HoB, RIS, Soekarno dan Otonomi Khusus Borneo

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Otonomi Khusus (Otsus) Borneo, Heart of Borneo (HoB), Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Presiden Indonesia Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), sebuah dinamika dan atau wacana politik yang pernah dan tengah berkembang di Tanah Dayak di Pulau Borneo (Kalimantan).

Presiden Soekarno, pernah menugaskan salah satu putera terbaik Suku Dayak, Mayor Tjilik Riwut (Gubernur Kalimantan Tengah, 1958 – 1967), menggelar operasi intelijen di bawah kendali Letkol (Inf) Zulkifli Lubis, untuk membubarkan negara federal di Pulau Borneo dalam bentuk RIS berdasarkan Perjanjian Denhaag, Belanda, 27 Desember 1949.

Hasilnya cukup signifikan. Perlawanan berupa demonstrasi dan konflik senjata terhadap Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA), merebak di seluruh Indonesia, termasuk di Pulau Borneo.

Simbol RIS, runtuh pasca Presiden Soekarno menangkap Menteri Zonderportofolio Sultan Hamid II (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, DIKB) di Hotel Des Indes, Jakarta, 5 April 1950. Sultan Hamid II ditangkap karena dinilai terlibat pemberontakan Kapten Pierre Raymond Westerling.

Presiden Soekarno, akhirnya secara sepihak membubarkan RIS dan Indonesia kembali berbentuk republik berdasarkan ideologi Pancasila, terhitung 17 Agustus 1950, sampai sekarang.

Otsus Borneo

Dalam perkembangannya, terutama di era demokratisasi pasca kejatuhan Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, isu kembali diberlakukan negara federal di Indonesia, termasuk di Pulau Borneo, kembali mencuat ke permukaan.

Pemicu tuntutan Otsus Borneo dan paling ekstrim Borneo Merdeka, karena orang Dayak selalu menjadi korban hegemoni, korban diskriminasi, korban marjinalisasi Program Pembangunan Nasional di negara berideologi Pancasila, berlandaskan Kebhinekaan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Orang Dayak sekarang sadar, ternyata di tengah negara berideologi Pancasila, ini, pun, terbukti, sudah dan tengah terjadi pertarungan peradaban hebat dan kejam. Kelompok yang kuat terbukti, terus dengan mudah menghegemoni kelompok yang lemah jaringan infrastruktur kebudayaannya, seperti Suku Dayak di Pulau Borneo.

Di antaranya, rencana penempatan 1,4 juta Kepala Keluarga (KK) transmigrasi di Provinsi Kalimantan Tengah, perampasan tanah adat Dayak untuk perkebunan dan pertambangan.

Ada 5 juta hektar Tanah Dayak di Pulau Borneo sudah dikuasai pemilik modal bidang usaha perkebunan kelapa sawit di bawah perusahaan Sinar Mas Group.

Tuntutan Otsus Dayak Borneo atau Borneo Merdeka, karena Suku Dayak dilindungi hak-haknya sebagai penduduk asli, sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. Deklarasi ini sudah diratifikasi Indonesia.

Menghadapi kenyataan itu, kalau tidak bisa diwujudkan Borneo Merdeka, paling tidak, menurut diskusi di kalangan terbatas, Pulau Borneo harus diberikan Otsus, untuk menjamin kekhususnya yang ada di kalangan Suku Dayak.

Otsus Borneo, dinilai paling dimungkinkan, demi terjaminnya kelangsungan pengelolaan sumber daya alam di Jantung Borneo atau Heart of Borneo (HoB) sebagaimana kesepakatan mengikat Republik Indonesia, Federasi Malaysia, dan Kerajaan Brunei Darussalam, berdasarkan Deklarasi Nusa Dua, Provinsi Bali, 12 Februari 2007.

Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, telah menetapkan kawasan HoB seluas 23,250 juta hektar. HoB wilayah Indonesia mencapai 16,794 juta hektar (72.23%), meliputi Provinsi Kalimantan Barat seluas 4,892 juta hektar (21,04%), di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 3,027 juta hektar (13,02%) dan di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara seluas 8,874 juta hektar (38,1%).

Program HoB telah menempatkan Suku Dayak memiliki posisi tawar cukup tinggi di lingkungan dunia internasional. Sukses tidaknya Program HoB, sebagai paru-paru dunia, seratus persen sangat tergantung dari sikap orang Dayak, apakah mau atau tidak ikut terlibat menjaga keseimbangan ekosistem di Pulau Borneo.

Sekali saja orang Dayak melangkah, dalam arti tidak mau melibatkan diri, karena HoB, dinilai, tidak berpihak kepada kepentingan Suku Dayak, maka hancurlah dunia, karena berdampak langsung terhadap perubahan iklim dunia, global warming (pemanasan global).

Karena itulah, Otsus Tanah Dayak di Pulau Borneo, sebuah tuntutan paling realistis, sebagai bentuk jaminan, program pembangunan di Pulau Borneo, harus mengacu kepada kebudayaan Suku Dayak.

Fakta membuktikan, sistem religi yang menjadikan hutan sebagai pusat peradaban, terbukti telah mampu membuat orang Dayak mampu bertahan hidup selama berabad-abad.

Sistem religi orang Dayak berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menjadikan hutan sebagai sumber peradaban, telah mampu membangun karakter orang Dayak yang mampu berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama.

Karena itulah, wujud Otsus Dayak di Pulau Borneo, merupakan kebutuhan dunia internasional, demi menjamin keseimbangan iklim global, terutama di kawasan Pegunungan George Muller melintas dari wilayah Provinsi Kalimantan Timur – Kalimantan Utara ke Provinsi Kalimantan Barat, dan kawasan Pegunungan Schwaner, melintas dari wilayah Provinsi Kalimantan Tengah ke Provinsi Kalimantan Barat.

Presiden Soekarno

Apabila di lihat ke belakang, tuntutan Otsus Dayak Borneo dan atau Borneo Merdeka, tidak lebih dari bentuk ketidakpuasan terhadap sistem politik yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

Indonesia sekarang, tengah menjadi ajang pertarungan peradaban global. Ini sudah disadari Presiden Soekarno, saat menentukan Indonesia berbentuk republik dan menetapkan Pancasila sebagai ideologi yang berurat berakar dari ideologi sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia.

Itulah sebabnya, Presiden Soekarno, sama sekali tidak menyetujui Indonesia berbentuk federal, sebagaimana keputusan yang telah dilakukan Belanda, pasca Jepang kalah dalam Perang Dunia II, 1945.

Menurut Presiden Soekarno, Indonesia berbentuk federal sebagaimana tawaran Belanda, sama sekali tidak cocok dengan jatidiri Bangsa Indonesia, sebagai bagian tidak terpisah dari peradaban Suku Bangsa di Asia.

Sistem federal Belanda, dengan mengedepankan rasionalitas, liberalisme, bertolak belakang dengan peradaban kebudayaan Suku Bangsa di Asia, termasuk di kalangan Suku Dayak, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada orangtua.

Soekarno bersikukuh, sistem politik di Indonesia, harus sesuai dengan karakter dan jatiridiri Bangsa Indonesia. Identitas kebudayaan berbagai suku Bangsa di Indonesia, menurut Soekarno, adalah modal paling besar di dalam membangun karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, melalui sebuah kesepakatan yaitu ideologi Pancasila.

Berangkat dari kenyataan itulah, Presiden Soekarno selalu mengobarkan semangat antikolonialisme barat. Karena sistem politik liberal mengedepankan rasionalitas Barat, hanya menjadikan pribadi bangsa Indonesia kehilangan identitas jatidiri, sehingga mudah diperdaya asing di dalam mengeruk sumberdaya alam di negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Indonesia Pemerintahan Tuhan

Akan tetapi jatidiri Bangsa Indonesia, musnah, sirna, berbalik arah, condong ke barat, pasca Gerakan 30 September (G30S) 1965. Dunia Barat berhasil mengendalikan Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998), menjadikan Indonesia berafiliasi dengan pemahaman sistem politik barat.

Di era Presiden Soeharto, sampai sekarang, 2019, jatididiri Bangsa Indonesia, berubah total dari antikolonialisme menjadi antikominisme, dengan berbagai implikasi luas dan serius.

Melalui berbagai kebijakan, Pemerintah Republik Indonesia mengklaim diri sebagai Tuhan, dengan merasa paling berhak menentukan arah keyakinan iman seseorang.

Tahun 1978, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menggariskan mengharuskan pencantuman nama salah satu agama impor di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Kementerian Agama Republi Indonesia, tidak mau kalah, dengan menentuan kriteria sebuah agama, dengan terlebih dahulu menentukan nama agama, nama kitab suci, nama tempat ibadat.

Kemudian, harus ada dalam catatan tertulis jumlah pemeluk agama yang dimaksud sekaligus lokasi sebarannya, sehingga kebijakan Kementrian Agama Republik Indonesia dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, sangat menguntungkan eksistensi agama impor, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha.

Saat bersamaan, masyarakat Indonesia yang masih setia kepada agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, dituding bukan agama.

Belum memeluk agama, dan kemudian berimplikasi dituding tidak beragama, identik dengan komunis dan atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dibubarkan tahun 1966.

Dampaknya, Bangsa Indonesia kehilangan identitas diri, karena terlalu mendewakan agama impor. Praktik pendewaan agama impor, berimplikasi kepada keyakinan iman dipaksa menjadi ideologi melalui berbagai aksi radikalisme dan terorisme yang tumbuh marak di Indonesia.

Doktrin agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai bukti kecerdasan bertindak, bukti kecerdasan berpikir dan bukti kecerdasan bersikap, dalam membentuk karakter manusia Indonesia beradab, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama, sudah tidak dipedulikan lagi.

Putusan MK-RI 2017

Peluang Bangsa Indonesia, kembali kejatidiri bangsa di dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial, sebagaimana dikumandangkan Presiden Soekarno melalui konsep antikolonialisme, pada dasarnya sudah terbuka lebar melalui keputusan Mahkamak Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), Selasa, 7 Nopember 2017.

Putusan MK-RI, Selasa, 7 Nopember 2017, mengakui eksistensi Aliran Kepercayaan, dimaknai sebagai pengakuan terhadap keberadaan semua agama asli dimiliki berbagai suku bangsa di Indonesia.

Pengakuan terhadap Aliran Kepercayaan, peluang menjadikan kembali doktrin berbagai agama asli di Indonesia, berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, sebagai jatidiri Bangsa Indonesia.

Karena itu, harus dibedakan antara keyakinan dan filosofi. Aplikasi agama impor yang dianut, mesti dilihat sebagai sarana keyakinan, sedangkan agama asli berbagai suku bangsa, sebagai filosofi di dalam etika berperilaku.

Jadi, antara agama impor sebagai keyakinan iman dan agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia sebagai filosofi harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, agar terhindar dari tudingan mencampuradukkan ajaran agama.

Tuntutan Otonomi Khusus Borneo atau Borneo Merdeka, tidak akan ada maknanya, apabila orang Dayak, belum mensepakati terlebih dahulu filosofi dan ideologi dalam etika berperilaku yang bersumber dari doktrin agama asli Suku Dayak itu sendiri.

Wujud Otonomi Khusus Dayak Borneo dan atau lebih ekstrim Borneo Merdeka, hanya akan menjadi sumber konflik baru di lingkungan internal, apabila tidak disepakati terlebih dahulu konsep ideologi dan filosofi yang bersumber kepada kebudayaan Suku Dayak yang telah berabad-abad, dimana berhasil menjadikan hutan sebagai sumber peradaban, untuk mampu bertahan hidup.

Membangun Pulau Borneo dalam bentuk Otonomi Khusus dan atau Borneo Merdeka, tanpa disepakati melalui sebuah ideologi Suku Dayak yang aplikatif, hanya akan dijadikan ajang kepentingan pragmatis kaum elit internal untuk mencapai tujuan kelompok dan keluarganya.

Berbagai bentuk organisasi Dayak yang tumbuh dan berkembang selama ini, dimana selalu dimotori dan dikendalikan oknum elit Dayak, sangat elitis, tapi sama sekalit idak mengakar, karena selalu digunakan untuk kepentingan pragmatis, paling tidak, sudah membutikan hal itu. (Aju)