Advokat senior dan deklatator KKAI Suhardi Somomoeljono saat berbicara di acara Kongres Nasional ke III KAI di Jakarta

Suhardi: KKAI Satu-satunya Markas Besar Organisasi Advokat

Loading

Jakarta (Independensi.com)
Advokat senior dan salah satu deklarator Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) Suhardi Somomoeljono mengatakan perpecahan organisasi advokat di Indonesia bukan sesuatu yang mengagetkan dan mengherankan.
Suhardi bahkan mengungkapkan KKAI saja yang menjadi markas besar dan didirikan oleh delapan organisasi advokat sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2003 tentang Advokat dengan begitu mudah dinihilkan atau tidak diaktifkan.
Padahal, kata Suhardi kepada Independensi.com, Minggu (21/4/2019) KKAI yang didirikan pada 23 Mei 2002 oleh Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI  secara historis memiliki legal standing yang sangat kuat atas diundangkannya UU Advokat.
“Dimana dalam pasal 33 UU Advokat soal Kode Etik Advokat yang ditandatangani KKAI pada 23 Mei 2002 dinyatakan punya kekuatan hukum secara mutatis mutandis sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat Organisasi Advokat,” katanya saat ditanya soal kondisi organisasi advokat belakangan ini.
Disebutkannya juga ke delapan organisasi advokat telah diakui dan disahkan UU Advokat pada pasal 33. “Sehingga secara juridis KKAI sah dan berlaku sebagai induk dari ke delapan organisasi profesi advokat.”
Selain itu, tuturnya, bahwa KKAI berdasarkan Pasal 22 ayat (3) Kode Etik Advokat Indonesia memiliki kewenangan dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan Pemerintah.
Namun sampai saat ini, diakui Suhardi, masih misteri dan tidak ada kajian akademis mengapa KKAI diubah ketika itu oleh Ketua Ikadin Otto Hasibuan menjadi Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi yang diketuai Otto dan akhirnya pecah menjadi tiga.
“Sehingga ketika jadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dari Ferari selaku pemohon dan ditanya hakim MK bisa tidak dinyatakan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat? Saya bilang tidak ada rasionalitasnya,” tutur Suhardi.
Alasannya karena Peradi lahir setelah adanya Undang-Undang Advokat dan Peradi sudah pecah menjadi tiga. “Setelah Peradi lahir muncul organisasi advokat Kongkres Advokat Indonesia (KAI) dan beberapa lainnya,” tutur Suhardi salah satu pendiri KAI yang sempat berbicara kondisi organisasi advokat di Kongres Nasional ke III KAI.
Dia menyebutkan perpecahan di organisasi advokat biasanya karena advokat tidak konsisten menjalankan apa yang sudah diputuskan. “Selain karena ada berbagai kepentingan di dalamnya,” ucapnya.
Mantan Sekjen Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) mengatakan KKAI sampai saat ini belum dibubarkan. “Idealnya jika KKAI diberdayakan kembali sebagai wadah bersama. Maka terhadap organisasi profesi advokat yang baru cukup diverifikasi KKAI untuk dapat menjalankan kedaulatannya seperti halnya organisasi profesi advokat lainnya,” ucap Suhardi.(MUJ)