Ketua KPK Firli Bahuri

Saatnya Kinerja KPK Dievaluasi

Loading

Independensi.com – Setelah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK dilantik 20 Desember 2019 lalu oleh Presiden Joko Widodo sampai hari ini, seolah masih belum menunjukkan kinerjanya sebagaimana diharapkan publik.

Dibandingkan pendahulunya, sebelum ada Dewas KPK sesuai Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU KPK, hampir tidak ada geliat, sehingga dugaan pelemahan super body itu benar-benar terjadi. Dewas kah yang mengekang?

KPK sejak dua bulan lalu melakukan OTT, Bupati Sidoarjo dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, menurut Syamsudin Haris masih produk UU lama, setelah UU baru masih nihil.

Tugas dan kewenangan Dewas KPK diatur Pasal 37B UU KPK: a). Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b). Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

c). Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; d). Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;

e). Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan f). Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.

Kewenangan penyadapan kelihatannya tidak lagi menjadi andalan KPK, terbukti tidak mampu mengendus mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya. Juga Harun Masiku sebagai tersangka dalam kasus berbeda.

Teka-teki tentang tidak “mampu”-nya KPK menyegel ruangan di Jln Diponegoro, konon, karena tidak memiliki surat lengkap, juga petugas lapangan KPK tidak berhasil menangkap seseorang di kompleks PTIK kabar beritanya abu-abu. Apakah ada kaitan peristiwa “kegagalan” itu dengan dikembalikannya penyidik ke Polri dan penuntut umum ke Kejagung?

Apa yang terjadi ditubuh KPK, rakyat masih menunggu penjelasan yang jujur dari pihak-pihak yang diberikan kewenangan oleh UU.

Banyak pihak yang mengomentari 100 hari masa bahkti periode ke dua Presiden Joko Widodo ada yang menilai positif, sedang dan membaik sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tetapi di dalam bidang pemberantasan korupsi, kalau tidak jalan di tempat, bisa saja  ada yang menilai langkah mundur berkaitan pula dengan adanya yang menolak revisi UU KPK yang diduga sebagai upaya melemahkan. Atau menunggu apa yang dikemukakan Dr. Luhut MP Pangaribuan SH LLM di salah satu stasiun televisi, “menunggu matinya” dengan berbagai alasan.

UU-nyakah yang mengekang pimpinan KPK untuk terlebih dulu membersihkan “piring kotor” peninggalan masa lalu, sehingga dalam dua bulan harus menghentikan 36 penyelidikan kasus.

Kalau itu yang terjadi, seharusnya dijelaskan, mengapa penyelidikan kasus-kasus itu dihentikan. Sebab tanpa penjelasan, akan ada tanggapan bahwa KPK jilid V, belum kerja sudah hentikan pengusutan, apa ada yang intervensi, pilih bulu atau karena tidak mampu?

Penjelasan itu juga perlu bagi individu yang telah dipersepsikan sebagai “koruptor” selama itu termasuk keluarganya, dan itu juga membuktikan ada ketidak akuratan dalam penerimaan laporan tentang terjadinya dugaan korupsi masa lalu.

Dengan abu-abu terus tidak salah masyarakat beranggapan KPK tersandera UU, untuk bertindak harus meminta izin ke Dewas KPK. Walaupun Ketua Dewas Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, kalau pimpinan KPK minta ijin akan dijawab 1 x 24 jam. Artinya, tidak ada permintaan izin sesuai UU, itulah mungkin penyebab “gagal” di jalan Diponegoro dan PTIK?

Dengan kepribadian, integritas dan ketokohan para Dewas tidak akan bermain-main dengan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya sesuai dengan etika dan moral serta sumpah jabatannya.

Tetapi kalau KPK tetap seperti sekarang dikelola dan oleh Pelaksana Tugas (Plt) juru bicara, rasanya Dewas KPK bagaikan “golok mengiris bawang”. Seperti yang dikemukakan anggota Komisi III DPR Benny K. Harman langsung ke Tumpak Hatorangan, bahwa para Dewas itu “bagaikan mobil mewah di tengah hutan”, tidak bisa berbuat apa-apa.

Barangkali dengan masa tugas KPK selama dua bulan ini, Menkopolhukam terutama Presiden perlu mengevaluasi pemberantasan korupsi. Sebab dengan “gamang”-nya KPK akan mempengaruhi kinerja Kabinet Indonesia Maju Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin, yang baru bekerja tiga bulan. (Bch)