Bakamla Perlu Siapkan Fasilitas Komunikasi untuk Menyongsong TSS Di Selat Sunda

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pada sidang pleno International Maritime Organization sub-committee Navigation, Communication and Search and Rescue ke-6, yang diselenggarakan 25 Januari 2019  lalu di London, Inggris, mengesahkan Traffic Separation Scheme di Selat Sunda dan Selat Lombok yang diajukan Indonesia. TSS selanjutnya akan diadopsi dalam sidang Maritime Safety Committee ke-101 pada Juni 2019 mendatang.

Hingar bingar itu terasa di dalam negeri. Berbagai pihak menyambut positif adanya proposal tersebut. Diyakini keuntungan ekonomi akan diperoleh Indonesia ketika TSS itu diberlakukan di Selat Sunda dan Lombok, yang notabene murni wilayah yurisdiksi Indonesia.

Lain halnya di Selat Malaka, di mana TSS-nya dikelola oleh tiga negara yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sehingga TSS di Selat Malaka dinilai berhasil dan cocok untuk jadi percontohan di Selat Sunda dan Lombok.

Namun pertanyaan mengalir deras mengenai kesanggupan Indonesia selaku negara pantai terkait pemberlakuan TSS tersebut. Pengamat maritim Siswanto Rusdi mengutarakan, persiapan Indonesia selaku negara pantai terkait keselamatan dan keamanan di perairan yang diberlakukan TSS perlu dioptimalkan.

“Indonesia sebagai negata pantai harus memiliki infrastruktur IT yang menunjang karena batasnya ini kan imajiner jadi perlu dibantu IT. Kemudian sosialisasi kepada kepada pelayaran-pelayaran kita termasuk nelayan agar tingkat risiko kecelakan, kapal tubrukan dapat diminimalisir,” ujar Siswanto, Minggu (21/4/2019).

Direktur National Maritime Institute (Namarin) ini menyatakan kesiapan organisasi-oraganisasi pengamanan laut juga harus mumpuni. Maka dari itulah, ia berharap penuh kepada kemampuan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang kini digadang-gadang sebagai Coast Guard-nya Indonesia.

“Bagaimana mengamankan perairan di sekitar Banten dan Lampung agar kapal yang berlayar aman dan terhindar dari tubrukan. Aspek-aspek ini yang harus diperhatikan, terutama oleh Bakamla selaku Coast Guard,” ujarnya.

Maka dari itu, ia mendorong agar paling tidak Bakamla memiliki satu fasilitas yang mumpuni terkait radio pantai, radar dan satelit di Kawasan Selat Sunda. Karena sudah sepatutnya TSS itu harus dilengkapi dengan fasilitas demikian.

Tak hanya itu, adanya stasiun untuk SAR dan yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran juga perlu disiapkan. Kendati secara intitusi, fasilitas tersebut berada di bawah Kementerian Perhubungan namun Bakamla bisa mengorganisir dan memegang kendali mengingat fungsinya sebagai maritime security agency.

“Jadi harus ada fasilitas itu, umpamanya di Banten sehingga TSS di Selat Sunda ini bisa jadi percontohan. Maka sudah seharusnya Bakamla menyiapkan itu untuk menyongsong TSS,” imbuhnya.

Selanjutnya, peta navigasi di kawasan TSS harus selalu update. Dan, bila diperlukan, harus melakukan pengerukan di jalur-jalur tertentu supaya tidak ada kapal yang tersangkut akibat gundukan tanah atau pasir.

“Last but not least, harus ada upaya sosialisasi yang masif kepada kapal-kapal nelayan di sekitar perairan TSS agar tidak memotong jalur kapal yang tengah bermanuver dalam skema tersebut. Sosialisasi Rule 10 Colreg kepada ABK kapal penyeberangan pada saat yang sama harus digencarkan pula,” tandasnya.

Hal ini menjadi penting agar harga diri Indonesia di kancah dunia internasional semakin dipandang. Kehadiran Bakamla sebagai Coast Guard juga mampu menunjang upaya tersebut dalam memantapkan peranan Indonesia pada dunia pelayaran internasional. (dan)