Mahkamah Agung Unjuk Gigi

Loading

Independensi.com – Selama ini banyak pihak beranggapan Mahkamah Agung (MA) tidak responsif terhadap keluhan laporan masyarakat dan pencari keadilan, bahkan “membela” bawahannya yang diduga sebagai “hakim-hakim” nakal. Kalaupun dipindah sering dianggap sebagai “ditendang ke atas”.

Tetapi kali ini, MA menjatuhkan sanksi tidak hanya kepada Majelis Hakim tetapi juga kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Cibinong Provinsi Jawa Barat yang memeriksa dan memutus bebas pelaku kejahatan seksual di PN itu pada 25 Maret lalu, di mana PN Cibinong memvonis bebas terdakwa kasus pemerkosaan.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah seperti diberitakan, melalui pesan singkat Selasa (30/4/2019) menyebutkan “Pimpinan MA menjatuhkan sanksi tidak saja kepada majelis pemeriksa perkara, yaitu MAA, CG dan RAR, namun juga atasan langsungnya yaitu LJ selaku Ketua PN Cibinong,” ujarnya.

Sanksi itu diberikan karena dinilai Majelis Hakim PN Cibinong telah lalai memberikan hak anak dalam persidangan. Oleh sebab itu MA menjatuhkan sanksi berupa pembinaan di Pengadilan Tinggi Bandung, sesuai Maklumat Ketua MA Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX/2017, maka Ketua PN Cibinong sebagai atasan langsung juga terkena sanksi,” tambah Abdullah.

Pada 25 Maret 2019 majelis hakim PN Cibinong memutus bebas terhadap terdakwa HI (41 tahun) yang didakwa melakukan kejahatan seksual terhadap dua anak tetangganya yang berusia 14 tahun dan 7 tahun. Putusan tersebut mengundang perhatian, keprihatinan dan reaksi keras dari masyarakat, sehingga laporan atau pengaduannya sampai ke MA.

Dengan adanya Komisi Yudisial (KY) setelah amandemen UUD 1945 diharapkan wajah muram peradilan kita akan terhapus, namun dengan kebebasan hakim kadang-kadang ditafsirkan berlebihan, menyebabkan seolah hakim itu tidak bisa diganggu gugat terutama putusannya.

Sehingga ada kesan KY itu bagaikan pelengkap penderita alias dibutuhkan di kala perlu, baik dalam hal seleksi, rekruitmen, pengawasan dan penindakan hakim.

Dengan unjuk gigi-nya MA semoga anggapan miring itu terhapus dan apa yang terjadi selama ini menjadi pembelajaran bersama untuk sinkronisasi menuju penyempurnaan pelaksanaan ketentuan paraturan perundang-undangan dan perwujudan keadilan sehingga kepentingan pencari keadilan terlindungi.

Oleh karena itu, tindakan tegas MA tersebut, dimana  sudah lama dinantikan masyarakat harus diapresiasi dan kelompok masyarakat pemerhati penegakan hukum dan perwujudan keadilan diharapkan aktif memonitor instansi dan lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan termasuk advokat sebagai penegak hukum sesuai pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Memang Pasal 28 UU Advokat menyebutkan, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah tunggal profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UU ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas advokat.

Tetapi mungkin pemimpin Organisasi Advokat (OA) tidak mau atau tidak mampu menghayati makna dari UU Advokat tersebut sehingga OA saat ini hancur berkeping-keping karena jumlahnya mungkin mencapai 27 organisasi bahkan bisa bertambah lagi.

Menjamurnya OA itu hendaknya menjadi tanggung jawab dan keprihatinan nasional terutama Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU Advokat, sebab dengan jumlah OA sebanyak itu tanpa dibarengi Kode Etik Provesi akan sangat merugikan pencari keadilan termasuk penegakan hukum dan perwujudan keadilan secara menyeluruh, sebab tanpa pengawasan Advokat akan dengan mudah mempengaruhi penegak hukum lainnya sebab hampir sulit untuk menegakkan Kode Etik Advokat bagi 27 OA, dengan kata lain akan menyubur tumbuhkan mafia peradilan.

Kita berharap di era kepemimpinan pemerintahan periode 2019-2024 harus masuk prioritas pembenahan penegak hukum, pemenuhan sarana dan prasarana serta SDM seperti penyidik dan penuntut umum di KPK dan pembenahan advokat sebagai penegak hukum.

Pembenahan dapat disaksikan di tubuh Kepolisian, sementara Kejaksaan dan Pengadilan masih utopis karena keluhan dan kritik masyarakat masih tetap tinggi, advokat sendiri dan organisasinya bagaikan “ayam kehilangan induk” sehingga perlu perhatian khusus pemerintah dan DPR.

Peningkatan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, akan tergangngu oleh maraknya peredaran narkoba, tingginya tindak pidana korupsi dan semakin bervariasinya kejahatan di tengah masyarakat, tanpa pembenahan aparat penegak hukum, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan tetap timpang. (Bch)