Keberbatasan Infrastruktur Picu Kepunahan Agama Dayak

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Miskin infrastruktur menjadi satu-satunya penyebab agama asli sebagai produk kebudayaan Suku Dayak, penduduk asli di Pulau Borneo (Kalimantan) terancam punah.

Ancaman kepunahan di tengah-tengah semakin mapannya eksistensi dan infrastruktur agama “impor” seperti agama bumi dan atau agama tradisi besar dan atau agama samawi di Indonesia, Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia.

Padahal, kebudayaan dikaitkan dengan eksistensi agama asli Suku Dayak, merupakan hal prinsip sebagai filosofi atau ideologi manusia Dayak berperilaku yang akhirnya menciptakan pranata adat istiadat, sebuah infrasktruktur mutlak demi terwujudnya jatidiri.

Apabila agama asli Suku Dayak pada suatu saat nanti betul-betul punah, maka benteng terakhir pertahanan kebudayaan Suku Dayak dalam arti luas, otomatis hancur dengan sendirinya. Dampaknya nanti Suku Dayak akan menjadi pribadi manusia yang kehilangan identitas diri.

Karena untuk menghancurkan sebuah komunitas masyarakat dan atau negara, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu, hancurkan kebudayaannya.

Mudah Dihasut

Apabila kebudayaannya hancur, maka komunitas yang bersangkutan, termasuk Suku Dayak, akan menjadi pribadi manusia yang tidak punya ideologi atau filosofi di dalam memproteksi diri di tengah derasnya pembangunan dan globalisasi.

Tanpa ideologi atau filosofi, nantinya Suku Dayak akan menjadi pribadi manusia yang sangat mudah diperdaya, sangat mudah dimanfaatkan, sangat mudah diperalat, sangat mudah dihasut dan sangat mudah diadu-domba oleh sebuah kepentingan lain dengan dalih demi nasionalisme dan demi pembangunan nasional pada sebuah negara tempat mereka tinggal dan menetap.

Karena dalam pemahaman universal, kebudayaan akar dari sebuah peradaban suku bangsa dan atau negara. Kebudayaan melahirkan tiga pranata atau sistem peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik (negara dengan sistem ketatanegaraan yang dianut).

Dalam pranata peradaban sosial, salah satu subpranata sosial yang dilahirkan adalah agama. Karena itulah maka dipahami, kebudayaan melahirkan agama, agama adalah produk budaya.

Kebudayaan masyarakat pada sebuah kawasan, kemudian terbukti melahirkan agama bumi dan atau agama tradisi besar dan atau agama samawi.

Adat istiadat Suku Dayak (termasuk agama asli Suku Dayak di dalamnya), apabila dilihat dari perspektif kebudayaan, apabila ditilik dari asal-usulnya, lahir dari subpranata peradaban sosial. Jadi, subpranata peradaban sosial, salah satu yang dilahirkan adalah agama, termasuk melahirkan agama asli Suku Dayak.

Dengan demikian, bicara masalah kebudayaan Suku Dayak, dalam kaitannya dengan adat istiadat, otomatis pula bicara masalah keberadaan agama asli Suku Dayak di Pulau Borneo wilayah Indonesia, Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia (Sabah dan Sarawak).

Produk Literasi

Penyebab terancam punahnya agama asli Suku Dayak, lantaran minimnya produk literasi dari kalangan elit Suku Dayak, di dalam mengangkat dan mendokumentasikan kebudayaan sendiri dalam bentuk karya tulis.

Padahal, letak kemapanan infrastruktur institusi agama, termasuk agama impor, pada dasarnya ditentukan tiga aspek.

Pertama, disepakati terlebih dahulu nama agamanya.

Kedua, disepakati terlebih dahulu nama kitab sucinya dan kemudian susun materi kitab sucinya.

Ketiga, disepakati terlebih dahulu nama tempat ibadatnya.

Apabila tiga jenis infrastruktur ini sebagai syarat utama eksistensi agama asli Suku Dayak, tidak menjadi perhatian serius kaum elit Suku Dayak, maka lambat laun Kebudayaan Suku Dayak diambang kehancuran dan kepunahan.

Masyarakat Suku Bangsa Dayak, harus belajar dari implementasi Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah.

Kebudayaan Bangsa Yahudi di Timur Tengah, dimana kemudian berkembang di kawasan Eropa, setelah para pengikut Tuhan Yesus dengan produk literasi yang sangat legendaris, terbukti mampu melahirkan sebuah kelembagaan agama bernama: Agama Katolik, kitab suci bernama Injil dan tempat ibadat bernama Gereja.

Satu-satunya agama asli Suku Dayak yang dianut Suku Dayak Uud Danum, Suku Dayak Ngaju dan Suku Dayak Baritu di Provinsi Kalimantan Tengah, ada agama diberi nama Agama Kaharingan, kitab sucinya bernama Panaturan dan tempat ibadatnya bernama Balai Basarah.

Tapi perlu dipahami, Suku Dayak di Pulau Borneo sangat beragam, terdiri dari ratusan sub suku. Sehingga sangat mustahil apabila kemudian diklaim Agama Kaharingan sebagai satu-satunya agama asli Suku Dayak yang bersumber dari Kebudayaan Suku Dayak.

Banyak sekali cerita atau legenda, mengacu kepada tokoh tertentu dahulu kala, sangat layak dijadikan salah satu materi produk literasi. Karena di dalamnya mengandung makna dan nilai hidup bermasyarakat Suku Dayak yang menciptakan suasana rukun, tertib, tentram dan akrab dengan alam.

Apabila tokoh dimaksud, berhasil jadikan sumber produk literasi, maka secara otomatis pula, pada suatu saat nanti, dapat dijadikan salah satu sumber materi kitab suci dari sub Suku Dayak yang bersangkutan, sebagai sumber berperilaku setelah ditentukan nama agama dan tempat ibadatnya.

Keyakinan dan filosofi

Itulah yang terjadi saat ratusan Hakim Adat Dayak atau Temenggung atau Damang, atau Pemanca (sebutan di Sarawak) atau Anak Negeri (sebutan di Sabah), menggelar rapat khusus di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1980.

Di Palangka Raya, 1980, ratusan Damang, menyusun materi Kitab Suci Panaturan sebagai filosofi atau kerangka berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala permasalahan, dalam berperilaku masyarakat Suku Dayak Uud Danum, Suku Dayak Ngaju dan Suku Dayak Baritu di Provinsi Kalimantan Tengah.

Bagian awal Kitab Suci Panaturan, menegaskan nama Tuhan adalah Ranying Hatala (Bahasa Dayak Ngaju). Dia adalah awal dan akhir segala sesuatu. Bagian lain mengisahkan tentang karya penciptaan, asal mula ketidak-abadian manusia, asal mula nenek moyang manusia, dan panduan-panduan upacara.

Kitab Suci Panaturan berasal dari bahasa sangiang atau bahasa sastra kuno Dayak Ngaju, yaitu “Naturan” yang artinya menuturkan atau mensilsilahkan tentang penciptaan dan fungsinya bagi manusia.

Panaturan diyakini sebagai wahyu (sebagaimana agama samawi seperti Agama Katolik) dari Ranying Hatala Langit (Tuhan yang Maha Esa) yang diyakini oleh seluruh umat Agama Kaharingan.

Memang, ada pendapat sementara pihak, menghidupkan kembali agama asli Suku Dayak, sama saja dengan menduakan agama, setelah ada sebagian Suku Dayak resmi memeluk Agama Katolik, misalnya.

Tapi pandangan ini, apabila dilihat dari hakekat kebudayaan, merugikan orang Dayak itu sendiri. Karena urgensi eksistensi agama asli, termasuk agama asli Suku Dayak, sebagai filosofi atau ideologi di dalam berperilaku orang Dayak, sebagai wadah penciptaan identitas diri atau jatidiri.

Sedangkan agama impor, seperti Agama Katolik, misalnya, adalah soal sarana keyakinan seseorang. Karena tidak mungkin orang Dayak kemudian tiba-tiba berubah total menjadi Suku Bangsa Yahudi, setelah mereka memeluk Agama Katolik, hanya lantaran Agama Katolik lahir dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi.

Seseorang manusia Dayak, bisa dengan mudah pindah keyakinan, misalnya, tapi soal filosofi atau ideologi orang Dayak yang bersumber dari agama asli orang Dayak, terpatri dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat.

Jadi, keyakinan adalah jenis agama yang dianut seseorang, sedangkan agama asli sebuah suku bangsa, sebagai filosofi atau ideologi atau kerangka berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala permasalahan yang dihadapi dari suku bangsa yang bersangkutan.

Filosofi dan ideologi yang bermuara dari agama asli Suku Dayak, adalah panduan berperilaku yang bersumber kepada agama asli masing-masing sub Suku Bangsa Dayak di Indonesia, Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia.

Perspektif Berbeda

Akhir-akhir ini, memang sudah mulai muncul kesadaran di kalangan elit muda Suku Dayak, untuk mendokumentasikan kebudayaan sendiri dalam bentuk produk literasi.

Tapi produk literasi yang dibuat, masih sebatas garis besar hukum adat yang sangat minim dari nuansa doktrin agama asli Suku Dayak yang akrab dengan alam sekitar.

Tidak jarang produk literasi yang ditulis, terkontaminasi doktrin agama impor yang dianut para penulis dari Suku Dayak, di samping terkontaminasi hukum positif yang berlaku di Indonesia, Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia.

Jarang sekali produk literasi yang murni mengulas masalah adat istiadat Suku Dayak yang seratus persen berangkat dari sudut pandang atau filosofi atau ideologi kebudayaan asli Suku Dayak yang melahirkan agama asli Suku Dayak.

Padahal, berdasarkan pengalaman Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi, penulis-penulis legendaris (loyalis Yesus) pada masa itu, kemudian dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari materi Kitab Suci Agama Katolik bernama Injil, baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru.

Secara manusiawi, Kitab Suci Injil, ditulis kurang lebih 40 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda dalam kurun waktu 1.500 tahun. Yesaya adalah seorang nabi, Ezra adalah seorang imam, Matius adalah pemungut cukai, Yohanes adalah seorang nelayan, Paulus adalah pembuat kemah, Musa adalah seorang gembala.

Sekalipun merupakan tulisan dari para penulis yang berbeda latar belakang dalam 15 abad, Kitab Suci Injil diklaim tidak bertentangan satu sama lain dan diklaim pula tidak mengandung kekeliruan apapun.

Para penulis Injil, menyajikan perspektif yang berbeda, namun semuanya memproklamirkan Allah yang esa dan sejati yang sama, dan jalan keselamatan yang sama.

Citra Buruk

Minimnya produk literasi tentang agama asli Suku Dayak, lantaran sebagian besar belum terbentuknya infrastruktur agama asli Suku Dayak, dalam pergulatan keseharian, seringkali menimbulkan citra negatif dan citra buruk bagi Suku Dayak itu sendiri.

Ini terjadi, lantaran ketidakmampuan Suku Dayak memberikan penjelasan yang aplikatif tentang hakekat Kebudayaan Suku Dayak itu sendiri yang melahirkan puluhan agama asli Suku Dayak.

Misalnya, banyak pihak, kemudian dengan mudah mengklaim Suku Dayak, itu, sakti. Kemudian dituding pula, Suku Dayak itu kejam, Suku Dayak itu biadab. Paling menyedihkan, Suku Dayak, pernah diklaim sebagai kelompok masyarakat penganut seks bebas, hanya lantaran berangkat dari sudut pandang yang sempit.

Pandangan di atas muncul, setelah melihat dampak paling mengerikan kerusuhan rasial Suku Dayak dengan Suku Tionghoa di Kalimantan Barat tahun 1967, sehubungan operasi militer penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku).

Sosiolog Universitas Indonesia, Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, misalnya, pernah dihukum Adat Dayak dengan nilai nomimal Rp68 juta. Thamrin Amal Tamagola, dihukum Adat Dayak, di Jalan Jenderal Sudirman, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu, 22 Januari 2011, karena mengklaim pernah ada praktik seks bebas di kalangan Suku Dayak.

Pernyataan Thamrin Amal Tamagola, tentang seks bebas di kalangan Suku Dayak, muncul, setelah menjadi salah satu saksi ahli dalam persidangan terdakwa video porno atas nama Nazriel Irham atau Ariel Peterpan di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis, 30 Desember 2010.

Citra negatif lain, muncul, setelah menyaksikan dampak paling mengerikan atas aksi kerusuhan rasial paling berdarah antara Suku Dayak – Suku Madura di Provinsi Kalimantan Barat tahun 1974, 1994, 1996, 1997, 1999, 2000 dan kerusuhan Dayak – Madura di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2001.

Apabila orang Dayak, mampu menyelami agama asli Suku Dayak yang bersumber dari adat istiadat Dayak, maka klaim kesaktian dan atau tudingan kejam dan atau tudingan biadab dan atau tudingan penganut seks bebas kalangan Suku Dayak, bisa dengan sendirinya mampu terbantahkan.

Karena dalam ilmu filsafat sekalipun, soal kesaktian orang Dayak, kekejaman orang Dayak, kebrutalan orang Dayak, kebiadaban orang Dayak, Dayak penganut seks bebas, memang tidak benar, karena memang tidak pernah ada dari sudut pandang agama asli Suku Dayak.

Orang Dayak, dalam takaran tertentu, tiba-tiba bertindak di luar batas alam bawah sadar, karena selalu bermula dari adanya tindak pelecehan pihak luar dari doktrin agama asli Suku Dayak yang mengedepankan kesopanan, kesantunan, ketentraman, dan kedamaian alam sekitar.

Bahwa dalam berperilaku keseharian, implikasi dampak negatif dari benturan peradaban, seperti kerusuhan rasial Suku Dayak dengan suku lainnya di Pulau Borneo, bisa dijelaskan secara lebih ilmiah, apabila berangkat dari filsafat teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati.

Teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, diajarkan filsuf Thomas Aquinas, 1225 – 1274, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal budinya.

Semenjak munculnya ajaran filsuf Thomas Aquinas, berarti sejak abad ketiga belas, sudah tidak ada lagi istilah seseorang atau kelompok masyarakat sebagai tidak bertuhan atau ateis, karena komunitas masyarakat dari berbagai suku bangsa, termasuk Suku Dayak, mengenal Tuhan dengan akal dan budinya sendiri-sendiri.

Orang Dayak pun, mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, seperti adanya sebuah ‘kekuatan’ lebih, saat terjadi benturan peradaban dengan etnis lainnya di Pulau Borneo.

Kerusuhan Sampit

Selasa, 23 Juni 2013, Tim Ekspedisi Harian Sore Sinar Harapan, meliput upacara adat nyengkelan (pemberkatan) tanah Suku Dayak Kantuk di Desa Jaras, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dayak Kantuk masuk dalam rumpun Dayak Ibanic.

Ritual adat nyengkelan tanah dipimpin Tumenang Dayak Kantuk, Kecamatan Putussibau Selatan, bernama Terapit. Dalam upacara nyengkelan tanah (memberkati tanah), sebagai wadah memanggil roh kaum leluhur, agar memberikan berkat dan keselamatan selama membuka lahan untuk berladang.

Selama ritual nyengkelan tanah berlangsung, ada dua kejadian sulit diterima dengan logika dan akal sehat, tapi sangat lumrah bagi warga sekitar yang sudah terbiasa dengan aplikasi ritualisasi adat istiadat Suku Dayak Kantuk.

Saat sesajen dipersembahkan di bagian atas wadah, berupa hati dan paha babi, hanya beberapa menit saat mantra dibacakan, tiba-tiba terjadi getaran beberapa detik, sehingga menyebabkan dedaunan di atas tempat acara ritual digelar, berguguran.

Demikian pula, saat sesajen dihantar di pinggir Sungai Kapuas, saat doa dibacakan, sungai terpanjang di Indonesia, itu, tiba-tiba gelombang air muncul ketinggian dua puluhan sentimeter, diselingi suara gemuruh ombak beberapa detik. Sesudah itu, air Sungai Kapuas, kembali mengalir tenang.

Saat kerusuhan rasial Dayak – Madura di Sampit tahun 2001, seseorang lelaki Dayak berpakaian baju kaos oblong lusuh warna merah, meminta disiapkan baju kaos oblong warna merah di Palangka Raya.

Sejumlah warga masyarakat Dayak di Palangka Raya, tanpa pikir panjang, mengumpulkan uang untuk membeli baju kaos oblong warna merah sebanyak 500 lembar, sesuai permintaan.

Setelah tumpukan baju kaos warna merah tadi diletakkan pada suatu tempat di Palangka Raya, hanya dalam hitungan kurang dari satu jam, ratusan lembar baju kaos warna merah tadi, ludes, tanpa bisa dilihat dengan kasat mata, siapa yang mengambilnya.

Selanjutnya, dalam hitungan kurang dari lima jam kemudian, muncul lautan manusia Suku Dayak berikat kepala kain merah dan berbaju kaous oblong warna merah, memenuhi kota Sampit.

Dampkanya, hal paling mengerikan betul-betul terjadi. Implikasinya kemudian, sempat terjadi aksi baku tempat antara oknum polisi dan oknum tentara di Sampit.

Aksi saling baku tembak antar oknum polisi dan oknum tentara di Sampit, karena terjadi kesalahan pahaman saat melakukan evakuasi terhadap puluhan ribu masyarakat Suku Madura ke sebuah kapal laut yang akan mengangkut mereka ke Provinsi Jawa Timur.

Melihat puluhan ribu lautan manusia Suku Dayak, Bupati Kotawaringin Timur, Wahyudi Anwar, sempat gelisah, karena mesti mencari akal untuk memberi makan puluhan ribu massa, lantaran seluruh aktifitas perekonomian di Kota Sampit, lumpuh total.

Tapi, setelah diyakini, seluruh warga Suku Madura, sepenuhnya berhasil dievakuasi ke kapal laut untuk segera diangkut ke Provinsi Jawa Timur, lautan manusia Suku Dayak yang sempat memenuhi kota Sampit, tadi, tiba-tiba menghilang.

Dari kenyataan ini, bukan berarti sebagai bukti bahwa orang Dayak, itu, sakti. Tapi orang Dayak, dengan akal dan budinya, memiliki kemampuan sangat luar biasa dalam berkomunikasi dengan para leluhur-nya dan Tuhan-nya.

Konsep pemahaman ini malah sudah sangat lama justru menjadi prinsip trilogi kehidupan bernegara Republik Rakyat China (RRC) atau China sehingga negeri tirai mambu itu menjadi negara terkaya di dunia sejak tahun 2005, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Dengan demikian, membangun masyarakat Suku Dayak di Pulau Borneo, harus berangkat dari akar budaya Suku Dayak itu sendiri, yaitu filosofi atau ideologi yang terkandung di dalam agama asli Suku Dayak.

Kebesaran Allah

Melalui pemahaman teologi naturalis seseorang dapat memaknai setiap pengalaman untuk mewartakan kebesaran Allah, versi Gereja Katolik. Sebuah pemikiran didasarkan atas ide-ide Aristoteles.

Gagasan yang memahami segala sesuatu termasuk pikiran atau jiwa adalah bagian dari alam. Teologi yang menekankan, bagaimana pikiran atau jiwa seseorang manusia melihat dan memahami dunia dalam tujuan dan makna kehidupan serta keteraturan universal menuju Allah sebagai tujuan terakhir.

Teologi adikodrati adalah dasar dari filsafat moral. Thomas Aquinas menjabarkan teologi kodrati secara tradisional yang berbeda dari ajaran Anselmus dari bukti-bukti adanya Allah dan sifat-sifat Allah. pengetahuan manusia tidak terlepas dari alam indrawi.

Teologi adikodrati atau naturalis diperkenalkan Thomas Aquinas (1225 – 1274), seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan. Karya terkenal Thomas Aquinas adalah Summa Theologiae (1273), sebuah sintesis dari filsafat Aristoteles dan Ajaran Gereja Katolik.

Pada tahun 1979, ajaran Thomas Aquinas dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.

Ini sebagai tindaklanjut hasil Konsili Vatikan II, 1965, dengan menegaskan, di luar Gereja Katolik, tetap ada keselamatan. Thomas Aquino sering disebut Thomas dari Aquino.

Menurut Thomas Aquinas, pengetahuan manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan melalui alam indrawi. (Aju)

Keterangan foto:

 

Foto-2, Panaturan, Kitab Suci Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak.

Foto-3, Sandung dan sapundu, aktualisasi Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak