengutuk praktik penganiayaan yang dilakukan terhadap anggota tim kampanyenya, Ratna Sarumpaet, Senin, 2 Oktober 2018.

Kebohongan Ratna Sarumpaet sejalan dengan analisa Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Poda Metro Jaya) dan Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar).

Polisi menyebut pada tanggal 21 September 2018, tidak ada konferensi dengan negara asing di Bandung, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Dalam pemberitaan, Ratna Sarumpaet, mengklaim, dianiaya usai menghadiri konferensi dengan beberapa peserta dari luar negeri.

Selain itu tidak ada saksi mata di Bandara Husein Sastranegara Bandung yang melihat aksi pengeroyokan dan tidak ada daftar manifes atas nama Ratna Sarumpaet.

Hasil penyelidikan Polda Metro Jaya menguatkan penyelidikan Polda Jabar. Pertama dari nomor telepon seluler Ratna yang dinyatakan aktif di Jakarta, bukan di Bandung pada tanggal 20 – 24 September 2018.

Sementara dari pengecekan rekening Ratna dan anaknya ada tiga kali dana keluar yang didebet di Rumah Sakit Khusus Bedah Bina Estetika masing-masing sebesar Rp25 juta pada tanggal 20 September 2018, Rp25 juta pada tanggal 21 September 2018, dan Rp40 juta pada tanggal 24 September 2018. Rupanya Ratna Sarumpaet permak wajah di rumah sakit ini.

Polisi juga sudah meminta keterangan ke RS Bina Estetika dan diperoleh keterangan bahwa Ratna Sarumpaet menjadi pasien di rumah sakit tersebut pada tanggal 20, 21 dan 24 September 2018.

Hal ini diperkuat dengan rekaman Closed Circuit Television (CCTV) di klinik tersebut dan buku daftar pasien.

Tidak pelak lagi, Farhat Abas, dari tim kampanye Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 1, atas nama Joko Widodo dan KH. Ma’aruf Amin, melaporkan Prabowo Subianto, dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fadli Zon (Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra) dan Fahri Hamzah (Partai Keadilan Sejahtera atau PKS) ke Bareskrim Polri di Jakarta, Selasa petang, 3 Oktober 2018.

Menurut Farhat Abas, kebohongan dilakukan kubu Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno, sudah tidak bisa ditolerir, membahayakan masyarakat, karena sempat menuding, penganiayaan dilakukan terhadap Ratna Sarumpaet, dilakukan kubu petahana Presiden Joko Widodo dan Ma’aruf Amin.

Tidak pelak lagi, demonstrasipun merebak di Jakarta, Kamis siang, 4 Oktober 2018, menuntut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencoret pasangan nomor urut dua atas nama Prabowo Subianto – Sandiaga S Uno dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden, Rabu, 17 April 2019, karena dinilai tindakan mereka telah meresahkan masyarakat.

Strategi Kampanye

Akan tetapi, jauh hari sebelumnya, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo tengah menjalankan strategi yang digunakan Donald Trump saat Pilpres Amerika Serikat (AS). Prabowo disebut sedang mempertentangkan kalangan bawah dan atas serta menyebarkan pesimisme.

“Kalau Pak Prabowo itu, kalau saya lihat beliau ini sedang menjalankan strateginya Donald Trump di tahun 2016 dalam Pilpres Amerika Serikat. Strateginya Donald Trump itu adalah mempertentangkan kalangan bawah dengan kalangan atas,” ujar Qodari seusai rilis hasil survei Pilgub Jatim 2018 di Harris Suites fX Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa, 3 April 2018.

Melalui lembaga survey bernama Cambridge Analytica pada Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat (AS), Donald John Trump ‘menggoreng’ isu kesenjangan di AS. Selain itu, Donald John Trump (kini jadi Presiden Amerika Serikat) mencoba menyebarkan rasa takut bahwa AS berada di bawah ancaman asing, seperti China, ancaman Islam, dan tenaga kerja imigran Meksiko.

“Menurut saya, ini agak mirip. Jadi yang disebarkan adalah pesimisme, kemudian ketakutan. Dan kalau kita lihat kasus di Amerika ternyata pesimisme dan ketakutan itu dibeli oleh rakyat Amerika sehingga mereka memilih Donald Trump,” tutur Qodari.

“Trump itu kan slogannya, ‘Make America Great Again’, membuat Amerika menjadi hebat lagi. Menurut saya, terjemahan bebas pidatonya Prabowo itu adalah membuat Indonesia menjadi hebat lagi bersama saya, ‘macan Asia’,” tambah Qodari.

Lembaga survei identik dengan pemilihan presiden di mana pun, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat. Pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016, ada sebuah lembaga survei yang turut andil dalam kemenangan Donald John Trump.

Lembaga Suvey Cambridge Analytica yang disebut-sebut menggunakan big data atau ‘data besar’ dalam analisisnya. Lembaga ini pun dipakai dalam Pemilu di Kenya.

Trump meraih 276 electoral vote mengalahkan Hillary Clinton yang mendapatkan 218 electoral vote pada November 2016. Angka itu kemudian membuat Trump keluar sebagai Presiden AS terpilih dan menjabat hingga kini.

Cambridge Analytica dalam situs resminya mengungkap bagaimana mereka membantu pemenangan Trump. Mereka menyebut telah menganalisis jutaan poin data.

Salah satu strategi yang digunakan adalah bagaimana mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters) dan isu-isu yang para pemilih itu pedulikan.

Cambridge Analytica kemudian mengirimkan ‘pesan-pesan’ yang berdampak pada sikap mereka. “Dengan bantuan kami, kampanye Anda dapat memakai penargetan cerdas dan teknik pengiriman pesan canggih yang sama. Cambridge Analytica mengerahkan 3 tim yang terintegrasi untuk mendukung kampanye: riset, ilmu pengolahan data, dan pemasaran digital,” tulis Cambridge Analytica dalam situsnya.

Firehose of the Falsehood
Mereka juga menegaskan, tim pengolah data mereka sekaliber PhD alias doktor. Para anggota tim juga telah berpengalaman di berbagai pemilihan presiden, kongres, hingga gubernur.

Ahmad M Firdaus, dosen Fakultas Teknik Sipil Perencanaan Institut Teknologi Bandung (FTSP ITB), dalam siarana persnya, Kamis pagi, 4 Oktober 2018, mengatakan, jika Capres dan Cawapres atas nama Prabowo Subianto – Sandiaga S Uno, menggunakan konsultan politik yang sama dengan konsultan politik Donald John Trump, ada beberapa hal yang perlu dicermati.

Berkaitan dengan itu, maka, apa yangg dilakukan Ratna Sarumpaet ini adalah bagian dari teknik Firehose of the Falsehood. Jadi ini adalah bagian kebohongan kentara (obvious lies) yang direncanakan utk membangun ketakutan.

Penelitian Rose McDermott mengenai Genetic of Politics menunjukkan orang konservatif dan progressive memiliki pola kerja otak yang berbeda. Konservatif memiliki amygdala yg lebih aktif sementara progressive memiliki insula yang lebih aktif.

Firdaus mengatakan, amygdala adalah bagian otak yg berhubungan dengan rasa takut sementara insula berhubungan dengan rasa empathy. Hal ini ditunjukan oleh penelitian Rose McDermott yang memperlihatkan gambar seseorang yang sedang ditahan oleh polisi sambil ditekan dilantai dengan kondisi dramatis.

Orang-orang konservatif akan cenderung melihat badge dan logo yang terdapat pada baju seragam polisi di gambar tersebut. Sementara progressive akan melihat mata dari orang-orang yang ada difoto. Mata adalah window to the soul bagi orang-orang progressive.

Maka, orang-orang konservatif akan lebih menyukai keteraturan (order) dan kagum pada otoritas (authority), sementara orang-orang progressive yang didorong oleh empathy akan lebih cenderung bergerak berdasarkan apa yg dirasakan oleh orang lain.

“Jadi obvious lies yg kita lihat akhir-akhir ini adalah untuk men-trigger amygdala para calon pemilih. Teknik firehose of falsehoods ini memang utk membangun ketidakpercayaan terhadap informasi dan membuat amygdala masyarakat aktif secara terus menerus,” kata Firdaus.

Firdanus mengatakan, amygdala adalah bagian otak yg tergolong primitive, karena berhubungan dengan kemampuan kita bertahan (survival instinct). Sementara, dibutuhkan tingkat kecerdasan tertentu bagi sesorang agar Insula-nya lebih aktif.

Seperti yg dapat dibaca dari data Cambridge Analytica, pemilih konservatif memang cenderung akan memilih Prabowo-Sandi. Jadi trigger amygdala ini akan berfungsi utk membuat bimbang kelompok yg ada ditengah dimana selain insula-nya aktif, amygdala-nya masih sedikit lebih dominan.

Jadi, menurut Firdaus, model obvious lies seperti yang kita lihat sekarang ini bukanlah yg terakhir. Teknik firehose of the falsehoods ini membutuhkan kebohongan-kebohongan yg dilakukan secara repetitive dan terus menerus.

“Maka, tampaknya kita akan menyaksikan model Pilpres Amerika Serikat 2016 di Indonesia pada Pilpres Indonesia pada Rabu, 17 April 2019 mendatang,” kata Firdaus. (Aju)