Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto dalam acara “workshop pengembangan klaster budidaya perikanan kerjasama utara-utara” yang dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Utara Utara (BKSU) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Kamis (20/6)

KKP Dukung Terbangunya  Kawasan  Perikanan Budidaya di Utara Pulau Sulawesi

Loading

BUOL (IndependensI.com) – Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto dalam acara “workshop pengembangan klaster budidaya perikanan kerjasama utara-utara” yang dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Utara Utara (BKSU) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Kamis (20/6) mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendukung penuh terbangunnya kawasan perikanan budidaya pada wilayah kerjasama kabupaten yang secara geografis berada di utara pulau Sulawesi tersebut.

Sebagai informasi, BKSU sendiri merupakan wadah kerjasama kabupaten yang berada di kawasan utara Sulawesi, saat ini beranggotakan 4 kabupaten yakni Buol Provinsi Sulawesi Tengah, Gorontalo Utara dan Bone Bolango Provinsi Gorontalo serta Bolaang Mongondow Utara Provinsi Sulawesi Utara. Ketua badan kerjasama ini bergiliran di antara anggotanya, saat ini Bupati Buol bertindak sebagai ketua yang sebelumnya diketuai Bupati Bone Bolango.

Kerjasama utara utara bertujuan mendorong percepatan pembangunan kawasan utara Sulawesi dengan prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, saling memperkuat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Serta guna mewujudkan keempat daerah anggotanya menjadi kawasan strategis nasional perbatasan negara aspek ekonomi wilayah.

Tiga program unggulan BKSU yakni pengembangan sapi potong, budidaya udang vaname, dan pariwisata. Pemilihan program dan komoditas didasarkan pada kesamaan potensi dan komoditas unggulan keempat kabupaten anggota kerjasama utara utara tersebut.

Menanggapi program BKSU tersebut, Slamet menyampaikan bahwa salah satu konsep pengembangan kawasan perikanan budidaya khususnya udang vaname yang tengah gencar dilakukan KKP yakni kawasan budidaya udang vaname berkelanjutan berbasis klaster.

“secara teknis, tantangan pengembangan kawasan budidaya udang yakni terkait dengan pengelolaan tambak yang belum menerapkan prinsip berkelanjutan dan belum tertata dengan baik secara teknis maupun manajemennya”jelas Slamet.

“selain itu, lemahnya implementasi biosecurity, penyebaran penyakit dan tracebility juga masih menjadi tantangan dalam budidaya udang. Oleh sebab itu, klasterisasi ini merupakan konsep yang tepat untuk menjawab berbagai tantangan tersebut”, lanjut Slamet saat memberikan sambutannya dalam workshop tersebut.

Ada tiga aspek utama menurut Slamet yang menjadi prinsip dalam manajemen dan implementasi konsep klasterisasi tersebut, yakni manajemen lingkungan, efisiensi dan integrasi.

Manajemen lingkungan lanjut Slamet, meliputi penyusunan zonasi budidaya udang dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K); pemeliharaan kawasan mangrove serta meminimalkan serangan dan penyebaran penyakit.

Aspek efisiensi terangnya, meliputi implementasi sistem polikultur udang/bandeng/ rumput laut, closed system, dan teknologi resirculating aquaculture system (RAS).

Sedangkan aspek integrasi yakni dukungan lintas sektor untuk pengembangan usaha dan penyediaan infrastruktur; adanya sinergi kebijakan pemerintah pusat atau kementerian, daerah dan stakeholder; serta integrasi unit produksi hulu-hilir seperti hatchery, cold storage, pabrik es, kawasan tambak udang, bandara, pelabuhan ekspor dan berbagai infrastruktur pendukung lainnya.

“Dalam konsep klasterisasi, areal tambak udang tidak melulu digunakan untuk kegiatan pembesaran udang. Namun ada pembagian kawasan tambak, yakni 50% lahan untuk pembesaran udang dan 50% sebagai kawasan penyangga meliputi 30% polikultur dan 20% untuk bandeng”, jelas Slamet.

Disinggung terkait dukungan yang diperlukan untuk penyediaan infrastruktur dari lintas sektor, Slamet menyampaikan bahwa untuk mendukung klastersisasi tambak udang, diperlukan rehabilitasi jaringan irigasi tambak, kontruksi dasar tambak, dan pematang tambak.

Selain itu, pembuatan akses jalan produksi dan jaringan listrik. “kami berharap penyediaan infrastruktur ini bisa mendapatkan dukungan dari sektor atau kementerian terkait”, ujarnya.

“selain infrastruktur, input produksi seperti benih unggul dan pakan bermutu, kincir, pompa penyediaan BBM, air bersih, pendampingan teknis dan usaha, serta kemitraan juga menjadi faktor yang perlu dipenuhi”, tambah Slamet.

Saat ini menurut Slamet, KKP telah membangun beberapa kawasan percontohan budidaya udang berkelanjutan dengan konsep klasterisasi di beberapa daerah seperti Desa Paloh, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Desa Sarjo, Kabupaten Pasangkayu Sulawesi Barat, dan Desa Sejoli Kabupaten Parigi Motutong Sulawesi Tengah.

“KKP juga sudah memberikan berbagai dukungan untuk pengembangan kawasan klaster tambak udang seperti dukungan alat berat ekscavator, penyusunan DED, program PITAP atau perbaikan irigasi tambak melalui partisipasi masyarakat”, tutup Slamet.

Sebagai informasi, perkembangan produksi udang nasional tahun 2015 – 2018 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 35,22%. Sejak tahun 2017 produksi udang secara total telah mencapai target dan pada tahun 2018 capaian target produksi udang sebesar 153,63 persen.

Sedangkan potensi wilayah perikanan budidaya mencapai 12,9 juta hektar, baru termanfaatkan sebesar 7%. Untuk budidaya tambak pemanfaatan baru 650.509 hektar sedangkan potensinya sebesar 2.964.331 hektar. (eft)