Kejati Gorontalo Kantongi Calon Tersangka Korupsi Rp 90 M Proyek GORR

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Tinggi Gorontalo mengungkapkan pihaknya sudah mengantongi sejumlah calon tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah proyek jalan lingkar luar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR) sepanjang 45 kilometer.

“Sudah ada (calon tersangka–Red) di kantong tim penyidik. Nanti setelah ditetapkan kami secara resmi akan umumkan siapa saja tersangkanya,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo Firdaus Dewilmar, Jumat (23/12/2018).

Firdaus mengaku penyidikan kasus GORR yang dikebut sejak tiga bulan lalu sudah hampir mendekati rampung. “Penyidikan sudah mencapai 70-80 persen dan tinggal sekitar 20 persen.”

Guna membuat terang kasus itu pihaknya sudah memeriksa sekitar seribu warga mengaku pemilik atau yang menguasai tanah negara yang terkena proyek GORR. Selain itu panitia pengadaan tanah serta pejabat setempat, antara lain Wakil Gubernur Gorontalo juga turut diperiksa.

“Kami pun sudah gelar perkara atau ekspose di depan KPK dan JAM Pidsus,” tutur Firdaus seraya mengungkapkan kasus proyek GORR berawal dari rencana Gubernur Gorontalo Rusli Habibie memecahkan masalah kemacetan dan untuk menghubungkan jalan-jalan di Provinsi Gorontalo serta Trans Sulawesi.

Namun dari hasil penyidikan Kejati ditemukan adanya dugaan penyimpangan. Antara lain daftar nama pemilik tanah berubah-berubah. Awalnya jumlah pemilik tanah yang berhak dapat ganti rugi sesuai inventarisasi dari Pemda sebanyak 900 orang.

“Setelah itu nama pemilik tanah berubah sebanyak 80 persen atau sekitar 700 orang. Terakhir jumlah pemilik tanah jadi 1.100 orang dan nama-namanya pun berubah lagi,” tutur Firdaus.

Dikatakannya juga dari 1.100 orang mengaku pemilik tanah ternyata sekitar 80 persen modalnya hanya surat pernyataan sepihak di atas materai kalau mereka pemilik atau yang menguasai tanah.

Padahal, tutur Firdaus, sesuai ketentuan kepemilikan lahan dibuktikan dengan sertifikat, bukti pembayaran PBB atau minimal izin pembukaan lahan dari pemerintah setempat.

Apalagi, kata dia, lahan yang diakui masyarakat sebagai miliknya adalah lahan negara karena berada di kawasan hutan dan merupakan semak belukar. Selain itu, tutur Firdaus, surat pernyataan sepihak selaku pemilik tanah dibuat setelah adanya penetapan lokasi yang akan dibebaskan untuk GORR.

Disebutkannya juga temuan lain dari penyidik adanya indikasi mark up atau penggelembungan harga tanah yang dibebaskan dimana sesuai NJOP harga tanah berkisar Rp2.000 sampai Rp10.000 permeter.

Tapi pada kenyataannya, tutur Firdaus, tanah tersebut dibayar panitia pengadaan tanah antara Rp25.000 sampai Rp125.000 permeter. “Saat ini kami masih sedang menunggu hasil audit berapa kerugian negara dari BPKP.” Namun berdasarkan perhitungan sementara kasus GORR diduga merugikan negara Rp 90 miliar dari nilai proyek Rp125 miliar. (MJ Riyadi)