Bachtiar Sitanggang

Pengawasan Terhadap Advokat Sebagai Profesi Terhormat (Officium Nobile)

Loading

Oleh: Bachtiar Sitanggang

Advokat sebagai profesi terhormat diawasi pertama dan utama adalah oleh dirinya sendiri sesuai dengan rambu-rambu yang diyakininya dapat dia taati secara penuh dan bertanggung jawab.

Rambu-rambu itu adalah Kode Etik Advokat dan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah dinyatakan dalam sumpahnya sebelum memangku profesi Advokat.

Advokat bersumpah “Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:…..”, ingat sumpah itu dilafal-nyatakan “Demi Allah” dan dipandu Ketua Pengadilan Tinggi.

Dapat kita lihat bahwa Advokat itu harus “selesai dengan dirinya” sebagaimana ditetapkan dalam Pembukaan Kode Etik Advokat (alinea 4 -5):

“Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku”.

“Dengan demikian, Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, Pengadilan, Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri”. Artinya, kalau seorang Advokat melanggar Kode Etik dan Peraturan Perundang-undangan secara moral harus “mengaku salah” atau harus memperbaiki kelakuannya, sebab dia telah melanggar “hukum tertinggi” profesinya yaitu Kode Etik.

Oleh karenanya, seorang advokat yang baik dan benar harus taat Kode Etik dan Peraturan Perundang-undangan, tidak harus berkilah atau bersilat lidah.

Walaupun tidak kurang pentingnya, bahwa penegak Kode Etik itu yaitu Anggota Dewan Kehormatan dan Majelis Dewan Kehormatan “harus lebih dua kali lipat kepribadiannya” dari seorang Advokat.

Sebab adalah tidak baik dan tidak benar serta tidak adil Dewan dan Majelis Kehormatan menyidangkan anggota Organisasi Advokat yang diduga melanggar Kode Etik sementara perilaku dan perangai Majelis Dewan Kehormatan “diragukan”, apalagi kalau Pimpinan OA yang bersangkutan tidak sah alias amburadul. Konkrit nya Ketua Umum organisasi itupun harus disidangkan kalau ada pengaduan terhadapnya, tidak sebaliknya Dewan Kehormatan tunduk dan “peliharaan” DPN OA.

Jelas Kepribadian Advokat (Pasal 2) menegaskan “Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya”.

Semakin tegas, bahwa sensor telah tertanam di dalam diri setiap insan Advokat, sejak dia mengucapkan Sumpah Profesi.

Dengan kata lain, seorang Advokat yang melangggar Kode Etik dan Peraturan Peundang-undangan tahu bahwa ia telah melangkahi hati sanubarinya/hati nuraninya.

Sensor berikutnya, kalau seorang Advokat diduga melanggar Kode Etik adalah yang ditentukan dalam Pasal 11 (1), yaitu:

“Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu :
a. Klien,
b. Teman sejawat Advokat
c. Pejabat Pemerintah,
d. Anggota Masyarakat,
e. Dewan Pimpinan Pusat/ Daerah/Cabang dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.

Dengan kata lain, selain terawasi sendiri oleh dirinya sendiri seorang Advokat akan diawasi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh dugaan pelanggaran Advokat tersebut.

Oleh karenanya, tugas OA dalam meningkatkan pengawasan terhadap Advokat adalah mengedukasi Masyarakat dan Pejabat Pemerintah atau men-sosialisasi-kan Kode Etik Advokat agar sadar bahwa setiap yang merasa dirugikan oleh seorang Advokat diberikan ruang untuk mengadukannya secara tertulis ke Dewan Kehormatan agar diadili.

Bahwa berfungsinya Dewan Kehormatan ada persyaratannya yaitu harus ada pengaduan tertulis dari pihak yang merasa dirugikan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik tersebut (ayat 2), dan yang dapat diadukan hanyalah yang mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik (ayat 3), bukan perilaku di depan umum atau perbuatan melawan hukum serta tindak pidana, sebab ada proses hukum untuk itu.

Memang di Pasal 12-13 UU No. 18/2003 diatur Komisi Pengawas, tetapi mungkin pembentuk Undang-undang mengibaratkan seperti Insipektur Jenderal di dalam Pemerintahan, sebagai pengawasan internal sebagai organ DPN, oleh karenanya tidak memiliki legal standing untuk menjadi pihak sebagai pengadu ke Dewan Kehormatan.

Ketaatan Advokat terhadap Kode Etik Profesi Advokat dan Peraturan Perundang-undangan dengan sendirinya akan memperoleh pengakuan sebagai profesi terhormat officium nobile, sekaligus akan diakui statusnya sebagai Penegak Hukum (pasal 5 UU No. 18/2003).

Perlu disadari, bagaimana kita mengatakan sebagai profesi terhormat, kelakuan dan karakter sungguh memalukan di mata masyarakat?

Apanya yang officium nobile? Bagaimana dapat disejajarkan dengan Hakim, Jaksa dan Polisi?

Memang Advokat tidak dibiayai Negara, tetapi tokh dapat honor dari Klien? Kalau Hakim, Jaksa dan Polisi mempunyai atasan Advokat tidak, justru di situlah perlunya Kode Etik yang telah membatin itu.

Menunggu Pemerintah dan DPR membuat UU Advokat yang baru, perlu Organisasi Advokat tidak membiarkan diri disebut sebagai ‘berebut tulang”. UU No. 18 Tahun 2003 kelihatannya sudah tidak memadai karena menyatakan Organisasi Advokat sebagai satu-satunya Organisasi Advokat satu-satunya (single bar) sebagaimana Pasal 28 UU Advokat, tetapi tidak diatur bagaimana syarat untuk single bar tersebut.

Pembentuk UU kelihatannya lengah, tidak mengatur bagaimana persyaratan untuk mencapai “organisasi advokat satu-satunya”, oleh karenanya dengan mudah disimpangi atau dibelokkan dalam praktek.

Dalam mengakomodir “hak untuk berserikat dan berkumpul”, mungkin lebih mudah dengan multi bar, hanya persyaratannya saja yang perlu dijabarkan dan diperketat.

Menunggu UU baru atau perbaikan dan pulihnya arogansi para petinggi Organisasi Advokat (saat ini), ada baiknya untuk mengobati “malu”-nya profesi Advokat di mata masyarakat, yang sangat mendesak adalah perlunya dibentuk satu Dewan Kehormatan bersama dengan Kode Etik yang ada sekarang.

Dengan adanya Dewan Kehormatan Bersama yang tegar dan bertanggung jawab, maka kehormatan provesi Advokat akan terawasi dan dihormati sehingga dapat “menyatakan diri” sebagai bagian dari Kekuasaan Kehakiman.

Selama Organisasi Advokat tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, maka predikat apapun tidak akan diampunya, jangan sampai dianggap perhimpunan pengacau oleh masyarakat.
Salam kasih dan mari tetap sebagai Advokat yang sadar diri.

Penulis adalah mantan wartawan dan kini berprofesi sebagai advokat