Oleh : Adlan Daie (Wakil Sekretatis PWNU Jawa Barat)
INDRAMAYU (IndependensI.com) – Mengutip lirik sebuah lagu lama yang kembali populer di jagat publik, “Aku yang dulu, bukanlah aku yang sekarang“, agaknya dalam persepsi publik akhir-akhir ini menggambarkan kekinian sosok Jokowi. Jika dulu “Jokowi Adalah Kita“, sebagamana tagline kampanye Pilpres 2014, lima tahun silam, yang mewakili sosok “umumnya” rakyat Indonesia, “ndeso“, tampilan biasa-biasa saja, diksi dan narasinya tidak dicanggih-canggihkan, kini di akhir pemerintahannya bersama Jusuf Kalla, mulai memudar tertutup tabir panggung depan yang diperankan para juru bicara (jubir) yang celakanya tidak mewakili sosok “Jokowi Adalah Kita” melainkan mewakili tampilan mereka sendiri yang “over action“. Inilah antara lain pangkal meredupnya “inner power” Jokowi. Sumber defisit kekuatan pesonanya di ruang publik belakangan ini.
Dalam bukunya, “All The Presidents Spokersmen“„ Woody Kien mendefinisikan jubir kepresidenan adalah figur yang ditunjuk mewakili pemerintah dalam memenuhi kebutuhan informasi publik dan media. Tugas jubir, mengutip pandangan Richard E Neustad dalam bukunya “Preparing to be Presidents“, untuk membantu mempresentasikan presiden dan kebijakan-kebijakannya sekaligus citra presiden dengan cara terbaik melalui medium apapun yang diperlukan.
Dalam konstruksi pemerintahan Jokowi, jubir kepresidenan.yang memenuhi kualifikasi definisi di atas, hemat penulis hanya Johan Budi, mantan jubir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditunjuk Jokowi secara khusus sebagai jubir kepresidenan. Johan Budi dengan pengalaman yang panjang sebagai wartawan mampu memposisikan diri sebagai jubir kepresidenan. Posisinya sebagai sumber informasi kepresidenan adalan mempresentasikan presiden dan kebijakan kebijakannya di depan media secara runtut diperankan dengan baik, tidak menjelaskan opini pribadinya tentang presiden dan kebijakan-kebijakannya serta tidak dalam posisi sebagai “tameng” presiden yang bersifat “menyerang’ pihak lain yang dapat merusak citra presiden.
Tampilnya Jend (purn) Moldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan dan Ali Mukhtar Ngabalin, Deputi Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, mengganti peran Johan Budi setelah mundur dari posisi jubir kepresidenan beberapa waktu lalu, menjadi.salah satu sumber defisit citra Presiden Jokowi di ruang publik. Keduanya, baik Moeldoko maupun Ali Mukhtar Ngabalin, karena terbawa latar belakangnya masing masing, lebih berperan sebagai “tameng” presiden yang acapkali “menyerang” pihak lain dengan narasi dan diksi yang sangat paradoks dengan sosok Jokowi yang diwakilinya. Justru sering alpa mempresentasikan presiden dan kebijakan-kebijakannya, misalnya yang paling update terkait persoalan Papua dan demonstrasi mahasiswa, yang tidak utuh informasinya dari pemerintah, bersifat parsial, dan tumpang tindih satu sama lain.
Kini, menjelang memasuki periode keduanya, penting bagi Jokowi mengevaluasi peran jubirnya sebagai panggung depan politik untuk menghindari defisit citra dan kekuatan pesona langgam pemerintahan yang dipimpinnya. Dalam perspektif Richard E Nustad dalam bukunya diatas, tim jubir yang ditunjuk nanti harus memiliki level kemampuan memadukan dua fungsi, yakni fungsi internal sebagai konsultan “public relation” (“PR”) Presiden dan fungsi eksternal sebagai jubir yang menjembatani presiden dengan media dan pengatur utama bagi aspek aspek “PR” seperti pidato dan pernyataan press.
Dalam pengertian jubir sebagaimana di atas, maka figur seperti KH Maman imanulhaq, sesungguhnya sangat layak menjadi jubir kepresidenan jika tidak terbentur aturan sebagai Anggota DPR RI, atau ditunjuk sebagai salah satu menteri di Kabinet Kerja II. Alternatif yang sama layaknya adalah Yeni Wahid, Direktur Wahid Institute dan Abdul Malik Haramain, mantan Anggota DPR RI untuk dipertimbangkan Presiden Jokowi ditunjuk menjadi bagian tim jubir kepresidenan. Keduanya, dari sejumlah figur-figur lain yang ada, memiliki kapasitas untuk memadukan dua fungsi “PR” di atas dan memenuhi kualifikasi sebagai jubir kepresidenan sebagaimana pandangan Sony Snoy, jubir Presiden AS, George W. Bush, yakni memiliki pemahaman politik Nasional, loyalitas dan memahami kebutuhan media.
Tentu, pada akhirnya terpulang pada Jokowi pemegang hak prerogatif, siapa yang ditunjuknya sebagai jubir kepresidenan yang pasti jubir kepresidenan adalah panggung depan politik Jokowi, sudah seharusnya menjadi bagian penting dari “inner power” dan pesonanya, bukan sebaliknya, menjadi sumber “defisit citra” bagi pemerintahannya di periode lima.tahun ke depan. Semoga.