Dugaan Kriminalisasi Karen Agustiawan, Bukti Tak Ada Ruang untuk Orang Berprestasi di Indonesia

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Tak ada ruang bagi orang berprestasi di Indonesia. Sekali tampil berprestasi, maka siap-siaplah untuk ‘disingkirkan’ secara hukum.

Pernyataan itu disampaikan pengamat kejaksaan Fajar Trio Winarko mengomentari kasus dugaan korupsi investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009, yang menjerat Galaila Karen Agustiawan. Menurut Fajar, wanita yang pernah pernah membawa Pertamina masuk dalam FORTUNE Global 500 perusahaan dunia terbesar itu, diduga menjadi korban rezim politik saat ini.

Padahal, lanjut Fajar, mantan pengajar Universitas Harvard ini berhasil membuat Pertamina membukukan total pendapatan sebesar 71,1 miliar dolar AS dan membeli aset milik Conoco Phillips di Aljazair pada Desember 2012. Sementara laba bersih pada 2013 meningkat 11 persen menjadi 3,07 miliar dolar AS dari tahun sebelumnya, yaitu 2,77 miliar dolar AS.

Wanita kelahiran Bandung ini juga meningkatkan kinerja perusahaan melalui rencana pembangunan dan peningkatan kapasitas kilang, pemasaran ekspor pelumas ke 24 negara, dan menjaga pertumbuhan produksi minyak rata-rata 6,6 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.

“Berkaca dari kasus Karen ini, banyak orang-orang cerdas dan berprestasi di Indonesia ketakutan dalam berkontribusi membangun BUMN maupun instansi pemerintah. Sebab, tidak ada ruang untuk orang berprestasi, sekali tampil ‘moncer’ maka bakal disingkirkan secara hukum,” kata Fajar di Jakarta.

Terkait kasus yang menjerat Mantan Direktur Utama PT Pertamina ini, Fajar berpendapat tidak ada unsur mens rea (niat jahat). Sebab, lanjut dia, keputusan investasi Pertamina di BMG sudah bagian dari keputusan direksi dan komisaris. “Artinya, jaksa sepertinya lupa dengan adanya Business Judgment Rule (BJR) yang ada di Pasal 97 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mens rea-nya gak ada, jadi direksi pun tak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana,” ujarnya.

“Kalau pun ada kerugian negara, ya perdata. Kalaupun ada kelalaian, apa bisa dikatakan sebagai niat jahat. Saya rasa orang yang pernah kuliah hukum pasti paham lha, kecuali ada desakan di luar batas nalar kita ya,” imbuhnya.

Terkait pertanggungjawaban kebijakan direksi bila BUMN tersebut berhadapan dengan masalah kerugian keuangan negara, maka konsep pertanggungjawabannya dapat dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang saham (RUPS). “Kalau RUPS bilang kita terima kerugian itu maka sudah selesai,” kata Fajar.

Salah satu yurisprudensi BJR, yakni merujuk putusan bebas perkara No. 130 PK/Pid.Sus/2013, yang membebaskan eks pejabat Bank Mandiri, Fachrudin Yasin (Group Head Corporate Relationship) dan Roy Ahmad Ilham (Group Head Credit Approval) dari status terpidana korupsi.

Keduanya terbukti tidak bersalah dalam Peninjauan Kembali. Sebab mereka tak memiliki niat jahat lantaran terbukti berhati-hati ketika mengambil kebijakan pengucuran kredit, di antara bukti baru yang dihadirkan seperti Surat Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia kepada Ketua BPPN tertanggal 20 Juni 2000, Nota No. CGR/CRM.3.109/2002 tertanggal 17 Juni 2002, Nota CGR/CRM.2.275/2002, Surat Edaran Bank Bandiri No. 006/KRD/RMN.POR/2002 tertanggal 24 Desember 2002 tentang Kebijakan Pengambilalihan Aset Kredit dari BPPN.