Di Masa Pandemi Covid 19 Utang Luar Negeri Melonjak Hingga Rp 6.082 Triliun

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pertumbuhan utang luar negeri (ULN) Indonesia selama dihantam pandemi Covid 19 terus mengalami peningkatan. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan sebesar 5 persen (yoy) pada akhir triwulan II-2020. Saat ini jumlah ULN Indonesia menjadi USD 408,6 miliar atau setara Rp 6.082 triliun.

“ULN Indonesia tersebut tumbuh 5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 0,6 persen (yoy),” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko, dalam siaran pers, Jakarta, Jumat (14/8/2020).

Onny menjelaskan rincian ULN Indonesia yang terdiri dari utang sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD 199,3 miliar dan utang sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD 209,3 miliar. Naiknya ULN ini disebabkan transaksi penarikan neto ULN pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi Rupiah.

Onny menjelaskan, pada akhir triwulan II 2020, ULN pemerintah tercatat sebesar USD 196,5 miliar. Tumbuh 2,1 persen (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi 3,6 persen (yoy).

“Peningkatan ULN Pemerintah terjadi seiring penerbitan Sukuk Global untuk memenuhi target pembiayaan. Termasuk satu seri Green Sukuk yang mendukung pembiayaan perubahan iklim,” jelasnya.

Selain itu, arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang masih cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan persepsi yang positif terhadap pengelolaan kebijakan makroekonomi dalam memitigasi dampak pandemi COVID-19, menjaga stabilitas dan mendorong pemulihan ekonomi.

“ULN Pemerintah tetap dikelola secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas,” kata Onny.

Belanja prioritas yang dimaksud, lanjut Onny, mencakup di antaranya sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,5 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,3 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (12,4 persen ), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,7 persen).