Anggota sanggar berlatih sambil tetap melihat note. (Foto: Sudarno)

Antara Dua Pilihan Nama Sanggar dan Legalitas Formal

Loading

TANGERANG SELATAN (IndependensI.com) – Minggu (6/9/2020) malam lalu seorang rekan mengajak IndependensI.com untuk melihat sekaligus mendengarkan gending-gending Jawa di sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan Wadassari, Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan.

Para pengrawit (penabuh gamelan) yang mengumandangkan gending-gending Jawa tersebut adalah para perantau yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian juga pesindennya.

Mereka tidak semuanya profesional – hanya ada satu dua orang yang dikenal sebagai pengrawit handal, sedangkan sisanya adalah pribadi lepas pribadi yang benar-benar baru belajar seni karawitan.

Hal tersebut tampak terlihat ketika sedang menabuh Slenthem, Demung, Kenong, Bonang, dan Saron – pandangan mata mereka terbagi antara melihat buku not dan melihat bilah gamelan yang mereka tabuh (pukul).

Yang menarik – meski mereka baru berlatih sebanyak empat kali di minggu malam, namun mereka telah menguasai gending-gending pembuka untuk mengiringi pergelaran wayang kulit purwa gagrak atau gaya Surakarta.

Bahkan – meski masih melihat not – mereka telah cukup menguasai gending yang biasa dipergunakan untuk mengiringi adegan atau jejeran pertama Kerajaan Astina Pura.

Pemain rebab ini sangat intens mendengar denting titi-nada dari instrumen agar harmoni tetap terjaga.

Bahkan – sungguhpun mereka masih dalam tahap gladen atau berlatih – tapi usai mempersembahkan gending untuk mengiringi adegan pertama, pada saat beralih dari gending ber-laras slendro ke laras pelog (sebuah gending untuk mengiringi adegan kedua seperti yang sering terjadi dalam pertunjukan wayang kulit purwa) tak ubahnya seperti pengrawit profesional – mereka pun “fasih” sekali ketika mereka memperdengarkan gending yang lazim dipergunakan untuk mengiringi adegan kedua tersebut.

Agaknya pada Minggu malam lalu itu mereka memang sedang berlatih khusus gending-gending khusus untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit purwa.

Sayang sekali latihan dibatasi hanya tiga jam lamanya (dimulai pada pukul 20.00-23.00 WIB), sehingga pada Minggu malam lalu – belum sampai pukul 23.00 WIB – latihan terpaksa break karena ada perbincangan khusus yang dilakukan oleh para pembina mereka.

Dan, dalam perbincangan tersebut terungkap bahwa gladen seni karawitan – tempat mereka berhimpun – ternyata belum punya nama atau sanggar.

Waktu break tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh para pembina mereka untuk menetapkan nama sanggar yang disepati untuk “menjadi payung hukum” yang nantinya memiliki legalitas secara formal.

Pecinta seni karawitan memberi acungan jempol – pertanda menyukai alunan suara pesinden.

Dari materi perbincangan yang dibahas (tentu saja semuanya diutarakan dalam bahasa Jawa dan sesekali diselipkan bahasa Indonesia) terungkap bahwa ada dua nama yang diusulkan sebagai nama sanggar tempat mereka bernaung. Yang pertama menggunakan nama Sanggar Karang Kadempel (nama ini diambil dari tempat tinggal Ki Lurah Semar Badranaya dalam jagat wayang kulit purwa), sedangkan yang kedua nama sanggar seni karawitan tempat mereka bernaung adalah Sanggar Madya Ngarsa Raras.

Akhirnya segenap yang hadir sepakat menggunakan nama Sanggar Madya Ngarsa Raras – yang dirasa lebih bernuansa kekinian daripada menggunakan nama Sanggar Karang Kadempel yang terkesan sangat “wingit” dan “angker”.

“Bagaimanapun, sebagai organisasi yang bergerak khusus di bidang seni karawitan, yang namanya legalitas formal memang sangat dibutuhkan,” kata Slamedi  yang oleh warganya akrab disapa dengan sebutan pak Medi – Ketua RT 06 Kampung Wadassari, Kelurahan Pondok Betung – Tangerang Selatan.

Ketua RT yang asli berasal dari kota Gombong, Kebumen – Jawa Tengah tersebut menegaskan bahwa dengan diakuinya Sanggar Madya Ngarsa Raras secara legal pihaknya bisa membantu untuk mencari dukungan dari Pemkot Tangsel. “Terus terang, kami, sebagai Ketua RT yang secara administratif daerah kami masuk ke dalam wilayah Pemerintah Kota Tangerang Selatan, kami sering bertemu dengan Ibu Airin Rachmi Diani – Wali Kota Tangsel.”

“Mudah-mudahan kalau nantinya Sanggar Madya Ngarsa Raras ini sudah memiliki badan hukum, akan segera kami laporkan kepada Ibu Airin,” tegas pak Medi yang suka sekali mendengarkan seni karawitan – meskipun dia lahir dan besar di Tangerang Selatan.

“Jujur saja, kami juga bisa berbahasa Jawa. Tapi, karena kami bisanya hanya bahasa Jawa ngapak-ngapak, oleh karena itu sambutan kami menggunakan bahasa Indonesia,” kata pak Medi yang bertubuh gempal, berambut gondrong sambil tersenyum.

Para pembina yang hadir pun sepakat bahwa pekan depan (13 September 2020) akan segera menyampaikan susunan pengurus Sanggar Madya Ngarsa Raras secara lengkap kepada segenap yang hadir pada Minggu malam lalu.

“Kami berharap ke depannya sanggar kita ini juga dapat dijadikan sebagai tempat latihan bagi kaum ibu dan para remaja – agar mereka semakin mencintai seni budaya leluhur bangsa sendiri,” kata pak Medi yang disambut dengan tepuk tangan dari segenap yang hadir. (Toto Prawoto)