Peringatan HPS – 39 di Kendari, Kementan akan Pamerkan Teknologi Pengolahan Kakao dan Pompa Air Berbasis 4.0

Loading

KENDARI (IndependensI.com) – Tiap tahun Indonesia memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS). Untuk tahun ini, peringatan HPS ke – 39 akan berlangsung pada 2 – 5 Nopember 2019 di Sulawesi Tenggara. Ada dua komoditas yang menjadi fokus utama perhatian pemerintah yakni kakao dan sagu.

“Peringatan HPS tahun ini akan berlangsung di dua lokasi yakni Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan, tepatnya Kecamatan Angata,” kata Ketua Pelaksana HPS sekaligus Direktur Jenderal Hortikultura, saat mengecek kondisi persiapan di Desa Puudambu, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Rabu (16/11).

Acara ini akan mengedepankan teknologi pertanian pada kedua komoditas tersebut. Pemanfaatan teknologi ini sejalan dengan tema nasional yang mengusung, “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045”.

Beberapa teknologi yang ditampilkan antara lain pompa air berbasis android dan mesin pengolah kakao. Kedua teknologi besutan Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) ini digadang-gadang akan dioperasikan perdana oleh Presiden RI nanti.

Pompa air berbasis teknologi 4.0 ini dapat disetel hingga kejauhan ribuan kilometer. Power on – off menyatu dalam handphone operator dengan bantuan internet.

“Ini luar biasa sekali ya. Hanya dengan satu tangan, kita bisa mengoperasi mesin air dalam jarak jauh. Petani tidak perlu repot ke ladang untuk menyalakan air. Ini bahkan bisa dioperasikan dari Bogor,” ucap Anton bangga.

Hal ini diamini teknisi Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Heri. Dirinya menyebutkan meski baru diujicobakan di lokasi gelar teknologi pada pelaksanaan HPS, terbukti sangat membantu pelaksanaan panen kakao nanti.

“Mesin ini dapat dioperasikan jarak jauh asalkan sinyal internetnya kuat. Debit air dalam 1 detik sebanyak 4 liter. Apabila menyala lebih dari 3 jam, mesin akan otomatis mati,” ujar Heri.

Budidaya kakao rakyat di Angata sudah cukup baik. Meski kemarau panjang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia, tapi petani masih bisa panen dengan baik, bahkan panen di luar musim. “Dengan teknologi Balitbangtan, pada musim kemarau petani bisa panen di luar musim, bahkan sampai dua kali panen,” katanya.

Di kebun petani yang menjadi lokasi acara gelar teknologi HPS ini, ungkap Anton, juga akan diperkenalkan teknologi tumpang sari kakao dengan tanaman pangan. Nantinya lahan kakao yang sedang diremajakan akan dilakukan tumpang sari dengan padi gogo, kedelai dan jagung. Dirjen termuda di Kementan ini menyebutkan pohon kakao di Angata sudah melalui peremajaan yang dinamakan sambung samping. Tehnik peremajaan bisa mempercepat panen.

“Ini adalah tanaman kakao varietas unggul MCC 02 yang produktivitasnya mencapai 2,5 ton. Di sini tanaman kakao sudah melalui peremajaan sambung samping. Tanaman yang tua dipangkas dan di sisi kiri – kanan ditempel batang baru. Jadi dengan sambung samping cukup 2 – 2,5 tahun tanaman bisa berbuah,” jelas Anton.

Pada perhelatan HPS nanti, Balibangtan juga akan memamerkan paket mesin pengolahan kakao. Terdiri dari alat sangrai, pengupas kulit, alat press, pelembut, pengayak, dan penghalus bubuk coklat.

Peneliti utama Balai Besar Pasca Panen Pertanian, Hernani
menyebutkan, “Alat ini akan dipamerkan pada acara HPS nanti. Selain menunjukkan teknologinya, sekaligus mendorong para petani menciptakan skala usaha rakyat. Dari alat ini bisa dibuat permen cokleat, selain atau cokelat batangan.”

Data Ditjen Perkebunan menyebutkan bahwa Sulawesi Tenggara pada 2018 memiliki luasan kebun kakao mencapai 257.789 hektare terdiri dari 42.229 hektare tanaman kakao belum menghasilkan (TBM), 135. 831 hektare tanaman kakao menghasilkan (TM) dan 79.729 hektare tanaman kakao tidak menghasilkan atau rusak. Sementara luas perkebunan milik rakyat di Kecamatan Angata ada 800 hektare.

Panganan Sagu jadi Ikon HPS

Sagu identik dengan panganan pokok masyarakat timur Indonesia. Masyarakat Suku Tolaki mengenalnya dengan nama Sinonggi, yakni bubur dari sari pati sagu. Masakan serupa di Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan kapurung, sementara di Maluku disebut Papeda. Meski bentuknya sama, cara sajiannya berbeda satu sama lain.

Tidak hanya sinonggi, aneka panganan lokal berbahan dasar sagu akan disuguhkan bagi para tamu HPS nanti. Bahkan akan menjadi ikon pada pagelaran tahunan itu. Anton menilai, sagu menjadi sumber karbohidrat potensial untuk dikembangkan, termasuk pengembangan pasca panen sagu.

“Tanaman sagu ini tahan dengan cuaca ekstrim. Dalam kondisi liar saja luar biasa pertumbuhan dan produktivitasnya. Ini akan kita dorong, tidak hanya dalam skala nasional, namun juga ke pasar ekspor. Ekspor pun tidak hanya dalam bentuk _raw_ , namun juga olahan,” ujar Anton saat menunjukkan salah satu kebun sagu.

Berdasarkan data Ditjen Perkebunan pada 2018, Sulawesi Tenggara memiliki 5105 hektare dengan produktivitas 2795 ton tepung sagu. Tanaman sagu di Sulawesi Tenggara tumbuh alami. Sagu yang dikembangkan di wilayah ini ada dua jenia, yakni sagu rui atau pohonnya berduri dan sagu roe yang pohonnya tidak memiliki duri.

Untuk satu batang pohon sagu ukuran 10 meter, menghasilkan sagu basah sebanyak 595 kg. Apabila sudah menjadi sagu kering akan terjadi penyusutan sebanyak 40 persen atau sekitar 357 kg. Harga sagu basah per karung berukuran 17 kg senilai Rp 60 ribu.(***)