Dayak Diminta Tidak Campur Urusan Rizieq Shihab

Loading

PONTIANAK (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, mengingatkan masyarakat Suku Dayak untuk tidak ikut-ikutan larut dalam sikap pro dan kontra kepulangan Rizieq Shibab dari Arab Saudi ke Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020.

“Masalah Rizieq Shibab, urusan Pemerintah Republik Indonesia. Tugas masyarakat Suku Dayak sekarang, benahi jaringan infrastruktur kebudayaan Suku Dayak, sehubungan pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur. Jangan larut dalam urusan orang lain,” kata Yulius Yohanes di Jakarta, Rabu, 11 Nopember 2020.

Menurut Yulius Yohanes, apabila jaringan infrastruktur kebudayaan dari masing-masing rumpun Suku Dayak yang mencapai 405 rumpun berdasarkan kategori Theresia Ambarwati Nila Riwut, 2003, maka kebudayaan Dayak pasti akan menjadi alat diplomasi paling efektif di dalam geopolitik dan geostrategi di Pulau Borneo.

“Jangan lupa,” kata Yulius Yohanes, “Posisi Suku Dayak sekarang sangat rendah, sangat lemah, karena jaringan infrastruktur Kebudayaan Suku Dayak, sangat minim. Sebagai salah satu contoh, orang Dayak sendiri sebagian tidak mampu mempertahankan argumentasi anthropologi terhadap keberadaan masyarakat adat Dayak di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, pada 26 Agustus 2020, silam.”

“Ini fakta. Jangan sibuk campur urusan orang lain. Benahi jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak saja, sebagai alat tawar efektif bagi orang Dayak dalam berdiplomasi,” kata Yulius Yohanes.

Dijelaskan Yulius Yohanes, di dalam buku: “Diplomasi Kebudayaan Dayak dalam Gepolitik dan Geostrategi di Borneo” (Pontianak: Derwati Press, 2020), disebutkan, Kebudayaan Dayak berkarakter religius. Kebudayaan Dayak melahirkan religi (agama) Dayak.

Di antaranya Agama Kaharingan, nama kitab sucinya Panaturan dan nama tempat ibadatnya, Balai Basarah. Sumber doktrin Agama Kaharingan, adalah legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat dan hukum adat Dayak Uud Danum dan Dayak Ngaju di Provinsi Borneo Tengah.

Kebudayaan Dayak Kanayatn di Provinsi Borneo Barat, melahirkan Agama Karimawatn, kitab sucinya bernama Putih Suri, tempat ibadatnya bernama Padagi. Sumber doktrin Agama Karimawatn, yaitu legenda suci Dayak Kanayatn, mitos suci Dayak Kanayatn, adat istiadat Dayak Kanayatn dan hukum adat Dayak Kanayatn di Provinsi Borneo Barat.

Pemerintah Republik Indonesia telah menempatkan kebudayaan sebagai geostrategi di dalam menjalankan gepolitik dalam hubungan luar negeri, teristimewa lagi sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Borneo Timur sebagaimana diumumkan Presiden Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.

Wonderful Indonesia

Maka falsafah hidup Kebudayaan Suku Dayak, mesti jadi acuan di dalam diplomasi kebudayaan dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Program Indonesian Arts and Culture Scholarship (IACS) atau Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) sejak tahun 2003 dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia melalui Program Wonderful Indonesia sejak tahun 2011.

Sehubungan dengan itu, maka mesti dipahami Kebudayaan Dayak yang dipresentasikan dalam karakter dan jatidiri masyarakat Adat Dayak itu sendiri. Apalagi setelah dicermati semakin memanaskan perebutan kepemilikan Laut China Selatan antara China dan Amerika Serikat.

(Hendrajit, 2018), mengatakan, Pulau Borneo jadi episentrum atau titik keseimbangan, karena Laut China Selatan berhadapan dengan sektor barat dan timur di wilayah Indonesia dan sektor utara di wilayah Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia, serta Kerajaan Brunei Darussalam.

Geopolitik berarti kekuasaan dan kebijaksanaan. Unsur bumi digunakan dalam memperoleh kekuasaan. Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan geopolitik disebut geostrategi. Geostrategi merupakan strategi politik dalam pelaksanaan, yaitu upaya bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan politik (Kusnanto Anggoro, 2003).

Bicara masalah diplomasi kebudayaan, dimana di antaranya mesti mengakomodir falsafah hidup kebudayaan Dayak dalam teknis berdiplomasi, bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk kembali kepada karakter dan jatidiri berbagai suku bangsa di Indonesia.

Kembali kepada karakter dan jatidiri, melalui merawat, mencintai dan melestarikan kebudayaan sendiri, sebagai wujud nyata di dalam pengamalan ideologi Pancasila. Pancasila sebagai presentasi dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk salah satunya adalah Kebudayaan Dayak yang tercermin dalam keberagamaan, kebhinekaan dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sejatinya sebelum Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia hadir, masyarakat Adat Dayak di Pulau Borneo bersifat mandiri dan berdaulat. Masyarakat Adat Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan mayarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara. Derap kehidupan masyarakat Suku Dayak, terikat di dalam adat istiadat dan norma adat.

 

Trilogi peradaban masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia dimaksud, sebagai pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi Dayak dengan sumber doktrin atau berurat berakar kepada legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban (Aju: 2020).

Di dalam religi (agama) Dayak yang lahir dari Kebudayaan Dayak, hutan belantara, bukit, gunung, sumber resapan air, situs pemukiman dan situs pemujaan, sebagai tempat disucikan dan disakralkan, karena diyakini sebagai tempat bersemadi arwah para leluhur. Gunung, bukit, sumber resapan air, situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam religi Dayak Uud Danum, sebagai danum diang atau air kehidupan. Dari gunung dan bukit sebagai sumber resapan air, mengalir sungai sebagai sumber kehidupan manusia.

Ketika ditambah satu kata, yaitu kata ulun, maknanya berbeda lagi. Ulun (orang) danum (air) diang (atas), artinya manusia yang hidup alam atas. Ulun danum diang artinya para leluhur yang bersemadi di bukit, gunung, sumber resapan, situs pemukiman dan situs pemujaan yang selalu membantu kehidupan manusia Dayak di alam nyata, jika ada masalah. Ulun danum diang memiliki karakteristik dan spesifikasi masing-masing.

Salah satu lokasi pemukiman ulun danum diang di dalam religi Dayak Uud Danum adalah Puruk Mokorajak (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya) di Kabupaten Sintang di perlintasan perbatasan Provinsi Borneo Barat dan Provinsi Borneo Tengah. Ulun danum diang, inilah yang selalu mambantu manusia Suku Dayak di alam nyata jika terjadi konflik antar etnis di Pulau Borneo, seperti kerusuhan rasial di Kota Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Borneo Tengah, 18 – 21 Februari 2001.

Nama ulun danum diang yang selalu membantu manusia Suku Dayak Uud Danum di alam nyata setiap terjadi konflik, yaitu songiang. Orang Dayak Uud Danum yang dirasuki arwah ulun danum diang bernama songiang saat kerusuhan berlangsung disebut sonopurang songiang (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Kamang Nyangko

Di kalangan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Borneo Barat, songiang disebut kamang. Arwah leluhur yang disebut songiang atau kamang, merasuk ke dalam tubuh manusia Suku Dayak di alam nyata, setelah dipanggil melalui salah satu religi yang dinamakan pamabakng. Baju kamang jenis marote (rompi), samakng buakng (selendang merah) dang tangkulas (anyaman kain warna merah dan putih).

Nama kamang tertua disebut Kamang Nyangko, tinggal di Bukit Samabue dan yang bungsu disebut Kamang Bunsu, tinggal di Santulangan di perlintasan perbatasan Kabupaten Landak, Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Bengkayang, Provinsi Borneo Barat. Dua bersaudara ini merupakan kamang yang baik.

Kamang yang selalu bersikap di luar batas perikemanusiaan setiap kali membantu manusia Dayak di alam nyata saat konflik dengan etnis lainnya, yaitu Kamang Saikng Sampit, Kamang Sasak Barinas, Kamang Bulu Layu’, Kamang Gagar Bulu dan Kamang Gila.

Dalam kerusuhan di Sampit, 18 – 21 Februari 2001 dan di Provinsi Borneo Barat, September – Desember 1967, dan berbagai kerusuhan sebelum dan sesudah itu, para kamang atau para sonopurang songiang, ini, memiliki kemampuan penciuman yang bisa dengan mudah mengindentifikasi musuh (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Manusia Dayak di alam gaib, memiliki struktur pemerintahan sendiri, sama dengan dengan struktur pemerintahan manusia di alam nyata. Dimana gunung, bukit, sumber resapan air, situs pemukman dan situs pemujaan sebagai rangkaian dari pusat pemerintahan manusia alam gaib. Kamang hanya salah satu divisi pertahanan manusia Suku Dayak Kanayatn di alam gaib.

Kamang selama ini lebih mengedepankan peran pasukan infantri, melalui perang gerilya dan perang perkotaan, karena ada juga divisi kamang di sektor angkatan udara dan angkatan laut sebagai alat pertahanan, serta fungsi lain dari manusia Suku Dayak Kanayatn di alam gaib (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Aplikasi doktrin di dalam religi Dayak, ini, bukan praktik menyembah berhala atau animisme dan tidak bertuhan atau ateisme, karena seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, sebagaimana dikemukakan filsuf Thomas Aquinas, 1225 – 1274, melalui teologi adikodrati atau teologi naturalis alamaiah.

Jadi semenjak abad ke-13, melalui teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, manusia Suku Dayak sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya (baca Isac Doera, 2003).

Bukan animisme

Peralatan religi Suku Dayak di dalam melaksanakan peribadatan, seperti di situs pemujaan dan situs pemukiman, bukan bukti animisme atau ateisme, tapi sebagai sarana berkomunikasi manusia Suku Dayak dengan Tuhan, dimana sebutan berbeda pada masing-masing rumpun Suku Dayak

Secara umum, sistem religi Dayak merupakan jantung peradaban Kebudayan Dayak, dalam aplikasinya, kaya akan substansi nilai-nilai kehidupan, jalan menuju kedamaian di dalam hati, keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.

Sebagai masyarakat agraris, doktrin agama asli Suku Dayak dengan tanaman padi, sangat erat dalam aturan ritualnya. Hampir semua jenis ritual Dayak, selalu ada hubungannya dengan pertanian dan tanaman padi.

Sebagian besar jenis religi Dayak, digelar saat tahapan perladangan berlangsung, mulai dari menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, hingga memanen, dan berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak membangun jaringan infrastruktur kebudayaannya, berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak melaksanakan peribadatannya.

Sebelum Kerajaan Hindu, Budha, Islam, Belanda, Inggris, Jepang, Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam hadir di Borneo, masyarakat Suku Dayak, masing-masing memiliki tokoh sentral sebagai pemimpin dan sekaligus panutan. Hakim Adat Dayak, namanya. Hakim Adat Dayak disebut Temenggung di Provinsi Borneo Barat, Damang di Provinsi Borneo Tengah, Pemanca di Negara Bagian Sarawak, Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, dan sebutan lainnya di wilayah lain di Borneo.

Sebagai tokoh sentral, sebelum Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia hadir, para Hakim Adat Dayak memiliki empat peran sekaligus, yaitu (a) Pewarta Agama Dayak, (b) Panglima Perang, (c) Kepala Wilayah dan (d) Hakim Adat yang memutus sengketa perdata dan pidana antar anggota komunitasnya (Marko Mahin, 2018).

Sebagai pemimpin, Hakim Adat Dayak berfungsi mengayomi masyarakat Adat Dayak sebagai sekelompok individu masyarakat pribumi Pulau Borneo yang bersekutu membentuk community (Kampong, Lewu, Tumpuk, Banua, Betang, Rumah Panjang) atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti.

Komunitas-komunitas masyarakat pribumi Suku Dayak, kemudian membentuk kelompok yang lebih besar yang disebut masyarakat Adat Dayak, karena satu asal-usul nenek moyang, kesamaan bahasa, dan tinggal di satu wilayah yang sama, ada sejarah asal mula, sejarah perpindahan desa, sejarah para tokoh Desa.

Pemimpin Dayak, yaitu seorang Hakim Adat Dayak dipercaya dan dipilih masyarakat Adat Dayak dengan pemahaman primus inter pares: yang terkemuka dari semua, memiliki kelebihan dari yang lain, seperti memiliki kelebihan memahami, mengerti Hukum Adat Dayak dengan baik, berani, pandai bicara, berhikmat dan bijaksana, bisa merangkul semua orang, berjiwa pemimpin, sehat jasmani dan rohani (Marko Mahin, 2018).

Hakim Adat Dayak merupakan Panggilan Illahi, bukan jatah atau quota atau warisan, dan siap hidup terkutuk apabila terbukti berbuat salah. Hakim Adat Dayak berkeyakinan di dalam religi Suku Dayak, situs pemukiman (bekas pemukiman, kuburan tua) dan situs pemujaan (tempat menggelar berbagai jenis religi Dayak, tempat keramat) seperti sumber resapan air, gunung, bukit, lembah, sebagai kawasan paling disucikan dan disakralkan, karena tempat bersemadi arwah para leluhur.

Dalam konteks aplikasi doktrin religi Dayak, maka Hakim Adat Dayak diyakini sebagai figur penghubung komunikasi antara manusia Suku Dayak di alam nyata dengan arwah para leluhur di alam gaib, terutama apabila terjadi ketidaksiembangan antar sesama manusia dan alam semesta, sebagai dampak dari berbagai jenis, sistem, simbol dan tempat religi Dayak yang tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya.

Di dalam mereposisi peran para Hakim Adat Dayak tertuang di materi rekomendasi Seminar Nasional: “Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional”, yang diselenggarakan Pekan Gawai Dayak Provinsi Borneo Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Rumah Radakng, Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, dengan rekomendasi sebagai berikut.

Rekomendasi point 4 (empat), “Pihak yang berwenang menggelar ritual adat dan memutuskan hukuman adat dalam forum peradilan adat, adalah Hakim Adat (Temenggung, Tumenggung, Tomakung, Damang) setempat yang sebelumnya telah mengantongi legitimasi dari masyarakat adat yang dipilih secara musyawarah dan demokratis, dengan syarat menguasai adat-istiadat dan integritas moral yang sudah teruji.”

Rekomendasi point 5 (lima), “Putusan hukum adat dinyatakan tidak sah, apabila digelar personil hakim adat di luar yurisdiksinya, dan pelakunya dapat diproses secara hukum adat dan atau hukum negara.”

Rekomendasi point 8 (delapan), “Hakim adat dalam memutuskan suatu perkara agar Ketua Adat bersama anggota Hakim Adat bertindak adil dan berasaskan keputusan, sanksi adat harus sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Adatnya (tidak melebihkan atau mengurangi sanksi adat), bersifat mendidik agar sadar bahwa yang bersangkutan bersalah dan tidak mengulangi perbuatannya lagi atau tidak melakukan perbuatan pelanggaran adat lainnya.”

“Dengan demikian, keputusan Ketua Hakim Adat dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa dan rukun kembali, dan pada akhirnya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang terganggu, menjadi pulih kembali.”

Rekomendasi point 19 (sembilan belas), “Dalam menyelesaikan permasalahan perdata dan pidana, mestilah terlebih dahulu mengutamakan aspek kearifan lokal berbasiskan hukum adat, penggunaan hukum negara dilihat sebagai upaya “ultimum remidium”, upaya hukum terakhir. Sengketa perdata dan pidana yang sudah diselesaikan berdasarkan kearifan lokal, sifatnya final dan mengikat, sehingga tidak boleh lagi dilanjutkan sesuai hukum negara.”

Rekomendasi point 20 (dua puluh), “Kompilasi hukum adat dalam proses legislasi dalam bentuk Peraturan Daerah dan penguatan fungsionaris adat serta kelembagaan adat.”

Akar konflik sosial

Bahwa konflik sosial yang sering terjadi di Borneo antara orang Dayak dengan pihak luar, bukan dilatarbelakangi kecemburuan sosial, bukan dilatarbelakangi kesenjangan sosial, dan bukan pula dilatarbelakangi kecemburuan ekonomi, tetapi semata-mata selalu bermuara dari tindak pelecehan dan penistaan terhadap berbagai jenis, sistem, simbol dan tempat religi Dayak.

Tidak ditempatkan pada proporsi sebenarnya seperti penggusuran, pengrusakan situs pemukiman dan situs pemujaan Suku Dayak, penggusuran, pengrusakan hutan adat Dayak dan perairan adat Dayak. Jenis di dalam religi Dayak dimaksudkan adalah yang mempunyai ciri (sifat, keturunan, dan sebagainya) yang khusus, dimana dihormati dan disakralkan di dalam religi Dayak. Sistem di dalam religi Dayak dimaksudkan adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas yang dihormati dan disakralkan di dalam religi Dayak.

Simbol di dalam religi Dayak dimaksudkan adalah tokoh suci di dalam mitos suci Dayak sebagai panutan di dalam menuntun penghayatan akan nilai-nilai kehidupan, jalan menuju kedamaian di dalam hati yang dihormati dan disakralkan di dalam religi Dayak.

Tokoh-tokoh suci, ini, selalu dimintai bantuan kalangan manusia Dayak di alam nyata, apabila terdesak akibat dari ancaman, konflik, dan gangguan lainnya, maka lewat ritual khusus (pamabakng di dalam religi Dayak Kanayatn) tokoh itu datang itu untuk hadir membantu.

Tempat di dalam religi Dayak dimaksudkan adalah bagian yang tertentu dari suatu ruang (bidang, daerah dan sebagainya) berupa Hutan Adat Dayak, perairan adat Dayak, Situs Pemukiman Dayak, dan Situs Pemujaan Dayak (tempat-tempat keramat) yang dihormati dan disakralkan di dalam religi Dayak.

Bagi masyarakat Suku Dayak, religi Dayak sebagai filosofi etika berperilaku, yaitu pembentuk karakter dan jatidiri Dayak, sementara agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, sehingga antar keduanya, mesti dimaknai di dalam konteks yang berbeda, supaya tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama (Aju: 2020). Keduanya saling melengkapi dalam pembentukan karakter dan jatidiri Dayak. Inilah namanya konsep berketuhanan berkebudayaan Dayak (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Sebelum negara Republik Indonesia Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam hadir, hukum adat Dayak, diberlakukan di Borneo, dimana Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul: “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, Wilayah Hukum Adat di Hindia Belanda, dibagi menjadi 19 (sembilan belas) wilayah, termasuk di Wilayah Hukum Adat Suku Dayak di Pulau Borneo/Borneo.

Hukum adat Dayak

Kedudukan Hukum Adat Dayak, mengisi ruang kosong di dalam hukum negara di Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dan Republik Indonesia. Antara keduanya saling mengisi satu sama lain, sehingga aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam Hukum Adat Dayak.

Hukum Adat Dayak adalah bagian tidak terpisahkan dari hukum negara, dari aspek terminologi hukum positif. Kedudukan Hukum Adat Dayak dan Hukum Negara, adalah setara, karena kedua-duanya merupakan solusi menyelessaikan masalah yang dihadapi masyarakat dan Bangsa Indonesia. Hukum Adat Dayak adalah filosofi dari hukum negara.

Dalam negara hukum keberadaan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang, maka makna penerapan Hukum Adat Dayak, agar di dalam melihat sebuah persoalan hukum, tidak boleh semata-mata mengedepankan kebenaran formal (hitam putih, tex book), tapi harus pula memperhitungkan kebenaran materiil, berupa sejarah, adat istiadat, hatinurani, kesaksian masyarakat terkait dengan masalah yang dihadapi terkait dengan kasus hukum dan mengedepankan aspek Hukum Adat Dayak sebagai kekuatan hukum untuk mengatur keberlangsungan hidup secara turun-temurun di kalangan Suku Dayak di wilayah itu.

Melalui peran Hakim Adat Dayak, maka perlu perubahan paradigma hukum di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, untuk mengakomodir dan meresepsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, untuk meminimalisir fenomena legal gap yang merupakan dasar problematika substansif hukum.

Oleh karena itu, mengkaji dan mempertimbangkan keberlakuan dari hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat (living law), termasuk kaidah-kaidah kearifan lokal ataupun Hukum Adat Dayak, merupakan keharusan dalam pengembangan hukum.

Hukum Adat Dayak, adalah produk hukum asli di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam asli di Borneo, dan merupakan aspek kebudayaan yang hidup dalam kedinamisan, dimana dengan Hukum Adat Dayak, masyarakat Hukum Adat Dayak, hidup tertib, rukun dan damai.

Dasar persatuan bangsa

Hukum Adat Dayak, merupakan salah satu dasar persatuan Bangsa, dan sebagai mitra aturan perundangan sekaligus pula sebagai sumber utama pembentukan Hukum Nasional; Hukum Adat Dayak, sebagai aspek kebudayaan, tidak akan hapus di muka bumi, kecuali Hukum Adat Dayak tidak ada lagi di kalangan masyarakat Adat Dayak.

Peradilan Hukum Adat Dayak adalah tawaran solutif, logis dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembangan hukum, guna terciptanya sebuah hukum di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Brunei Darussalam di Borneo yang lebih baik, yaitu Hukum Nasional yang sesuai dengan rasa keadilan, dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat adat Dayak di Borneo.

Hasil Pertemuan Damai para Hakim Adat Dayak di Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Borneo Tengah, Indonesia, 22 Mei – 24 Juli 1894, menghasilkan 9 (point) kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 (sembilan puluh enam) hukum adat, di antaranya menghentikan praktik perbudakan dan potong kepala manusia (menganyau), merupakan pengukuhan kembali keberadaan Masyarakat Adat Suku Dayak dalam skala lebih luas dan mengikat, dari sudut pandang sosiologi, anthropologi, dan sejarah sistem Pemerintahan Adat Dayak.

Pertemuan damai para Hakim Adat Dayak di Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, sebagai Tonggak Sejarah Pedoman Arah Suku Dayak, karena sebelum Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Indonesia dan Federasi Malaysia hadir di Pulau Borneo, membuktikan Suku Dayak sudah punya produk perundang-undangan sendiri di dalam berinteraksi sosial di Tanah Dayak. Artinya keberadaan masyarakat Adat Dayak di Pulau Borneo dikukuhkan kembali pada tahun 1894, dan kemudian tetap eksis sampai sekarang.

Sehubungan sejarah sistem Pemerintahan Adat Dayak, maka di dalam Protokol Tumbang Anoi 2019, menuntut pemberlakukan otonomi khusus kebudayaan Dayak di Borneo, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Borneo Tengah, 22 – 24 Juli 2019.

Dari sudut pandang sosiologi, Hukum Adat Dayak sebagai sistem untuk mengatur kehidupan komunitas dan masyarakat Adat Suku Dayak, berupa interaksi melahirkan adat berupa norma-norma, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, tata susila/etika, budaya, sistem nilai, dan hukum.

Dalam Mitos Suci, Masyarakat Adat Dayak, telah ada sejak penciptaan alam semesta, telah tinggal di Pulau Borneo, sebelum Kerajaan Hindu, Budha, Islam, Belanda, Jepang, Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam hadir.

Agama Kaharingan

Dalam Agama Kaharingan, manusia Suku Dayak terikat Hadat, berupa perintah-perintah atau tuntunan-tuntunan yang bersumber dari peristiwa-peristiwa suci yang dialami para leluluhur pada awal mula zaman; misalnya hadat kawin bersumber dari peristiwa perkawinan manusia pertama Manyamei Tunggal Garing Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjuel Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, tokoh suci sebagai nenek-moyang manusia Suku Dayak Ngaju di Provinsi Borneo Tengah.

Dari sudut pandang anthropologi, Adat Dayak berasal dari Tuhan (Ranying Hattala Langit, Jubata), sebagaimana penuturan Imam di dalam Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak disebut Basir, dimana Hukum Adat berasal dari Ranying Hatalla Langit; Hadat telah ada sejak penciptaan (Marko Mahin, 2018). Karena adat Dayak, merupakan salah satu dari sumber doktrin Agama Dayak.

Secara sudut pandang anthropologi dan sosiologi, jauh sebelum Pertemuan Damai Tumbang Anoi tahun 1894, adat Dayak sebagai sistem atau hukum yang lahir atau berasal, dipelihara atau dijaga keputusan-keputusan masyarakat adat, terutama keputusan-keputusan berwibawa (berotoritas) para Ketua Adat yang bertugas memimpin dan melaksanakan Peradilan Adat untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang senafas-seirama dengan keyakinan dan kesadaran masyarakat adat.

Keseluruhan sistem atau hukum atau peraturan yang terwujud dalam bentuk peraturan yang dilaksanakan oleh para fungsionaris adat, karena inti dari adat adalah hidup harmonis secara vertikal, hidup harmonis secara horizontal, dimana manusia beradat adalah manusia yang hidup harmonis secara vertikal dan horizontal.

Masyarakat Dayak beradat adalah masyarakat Dayak yang mampu berdamai, hidup rukun dan tentram dengan sesama, leluhur dan alam sekitar, di mana legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Dayak, sebagai sumber utama dari materi kitab suci agama asli Suku Dayak.

Wilayah Adat Dayak adalah satu kesatuan yang meliputi ruang hidup Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah tempat harta-kekayaan Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah kehidupan Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah eksistensi Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah identitas Suku Dayak (Marko Mahin, 20218).

Kebudayaan Dayak dalam realitas hidupnya dipresentasikan ke dalam aktifitas keseharian masyarakat Adat Dayak. Ada 5 (lima) kriteria membuktikan tetap adanya keberadaan Masyarakat Adat Dayak di Pulau Borneo, sampai sekarang, sebagai berikut:

Pertama, ada anggota masyarakat adat Dayak;

Kedua, ada wilayah adat Dayak sebagai konsekuensi adanya masyarakat adat Dayak, melalui penelusuran dari legenda suci, mitos suci yang diformulasikan ke dalam adat istiadat dan hukum adat Dayak setempat, tentang silsilah keberadaan kawasan hutan dan perairan adat Dayak setempat;

Ketiga, ada pranata adat Dayak, seperti hukum adat Dayak, di antaranya hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, menghasilkan 9 (sembilan) point kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 (sembilan puluh enam) pasal Hukum Adat Dayak, dimana salah satu putusannya menghentikan perbudakan dan potong kepala manusia atau menganyau;

Keempat, garis keturunan dari Suku Dayak;

Kelima, adanya harta kekayaan masyarakat adat Dayak secara materiil dan immateriil.

Mengacu kepada lima kriteria keberadaan Masyarakat Adat Dayak di atas, semakin dipertegas lagi, bahwa adanya kepengurusan komunitas adat Dayak di tingkat internasional, nasional, provinsi/negara bagian, kabupaten/kota/distrik, dan kecamatan/subdistrik, membuktikan pula di wilayah Borneo sampai sekarang memang tetap ada Masyarakat Adat Suku Dayak yang sekaligus ada wilayah adat Dayak, ada masyarakat adat Dayak dan ada pranata adat Dayak.

Sama sekali tidak benar apabila masih ada pendapat sementara pihak, bahwa masyarakat adat Dayak dan tanah adat Dayak pada suatu kawasan di Pulau Borneo, tidak diakui ada, dan bahkan diklaim tidak ada, hanya semata-mata belum mengantongi pengakuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam dan Pemerintah Federasi Malaysia.

Masyarakat adat Dayak

Mesti ditegaskan kembali, keberadaan masyarakat Adat Dayak dengan hak kepemilikan terhadap tanah adat Dayak, perairan adat Dayak, tidak harus mengantongi pengakuan tertulis dari otoritas berwenang, karena keberadaan masyarakat Adat Dayak, melalui lima kriteria disebutkan di atas, sudah adat sebelum Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Indonesia dan Federasi Malaysia hadir di Pulau Borneo dan kembali dikukuhkan keberadannya dalam Pertemuan Damai di Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894 (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam tidak boleh membuat aturan dan kebijakan publik yang bertentangan dengan prinsip dari hak-hak dasar keberadaan masyarakat adat sebagaimana Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. Karena itu menerbitkan regulasi pengakuan keberadaan masyarakat adat Dayak yang terintegrasi di dalam keberadan hutan adat Dayak dan perairan adat Dayak, merupakan kewajiban Pemerintah.

Hal disebutkan di atas, harus digarisbawahi karena kesatuan-kesatuan masyarakat Adat Dayak bersama masyarakat adat lainnya, sebagai pilar utama sejarah pembentukan sebuah negara, wilayahnya bersifat istimewa yang mempunyai hak asal-usul yang harus dihormati dalam membuat berbagai kebijakan dan peraturan negara setelahnya, sehingga norma hukum tentang pengakuan keberadaan Masyarakat Adat Dayak, otomatis terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat Dayak, tidak bersyarat terhadap ketentuan perundang-undangan yang dibuat setelah itu.

Masyarakat Hukum Adat Dayak adalah entitas hukum yang dalam, dan setara dengan kedudukan subjek hukum lainnya, memiliki kearifan lokal lingkungan, dan Hutan Adat Dayak selain memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial dan religi yang digunakan untuk menjaga dan mengkonservasi hutan, agar memberi kehidupan yang berkelanjutan (Salfius Seko, 2018).

Politik hukum yang lahir dari konstitusi yang menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat Hukum Adat Dayak, dengan hak-hak yang juga dikenal dalam konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual untuk dilindungi secara efektif.

Kesejahteraan publik merupakan hukum tertinggi dan tidak boleh ada konstruksi yang bertentangan dengan hal itu, serta berdasarkan moralitas dan semangat konstitusi, paradigma baru untuk mewujudkan fungsi perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak azasi manusia dari masyarakat hukum adat, sehingga perubahan dalam satu peraturan yang dimaknai keberadaannya digantungkan pada pengakuan berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Hak tradisional

Adanya pranata pemerintahan adat yang memiliki hak tradisional yang bersifat kewilayahan dengan otoritas atau kewenangan dalam hubungan yurisdiksi, reskriptif, ajudikatif, maupun penegakan hukum, dapat diposisikan kembali dalam konsep negara yang berdaulat.

Masyarakat Hukum Adat Dayak wajib diberi ruang atas hak dalam pelibatan penyusunan produk hukum nasional dan putusan hukum. Putusan Hakim Adat dalam forum Peradilan Adat Dayak, bersifat final dan mengikat. Hukum nasional harus menghormati putusan Hakim Adat Dayak dalam putusan Peradilan Adat Dayak. Dalam Masyarakat Hukum Adat Dayak, Peradilan Adat Dayak, bersifat otonom dan mengikat dalam pengambilan keputusan Hukum yang ada dalam masyarakat Adat Dayak.

Pemerintah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, wajib menerbitkan regulasi, demi menjamin perlindungan keberadaan masyarakat adat Dayak, dengan merujuk kepada ketentuan nasional dan internasional.

Rekomendasi point 9 (sembilan), Seminar Nasional: “Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional”, yang diselenggarakan Pekan Gawai Dayak Provinsi Borneo Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Rumah Radakng, Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, menegaskan, “Dalam perlindungan hukum masyarakat adat memerlukan peningkatan peranan hakim yang mampu memahami rasa keadilan masyarakat setempat, sekalipun putusan perkaranya menimbulkan perbedaan antara satu dengan masyarakat hukum yang lain.”

Di Republik Indonesia terhadap keberadaan masyarakat adat Dayak, telah dilakukan langkah nyata memudahkan komunitas internal melakukan gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri. Ada empat kebijakan dan putusan strategis sebagai panduan bagi masyarakat Suku Dayak kembali kepada karakter dan jadiri, sebagai berikut:

Pertama, hasil Seminar Nasional Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, bahwa pembangunan di Indonesia di masa mendatang harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan, mengingat hal yang sama menjadi kunci utama kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang, dan Korea Selatan pada abad ke-21 (Bisnis,com, Selasa, 4 April 2017).

Kedua, pada 27 April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan rancangan undang-undang pemajuan kebudayaan. Dimana kemudian dikenal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.

Ketiga, terbitnya putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan Aliran Kepercayaan, dimaknai pula sebagai peneguhan dan pengakuan keberadaan religi (agama) asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.

Keempat, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kemudian menerima naskah kajian akademis strategi pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.

Soft power

Sehubungan dengan empat langkah dan putusan strategis di sebutkan di atas, Pemerintah Republik Indonesia, sekarang, menegaskan, kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa.

Secara ideologi, menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam Konsepsi Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter secara budaya.

Dengan Trisakti, kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building. Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi (Aju & Yulius Yohanes, 2020).

Dari sisi geostrategi untuk menjalankan geopolitik di Pulau Borneo, menempatkan posisi tawar masyarakat Suku Dayak dalam Program Heart of Borneo (HoB) yang diluncurkan Kerajaan Brunei Darussalam, Federasi Malaysia dn Republik Indonesia di Pulau Borneo, pada 12 Februari 2007, cukup tinggi, baik pada level regional, nasional dan internasional.

HoB mengusung program konservasi dan pembangunan berkelanjutan tertuang dalam Rencana Aksi Strategis atau Strategic Plan of Action (SPA). HoB adalah ekosistem dataran tinggi yang unik bernilai strategis di Pulau Borneo. Luas HoB atau Jantung Borneo pada tiga negara 23,3 juta hektare, dimana seluas 16,7 juta hektare (72,23%) di Indonesia; 6 juta hektar (25,94,8%) di Malaysia dan 424 ribu hektare (1,82%) di Brunei Darussalam (Prabianto Mukti Wibowo, 2014).

Di wilayah Indonesia, lokasi Program HoB seratus persen berada di pemukiman masyarakat Suku Dayak, membentang lurus pada jejeran Pegunungan George Muller dari Provinsi Borneo Timur/Provinsi Borneo Utara ke Provinsi Borneo Barat dan Pegunungan Schwaner dari Provinsi Borneo Tengah ke Provinsi Borneo Barat. Titik sentrum Program HoB ada di Provinsi Borneo Barat, yaitu di Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu pada Pegunungan George Muller di Taman Nasional Puruk Mokorajak (Bukit Baka Bukit Raya) di Kabupaten Sintang pada Pegunungan Schwaner.

Kawasan HoB di Indonesia kebanyakan terletak di sepanjang jajaran perbukitan Borneo sebelah utara. Di kawasan ini terdapat 13 wilayah perbukitan dengan ketinggian bervariasi antara 1.681 meter dari permukaan laut di Gunung Cemaru di Borneo Barat hingga 2.987 meter dari permukaan laut di Gunung Makita di Taman Nasional Kayan Mentarang.

Kondisi topografi di wilayah HoB Indonesia kebanyakan berupa tebing terjal. Kawasan ini juga memiliki tiga danau besar: Danau Jempang (15.000 hektare), Danau Semayang (13.000 hekar) dan Danau Melintang (11.000 hektare).

Puruk Mokorajak (Bukit Raya) memiliki ketinggian 2.278 meter dari permukaan laut, sebagai bukit tertingg kedua di Borneo setelah Bukit Kinabalu di Sabah, Malaysia mencapai ketinggian 4.096 meter dari permukaan laut. Dari aspek pembakuan nama rupabumi sebagaimana digariskan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967 dan diatur lebih teknis di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 113 Tahun 2006, Bukit Raya sebutan yang benar dalam masyarakat setempat, Bahasa Dayak Uud Danum, yaitu Puruk Mokorajak.

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, diambil dari nama dua bukit yang lokasinya berhadap-hadapan, yaitu Puruk Mokorajak di wilayah pemukiman Suku Dayak Uud Danum dan Puruk Bahkah di wilayah pemukiman Suku Dayak Limbei, stramras Dayak Uud Danum. Baik Puruk Mokorajak maupun Puruk Bahkah, artinya sama, yaitu besar, sehingga cukup disebut Taman Nasional Puruk Mokorajak.

Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), pada 15 Juli 2020, telah mengajukan surat resmi perubahan nama Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya menjadi Taman Nasional Puruk Mokorajak, dan berkasnya diserahkan kepada Deputi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Dr Alue Dohong SE di Jakarta, Kamis, 16 Juli 2020.

Kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh iklim Monsoon yang basah dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 2.800 milimeter to 3.600 milimeter dan suhu udara bervariasi antara 22 derajat Celcius selama musim penghujan pada bulan September hingga Maret, dan 33 derajat Celcius selama musim kemarau pada bulan April sampai Agustus. Kelembaban udara berkisar antara 85%-88% sepanjang tahun (Prabianto Mukti Wibowo, 2014).

HoB di Indonesia

Kawasan HoB di Indonesia terbentang sepanjang Borneo dan negara bagian Sarawak dan Sabah di Malaysia, yang kemudian diperluas hingga ke wilayah tangkapan air Pulau Borneo. Kawasan HoB seluas 16,7 juta hektare di Indonesia kebanyakan ditutupi oleh hutan pegunungan tropis.

Kawasan ini sesungguhnya merupakan koridor keanekaragaman hayati yang amat kaya, menghubungkan empat kawasan konservasi dengan luas total mencapai 4,465 juta hekarte yaitu Taman Nasional Kayan Mentarang, Taman Nasional Danau Sentarum, Taman Nasional Puruk Mokorajak (Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya) dan Taman Nasional Betung Kerihun.

Kawasan konservasi yang luasnya sekitar 40,89% dari HoB merupakan habitat yang sangat penting bagi ribuan spesies tumbuhan dan bagi sekitar 900 spesies satwa liar, menjadikan Borneo sebagai wilayah yang memiliki kekayaan spesies tertinggi di Indonesia.

Spesies satwa liar yang ditemukan di kawasan HoB antara lain adalah 221 spesies mamalia, 358 spesies burung penetap dan 254 spesies reptilia. Sekitar 34% dari spesies ini merupakan spesies endemik Borneo, termasuk Orangutan Borneo, Pongo pygmaeus and Gajah Kerdil Elephas maximus borneensis.

Kawasan konservasi memiliki fungsi sangat penting sebagai daerah tangkapan air bagi 14 sungai utama di Borneo (sembilan Daerah Aliran Sungai atau DAS dan delapan sub-DAS), di antaranya adalah Sungai Mahakam, Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Katingan, Sungai Sesayap, Sungai Sembakung, Sungai Melawi dan Sungai Kapuas, semuanya menyediakan air dan mengatur tata air ke bagian hilir di Provinsi Borneo Barat, Borneo Utara dan Borneo Timur.

Masyarakat lokal di HoB berasal dari Suku Dayak. Kalau ada kelompok etnis lain, karena mereka bermigrasi ke kawasan HoB sejak awal tahun 1960-an. Untuk Suku Dayak, setidaknya terdapat tujuh kelompok di kawasan HoB yaitu Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Iban, Dayak Penan atau Punan, Dayak Lundayeh atau Lun Bawang, Dayak Kelabit, Dayak Uud Danum, Dayak Barito/Ngaju. Kelompok Suku Dayak ini memiliki bahasa, kebudayaan, kearifan tradisional dan penyebaran geografis yang berbeda. Dayak Barito-Ngaju secara umum bermukim di bagian tengah Borneo dan mereka dikenal memiliki banyak upacara spiritual yang khas.

Dayak Barito-Ngaju biasanya menyelenggarakan upacara pemakaman kedua, beberapa bulan atau beberapa tahun setelah upacara pemakaman pertama. Dayak Dayak Penan atau Punan, yang tinggal di Borneo Timur, dikenal sebagai masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden) dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap satwa buru dan sumber daya hutan lain untuk kehidupan subsisten mereka. Sagu merupakan makanan sehari-hari mereka.

Masyarakat Dayak Iban yang kebanyakan bermukim di Borneo Barat dikenal memiliki kebiasaan berladang, bertani secara gilir-balik, serta bejalai (bermigrasi ke wilayah lain untuk memperbaiki taraf hidup).

Dayak Kenyah dan Dayak Kayan yang menghuni Borneo Timur terkenal karena kemahiran mereka dalam mengukir kayu, membuat aksesori, serta menari dan bermain musik. Dayak Lundayeh yang bermukim di Borneo Timur dikenal sangat ahli dalam pertanian sawah tradisional.

Peraturan Pemerintah Nomor 26/200812, tanggal 10 Maret 2008, tentang Tata Ruang wilayah Nasional, menetapkan kawasan HoB telah dikukuhkan sebagai salah satu dari 76 Kawasan Strategis Nasional (KSN) di Indonesia.

KSN didefinisikan sebagai wilayah yang diprioritaskan untuk perencanaan tata guna lahan mengingat kepentingannya bagi kedaulatan negara, pertahanan negara, dan pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, atau bagi penetapan warisan dunia.

Kewajiban dan tanggungjawab

Dengan ditunjuknya HoB sebagai KSN, maka Pemerintah Republik Indonesia, memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih tinggi untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi kawasan yang makmur.

Di pihak lain, masyarakat di kawasan tersebut dapat memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan dana investasi pemerintah serta turut serta dalam mengembangkan kawasan alam (Prabianto Mukti Wibowo, 2014).

Karena itu, suksesnya tidaknya Program HoB dalam menjamin Borneo sebagai paru-paru dunia, sangat tergantung dari keterlibatan masyarakat Suku Dayak. Program Heart of Borneo (HoB) dan Kebudayaan Dayak pada dasarnya bersifat simbiosis mutualis, saling ketergantungan satu sama lain. Tapi yang perlu dipahami, Suku Dayak sudah eksis di Pulau Borneo sejak ribuan tahun lalu sebelum ada Program HoB.

Dalam menjalankan geopolitik, Program HoB tidak akan jalan sesuai harapan, apabila konsep geostrateginya belum sinkron dengan Kebudayaan Suku Dayak. Jadi, di dalam tataran teknisnya, konsep geostrategi harus mengelaborasi falsafah hidup masyarakat Suku Dayak yang akrab dengan alam melalui akselerasi kapitalisasi dan modernisasi.

Kalau sudah ada sinkronisasi, membuat masyarakat Suku Dayak akan merasa memiliki Program HoB. Penjabaran pada hal-hal teknis akan mudah diwujudkan, karena dalam perencanaan diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat Suku Dayak itu sendiri.

Sementara saat bersamaan dipahami pula, Program HoB apabila sudah ada sinkronisasi, dapat menjamin keberlangsungan hidup berketuhanan berkebudayaan Dayak, dalam kaitan aplikasi teknis falsafah Kebudayaan Suku Dayak, yaitu menjaga keselarasan dan keseimbangan alam.

Di sinilah Program HoB dijadikan momentum masyarakat Suku Dayak untuk kembali kepada karakter dan jatidiri yang berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.

Dalam menyusun konsep geostrategi dalam pelaksanaan geopolitik di Pulau Borneo, perlu ada titik temu di dalam menyusun disain besar pada tataran akselerasi kapitalisasi modernisasi Kebudayaan Suku Dayak dengan Program HoB dari Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, serta dunia internasional.

HoB dan Dayak

Pemerintah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, dan dunia internasional, mesti sadar bahwa masa depan Program HoB di Pulau Borneo ada di tangan masyarakat Adat Dayak.

Sebagus apapun Program HoB, kalau belum mendapat simpati di kalangan Masyarakat Adat Suku Dayak, karena dinilai programnya belum sinkron dengan falsafah hidup Kebudayaan Suku Dayak, diyakini tidak akan berjalan sesuai harapan dan dikemudian mendapat hambatan dalam menentukan masa depan keberlangsungan kehidupan dunia.

Inilah yang melatarbelangi pemahaman bahwa lewat Program HoB, membuat potensi nilai tawar masyarakat Suku Dayak cukup tinggi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darusssalam, serta dunia, bukan saja pada level regional dan nasional. Tapi pula berpotensi nilai tawar Suku Dayak cukup tinggi pada tingkat internasional dikaitkan masa depan Program HoB yang bertujuan menjamin Pulau Borneo sebagai paru-paru dunia.

Karena itu dalam pengimplementasian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, dan ketentuan lain yang relevan, mesti ada jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, untuk memperhitungkan posisi strategis kalangan masyarakat Adat Dayak di dalam mendukung Progam HoB sebagai salah satu dari 76 Kawasan Strategis Nasional (KSN). Di antaranya menerapkan program pembangunan yang berpihak kepada rasa keadilan sosial masyarakat adat Dayak di Pulau Borneo.

 

Masyarakat adat Dayak membutuhkan payung hukum dari Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, dalam menjamin perlindungan terhadap hak-hak adat, terutama hak adat atas pengelolaan sumberdaya alam, berupa hutan adat Dayak dan perairan adat Dayak.

Rekomendasi point 28 (dua puluh delapan), Seminar Nasional: “Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional”, yang diselenggarakan Pekan Gawai Dayak Provinsi Borneo Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Rumah Radakng, Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, menegaskan “Situs pemukiman (bekas pemukiman kuno) dan situs pemujaan (tempat menggelar ritual adat) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, harus ditetapkan menjadi Hutan Cagar Adat Dayak.”

“Apabila kawasan situs pemukiman dan pemujaan dimaksud telah dijadikan kegiatan ekonomi non Konservasi, maka sehabis satu siklus tanam dan atau setelah izinnya habis, tidak diperbolehkan diperpanjang, karena secara otomatis kembali dimiliki Suku Dayak untuk menjadi Hutan Cagar Adat dan menjadi hak kolektif masyarakat adat.”

Dalam posisi strategis, sebagai penjaga dan pendukung Program HoB, kalangan dunia internasional, mesti memiliki tanggungjawab kolektif terhadap masyarakat Adat Dayak, karena di dalam Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, mencakup 46 pasal, di antaranya masyarakat adat berhak mempertahankan tanah adatnya, masyarakat adat berhak mempertahankan identitas budayanya.

Rasa keadilan sosial

Mesti ada program regional, nasional dan internasional yang mengikat di dalam percepatan pembangunan masyarakat adat Dayak di segala bidang, terutama sektor pendidikan, pemantapan jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak, program ekonomi kreatif berbasis kebudayaan Dayak, dan sektor lain yang berpihak kepada rasa keadilan sosial, ekonomi dan politik masyarakat adat Dayak di Pulau Borneo.

Apabila Suku Dayak di Pulau Borneo menarik diri dari Program HoB, maka kerusakan ekosistem Pulau Borneo sebagai paru-paru dunia sudah di depan mata, sehingga Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Indonesia dan Federasi Malaysia, mesti memperhitungan potensi kecaman dunia internasional, karena bisa saja dinilai tidak mampu menjamin komitmen internasional di dalam upaya mengurangi pemanasan global.

Bagi Republik Indonesia, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Borneo Timur, berpotensi pula sebagai ajang kecaman dunia internasional karena tidak lebih dari legitimasi pengrusakan bumi Pulau Borneo sebagai paru-paru dunia. Ini apabila dari aspek geostrategi, falsafah hidup kebudayaan Suku Dayak kurang maksimal dalam melakukan akselerasi kapitalisasi dan modernisasi pada Program HoB, lantaran dalam aplikasi teknisnya dinilai asing, karena tidak sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak.

Dimediasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dan kementerian yang menangani bidang kehutanan dan sumberdaya alam di Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, maka wajar Program HoB harus sudah sampai pada upaya nyata dalam menselaraskan hal-hal teknis pada pemantapan pembangunan jaringan infrastruktur Kebudayaan Suku Dayak, di antaranya melalui berbagai produk literasi berorientasi keselarasan dan keseimbangan ekosistem.

Di antaranya pendokumentasian legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat di kalangan Suku Dayak sebagai sumber doktrin religi Dayak yang kemudian menjadikan filosofinya sebagai acuan di dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan di Pulau Borneo pada umumnya dan di areal HoB pada khususnya. Kemudian menumbuhkembangkan program pembangunan ekonomi kreatif berbasis Kebudayaan Dayak.

Berkaitan dengan itu, dari aspek geostrategi di dalam menjabarkan geopolitik, dibutuhkan langkah berkeadilan dari Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia pada pelibatan sumberdaya manusia masyarakat adat Suku Dayak dalam berbagai aspek pembangunan.

Tujuannya agar konsep geostrategi mengelaborasi falsafah hidup orang Dayak demi menjamin terwujudnya pelaksanaan geopolitik di Pulau Borneo, tidak menimbulkan gejolak di masa mendatang.

Karena ketidaksinkronan konsep geostrategi bermuara belum optimalnya keterlibatan masyarakat Suku Dayak dalam pembangunan di berbagai bidang, sehingga membuat masyarakat Dayak merasa asing di tanah sendiri, berpotensi mengganggu sistem pertahanan semesta negara, dalam konteks geopolitik di Pulau Borneo, pasca pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Borneo Timur, sebagaimana diumumkan Presiden Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.

Kebudayaan Suku Dayak memiliki karakteristik regilius, dapat dimaksimalkan di dalam melakukan diplomasi kebudayaan di dalam pergaulan global Pemerintah Republik Indonesia. Makna yang terkandung di dalam falsafah hidup, tertuang di dalam mitos suci, legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak sebagai sumber doktrin agama asli Dayak, dapat dielaborasi melalui akselerasi, kapitalisasi dan modernisasi, tapi tidak menghilangkan prinsip-prinsip dasar di dalam religi Dayak dalam diplomasi kebudayaanan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Program Indonesian Arts and Culture Scholarship (IACS) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia melalui Program Wonderful Indonesia.

Karakteristik Kebudayaan Dayak yang tertuang di dalam sistem religi Dayak, bersumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, dalam aplikasinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya (Semuel S Lusi, 2016) sebagai spiritualitas hidup. Spiritualitas lebih melihat ke dalam batin menuju kesadaran akan nilai-nilai universal di dalam Kebudayaan Dayak.

 

Spiritualitas merupakan proses transformasi melalui berbagai aspek kehidupan yang terintegrasi meliputi fisik, emosional, pekerjaan, intelektual dan rasional. Spiritualitas sangat berkaitan dengan kreativitas, cinta, pengampunan, kasih sayang, kepercayaan, penghormatan, kebijaksanaan, keyakinan, dan rasa akan kesatuan (Pasha Nandaka & Clara Moningka, 2018).

Pontianak, 11 Nopember 2020

Dr Yulius Yohanes, M.Si & Aju, 2020. Diplomasi Kebudayaan Dayak dalam Geopolitik dan Geostrategi di Borneo. Pontianak, Derwati Press. Buku ini terbit diinisiasi Sekretaiat Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Pontianak.