Jadi Korban Pelecehan Seksual Anak di Cianjur, Keluarga Bocah 7 Tahun Minta Keadilan

Loading

CIANJUR (Independensi.com) – Keluarga RTH (7) yang menjadi korban dugaan pencabulan di kawasan Karang Tengah, Cianjur berharap pelaku yang diduga berinisial RP (11) untuk diadili sesuai hukum. Harapan itu disampaikan untuk menimbulkan efek jera agar tidak ada lagi kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, terutama di daerah Karang Tengah. “Kami keluarga korban berharap pelaku dapat diadili secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Aan, nenek RTH saat dikonfirmasi awak media, Kamis (17/9/2020).

Kasus ini telah ditangani Polres Cianjur yang dibantu Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung. Namun, Aan mempertanyakan keputusan Bapas Bandung yang menunda pembacaan putusan atas kasus ini. Aan mengaku khawatir jika Bapas dan Polres Cianjur memutuskan mengembalikan pelaku ke orangtuanya. Menurutnya, keputusan tersebut tidak hanya tak menimbulkan efek jera, namun juga tidak memenuhi rasa keadilan cucunya sebagai korban.

Diungkapkan, RTH tak hanya depresi karena peristiwa tersebut, tetapi juga depresi karena dirisak dan dikucilkan masyarakat sekitar atas provokasi orangtua pelaku. “Kami takut pelaku tidak direhabilitasi. Artinya dikembalikan ke orangtua. Tidak mendapat efek jera dan juga opini yg sudah dibentuk oleh orangtua pelaku sangat merugikan. Sudah menjadi korban dan keluarga kami harus menerima hukuman masyarakat yang dibentuk oleh keluarga pelaku untuk membenci, mengucilkan. Difitnah juga. Psikologis yang sangat berat hingga cucu kami korban fisik, mental dan materi juga,” ungkapnya.

Dikonfirmasi terpisah, anggota tim pemeriksa Bapas Bandung, Riyadi berjanji akan menangani kasus ini sesuai prosedur hukum yang berlaku. Dikatakan, Bapas Bandung sudah mendatangi keluarga terduga pelaku untuk memeriksa kondisi terduga pelaku, lingkungan sosial serta lingkungan keluarganya. Dikatakan, hasil dari pemeriksaan tersebut telah diserahkan Bapas Bandung kepada penyidik Polres Cianjur untuk menentukan langkah hukum berikutnya. “Kami berupaya semaksimal mungkin untuk mengusut kasus ini dengan sejalas-jelasnya untuk menemui titik terang dari perkara yang menimpa keluarga terutama korbannya yang masih di bawah umur,” katanya.

Diketahui, seorang anak laki-laki berinisial RTH, 7 tahun mengaku dicabuli oleh teman sepermainanya berinisial RP (11) yang duduk di kelas V SD. Terungkapnya kasus ini bermula pada 7 Juli 2020, saat orangtua korban berkonsultasi dengan psikiater usai melihat kejanggalan prilaku anak mereka. Pencabulan semakin terbukti dengan hasil pemeriksaan medis. Orangtua korban dan orangtua pelaku sempat bermusyawarah yang dimediasi oleh tokoh masyarakat dan anggota kepolisian setempat.

Lantaran menganggap akan menjadi aib keluarga, kedua pihak menyepakati kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum dengan sejumlah syarat, yakni orangtua pelaku mengakui kesalahan putra mereka dan meminta maaf secara tulus kepada keluarga korban dan masyarakat serta menanggung biaya pengobatan korban. Selain itu, kedua pihak sepakat tidak memperpanjang kasus dengan tidak lagi membahas ataupun menggibah. Syarat terakhir, jika ada yang melanggar maka bersedia untuk dilaporkan ke pihak berwajib.

Namun, kesepakatan tersebut hanya bertahan beberapa hari. Zaenal seorang bendahara RT setempat justru memposting gambar dan tulisan ke grup WhatsApp warga kampung yang bernada mengungkit persoalan ini. “Dia memposting hewan sedang sodomi dan menulis ‘sodomi, eh maaf keceplosan’,” ungkap Aan dengan menunjukan bukti capturan perkacapan di WA Group kepada awak media, Minggu (13/9/2020).

Tak hanya itu, orangtua pelaku pun melaporkan keluarga korban ke Polres Cianjur atas tuduhan penghinaan atas pernyataan saat mediasi berlangsung. Keluarga korban semakin tertekan lantaran anggota polisi dan Ketua RT setempat yang sebelumnnya menjadi penengah saat mediasi justru berpihak pada keluarga pelaku dan memberikan kesaksian yang memberatkan keluarga korban. “Anehnya anggota polisi dan Ketua RT bersedia menjadi saksi yang memberatkan orangtua korban,” ungkapnya.

Bahkan, ayah pelaku mengaku memiliki saudara bernama Uus yang menjadi sopir pejabat Kejaksaan Agung. Hubungan Uus dengan pejabat Kejaksaan Agung ini dipergunakan orangtua pelaku untuk mengintimidasi keluarga korban dan aparat kepolisian yang menangani kasus ini. “Beberapa kali orangtua pelaku mengatakan kepada warga bahwa mereka memiliki perlindungan alias Backingan dari Kejaksaan Agung melalui Uus,” ungkapnya.

Dituturkan Aan, bermodal nama pejabat Kejaksaan Agung, Uus bahkan mengancam pihak Polres Cianjur akan memutasi pejabat kepolisian setempat jika terus mengusut kasus pencabulan yang dialami RTH. Di sisi lain, Uus mendesak Polres Cianjur melanjutkan kasus dugaan penghinaan dengan terlapor orangtua korban. “Uus mendatangi Polres Cianjur minta agar kasus pencabulan dengan pelaku RP dihentikan. Sebagai gantinya meminta agar keluarga korban dikenakan sanksi atas tindakan penghinaan,” katanya.

Difasilitasi oleh Uus orang tua pelaku beserta pelaku berangkat ke Jakarta untuk mengungjungi Kantor Kejagung. “Mereka berangkat ke Kejagung Jakarta, terus swafoto di halaman depan Kejagung, saya ada buktinya caputran dari WA story orang tua pelaku,” ungkap nenek korban.

Aan menuturkan, kasus dugaan pencabulan ini membuat cucunya mengalami depresi. Bahkan, korban dirisak dan dikucilkan warga sekitar atas hasutan keluarga pelaku. “Saat ini Kondisi korban semakin terdesak, cacian dan hinaan berulangkali didapatkan dari warga sekitar yang sudah dihasut oleh pihak keluarga pelaku,” ungkapnya.

Ditengah kesedihan pihak keluarga korban, orang teua pelaku malah mengundang warga sekitar untuk berkunjung kerumahnya mengadakan pesta sejak tanggal 10 Juli hingga 25 Agustus 2020. “Dari tanggal 10 juli sampai 25 agustus pelaku sengaja mengumpulkan warga seolah merayakan kemenangan, semua warga diundang potong ayam, makan-makan kompor sampai dibawa ke halaman depan” tutupnya.