Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman

Ada Normalisasi Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, menilai, ada upaya patut diduga melakukan praktik normalisasi paham radikalisme dan terorisme di Indonesia, sehingga dibutuhkan kekuatan penuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam mendukung peran Polisi Republik Indonesia (Polri) di dalam menciptakan keamanan di dalam negeri.

Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes di Jakarta, Minggu, 22 Nopember 2020, menanggapi langkah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya), Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman, dan kemudian didukung Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Kapolda Metro Jaya), Inspektur Jenderal Polisi Fadil Irman, menurunkan baliho Mohammad Rizieq Shihab (MRS) yang dipasang Front Pembela Islam (FPI) pasca kedatangannya dari Arab Saudi, Selasa, 10 Nopember 2020.

Puncak kemarahan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena kegiatan keagamaan di Jakarta, Jumat, 13 Nopember 2020, MRS menebar makian dan ancaman penggal kepala aparat keamanan, serta kemudian menyebut kata-kata kotor yang bersifat sangat merendahkan martabat perempuan artis Nikita Mirzani.

Dibela Jusuf Kalla

MRS dalam menebar ancaman justru dibela Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan oknum politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon. Saat Dudung Abdurachman menegaskan, pencopotan baliho MRS atas perintahnya, pada Jumat, 20 Nopember 2020, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, justru membela dengan dalih, ada ruang kosong jarak antara masyarakat dengan Pemerintahan sekarang.

“Radikalisme kalau memang patut diduga dilakukan kelompok MRS yang tinggal selangkah lagi menjadi aksi terorisme, kalau dibiarkan berlarut-larut, sangat berbahaya, karena sebagai legalisasi bagi kaum garis keras melakukan aksinya dengan atas nama agama. Ini sudah tidak bisa dibiarkan, sehingga tugas Polri di dalam menciptakan keamanan di dalam negeri, harus didukung TNI,” kata Yulius Yohanes.

Pelibatan TNI dalam mencopot baliho MRS di markas FPI Petamburan, Jakarta, sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang: Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana di dalam pasal 7 (tujuh) ayat 2 (dua) menegaskan, “Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.”

“Pencopotan baliho MRS terintegratif dipimpin Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman, karena hal serupa dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, selalu tidak diindahkan. Setelah dicopot, hanya hitungan jam kemudian, dipasang lagi di tempat yang sama. Sementara pemasangan baliho ada aturannya, karena terkait pembayaran pajak,” kata Yulius Yohanes.

Diungkapkan Yulius Yohanes, masyarakat Suku Dayak di Kalimantan mendukung sepenuhnya sikap TNI, Polri dan Pemerintah Republik Indonesia di dalam menciptakan rasa keamanan masyarakat, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu masyarakat Suku Dayak di Kalimantan tidak boleh terpancing, karena TNI dan Polri mampu menciptakan rasa aman masyarakat.

Indonesia, menurut Yulius Yohanes, harus belajar dari pengalaman porak-porandanya Suriah, akibat dari kebaikan yang tidak terorganisir, mampu dikalahkan praktik kejahatan yang terorganisir. Karena itu, pihak yang setia kepada ideologi Pancasila berlandaskan Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, harus berani bersikap dan melawan berbagai bentuk radikalisme yang selalu berujung kepada terorisme yang mengakibatkan kehancuran bangsa.

Manuver MRS menuai kecaman berbagai pihak. “Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual. Bung Karno puluhan tahun yang lalu sudah mengeritik keras fenomena yang tidak sehat ini,” ujar ulama asal Minangkabau itu dalam akun twitternya @SerambiBuya, Sabtu, 21 Nopember 2020.

Kritik seputar tokoh dengan gelar habib juga menjadi sorotan penceramah kondang lainnya, Miftah Maulana Habiburrahman atau lebih dikenal dengan Gus Miftah, yang baru-baru ini menyebut seorang habib sudah selayaknya menjadi panutan pengikutnya dalam bersikap.

Direktur Nusantara Institute, dan dosen King Fahd University, dan senior fellow Middle East Institute, Prof Dr Sumanto Al Qurtuby, mengatakan, sejak zaman bahula, khususnya ketika agama mulai memasuki panggung publik, tokoh/penguasa politik sering kongkalikong dengan tokoh agama, baik untuk kebaikan maupun kejahatan.

Fenomena ini biasanya terjadi di negara-negara yang memiliki populasi umat agama konservatif atau semi-konservatif. Di luar itu biasanya tidak terjadi karena orang lebih banyak berpikir tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran, keadilan, perdamaian dlsb ketimbang persoalan politik primordial identitas agama.

Relasi agama-politik ini menarik dan selalu dinamis. Adakalanya koalisi politik-agama itu untuk atau demi kemaslahatan rakyat, negara dan bangsa. Ini kalau yang menjalin koalisi itu antara tokoh politik baik dengan tokoh agama baik.

Tetapi tidak jarang koalisi politik-agama itu dilakukan untuk proyek kejahatan dan kebiadaban. Kalau yang ini terjadi antara tokoh politik rakus bin tamak bertemu/kongsi dengan tokoh agama bodong bin gemblung.

“Dalam hal ini, si tokoh politik rakus bin tamak itu akan menjadikan si tokoh agama tersebut sebagai jalan, kendaraan atau bahkan ‘barang mainan’ dan bumper mereka untuk menggapai tangga kekuasaan yang akan mereka jadikan sebagai ‘jalan tol’ untuk mengeruk dan menguras sumber-sumber ekonomi, finansial, dan kekayaan alam negara,” ujar Sumanto.

“Kenapa si tokoh politik tamak bin serakah itu membutuhkan tokoh agama bodong dan gemblung, bahkan sampai memuji-muji sebagai tokoh agama kharismatik sebagaimana diungkapkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan tetek-bengek lainnya?” tanya Sumanto.

Biaya Murah

Pertama, ujar Sumanto, karena si tokoh politik tidak mempunyai massa militan dan loyalis yang bisa “dimainin” dan digerakkan secara kontinu dan konsisten dengan biaya murah. Yang mempunyai massa militan, loyalis dan biaya murah (bahkan gratisan) itu adalah tokoh agama.

Dikatakan Sumando, tagi si tokoh politik rakus ini, mereka cukup menyuap dan membayar si tokoh agama bodong ini saja. Selanjutnya, si tokoh agama bodong ini yang berkoar-koar kayak toa bodol (lewat orasi, pengajian, khotbah dan lain sebagainya) sambil pamer mobil-mobil mewah, dan dibantu oleh orang-orang dekatnya mengkomando loyalis dan massa militannya yang 99,99% pekok permanen untuk demonstrasi, menguasai jalan, merusak properti, menyembah baliho, dan seterusnya.

Kedua, turut Sumanto, karena untuk berkuasa membutuhkan suara rakyat lewat Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan lain sebagainya.

“Kalau mekanisme pemilihan Presiden, Gubernur dan seterusnya bukan melalui pemilihan langsung (one man/woman one vote) tetapi lewat dewan (badan legislatif), maka para tokoh politik semprul ini tidak akan menggubris para tokoh agama prutul itu. Mau nyungsep, nyungsep aja sendiri. Si tokoh politik rakus cukup menyuap para anggota dewan yang bisa disuap karena mereka yang ‘mempunyai suara’ (rakyat tinggal melongo menonton). Beres!”

“Jadi, hanya orang-orang lugu-njegu yang menganggap kepulangan MRS itu sebagai kepulangan biasa. Hanya orang-orang somplak dengkule yang mengelu-elukan MRS. Para elit politik rakus itu sudah berhitung dan memperhitungkan. Mereka pun rela melakukan apa saja untuk memulangkan MRS, agar bisa dipakai lagi, sebagai jalan untuk menggelorakan politik busuk, kotor dan menjijikkan dengan jualan agama, ayat, dan Tuhan,” ujar Sumanto.

“Jika tidak ada ‘pemilihan langsung’, MRS dipastikan sampai ngerak dan karaten di gurun dan bisa saja jadi ‘mumi kontemporer’. Semoga Indonesia diselamatkan dari ulah para elit politik rakus dan tokoh agama yang bodong,” ujar Sumanto.

Pegiat media sosial, Eryzeli Bandaro, mengatakan, jauh sebelum MRS datang dari Makkah, baliho tentang dirinya sudah ada. Di tempatkan hampir di semua sudut kota. Bahkan di kawasan perumahan, baliho itu hanya sejengkal dari pos Polisi. Semua diam. Padahal semua tahu.

Jangankan pasang baliho besar, reklame nempel di gedung atau ruko punya sendiri saja, tak lama sudah ada petugas Pemda menanyakan izin reklame. Kalau tidak ada izin, reklame itu harus diturunkan.

“Mengapa? Karena reklame, billboard, baliho itu salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Tetapi anehnya khusus untuk baliho MRS, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak punya nyali bersikap tegas. Kalau diturunkan oleh Satpol PP, tak lama akan dipasang lagi oleh FPI,” kata Eryzeli Bandaro.

Diungkapkan Eryzely Bandaro, sepertinya FPI/MRS mempermainkan kekuasaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Suatu pembangkangan sipil terjadi di depan aparat dan secara vulgar disaksikan oleh rekyat: betapa Pemerintah kalah oleh Organisasi Masyarakat (Omas).

Partai Politik

Eryzeli Bandaro, mengatakan, tidak yakin FPI punya kekuatan begitu besar tanpa ada dukungan politik real. Siapa itu? Ya, partai politiki. Setelah mereka desain, MRS dipulangkan ke tanah air. Mereka diam nonton apa yang akan terjadi kemudian.

Tentu berharap sesuai dengan desain. Dalam waktu singkat, gerakan MRS akan jadi gelombang besar melanda semua kota. Namun yang tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali adalah sikap TNI yang cepat sekali berbalik ke arah Presiden Joko Widodo.

“Makanya, para politisi busuk dan tokoh masyarakat busuk, ini, terkejut ketika TNI masuk arena politik. TNI terlibat dalam menghadapi fenomena MRS/FPI. Sikap TNI tegas demi undang-undang dan konstitusi. Dalam politik, bila Presiden didukung militer maka dialah yang lead politik real,” ungkap Eryzeli Bandaro.

Yang jelas mendukung MRS dan menolak keterlibatan TNI adalah PKS, Gerindra, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKS berkomentar demokratisasi menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI.

Tugas utamanya perang melawan musuh negara yang mengancam kedaulatan, kelompok separatis, dan kekuatan asing yang mengancam. Sehingga mohon jangan sampai sikap, kata, dan tindakannya terjebak politik praktis menyangkut dinamika politik di dalam masyarakat.

Nasdem menilai, aspek keamanan lingkungan itu domain aparat keamanan, bukan pertahanan. Urusan kriminal, itu urusan polisi. Soal baliho, itu urusan Satpol PP. Jadi mestinya, dalam hal ini, Satpol PP yang melakukan itu.

Gerindra, menilai, rakyat Indonesia mencintai TNI. Gerindra mengklaim tidak rela muruwah TNI turun karena urusan baliho. Urusan baliho itu urusan Satpol PP. Kalaupun ada pelanggaran hukum, itu urusan kepolisian, bukan TNI. TNI adalah tentara rakyat. Mari bersama kita jaga NKRI untuk tetap jaya.

Diungkapkan Eryzeli Bandaro, pendukung sikap TNI adalah Golkar dan PDIP. Partai Golongan Karya (Golkar), berkomentar, apa yang diutarakan Pangdam Jaya sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku.

Menurut PDIP dan Golkar, Kodam Jaya melanjutkan apa yang Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahyanto, ucapkan sebelumnya. Jadi ini sudah searah, dan juga ini menegakkan aturan undang-undang. Jadi tidak ada yang dilanggar, justru ini menegakkan.

PDIP mendukung langkah TNI yang mencopot baliho MRS. PDIP menilai, TNI harus turun tangan ketika ada ancaman terhadap negara.”

Partai Demokrat (PD) bersikap dengan nada menyindir kepada Pemerintah. Kerterlibatan TNI menandakan bahwa negara sudah tidak mampu memainkan perannya sehingga harus menurunkan TNI untuk mencopot spanduk MRS.

Apa yang menjadi sikap PD senada dengan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dengan dalih, kenapa ratusan ribu orang itu, kenapa dia tidak percayai DPR untuk berbicara? Kenapa tidak dipercaya partai-partai khususnya partai Islam? Untuk mewakili masyarakat itu.

“Dari politik baliho ini kita dapat cermati untuk mengetahui peta politik terkini,” kata Eryzeli Bandaro.

Pertama, ujar Eryzeli Bandaro, fenomena MRS tidak datang dengan sendirinya. Ini by design. Tidak mungkin dilakukan FPI sendiri, tanpa bantuan mesin partai dan logistik kuat (pengusaha rente). Mudah ditebak siapa di balik itu semua. Bisa dilihat dari sikap mereka terhadap keterlibatan TNI menurunkan baliho itu.

Proses dan dinamika politik yang terjadi tidak bisa lepas dari operasi intelijen yang rumit. Sehingga ada yang kena trap dan keselek bakiak. Ada yang tersenyum menikmati semua itu.

Kedua, lanjut Eryzeli Bandaro, yang menarik adalah sikap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dengan cepat menyimpulkan bahwa kekuatan formal politik tidak capable dalam sistem demokrasi sehingga terjadinya fenomena MRS. Artinya rakyat tidak percaya lagi dengan kekuatan formal.

Rakyat butuh alternatif yang mereka percaya. Ini sinyal kepada partai beraliran Islam bahwa Jusuf Kalla punya posisi tawar untuk menentukan kontestan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) 2024.

“Menurut saya kesimpulan Jusuf Kalla terlalu prematur. Jusuf Kalla, harusnya tahu bahwa jumlah massa MRS tidak mencerminkan seluruh rakyat Indonesia. Kekuatan real partai itu ada di akar rumput, dan itu tidak perlu gebyar bawa massa. Itu akan dibuktikan dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2024,” kata Eryzeli Bandaro.

Ketiga, ungkap Eryzeli Bandaro, keterlibatan TNI dan Polri dalam menyelesaikan fenomena MRS adalah politik negara. Presiden sebagai Kepala Negara bersikap pada momen tepat, yaitu membela konstitusi, NKRI, Pancasila dan UUD 45. Namun tidak dilakukan secara formal melalui Kepres tetapi melalui orang yang loyal kepada Presiden. Dan mereka seperti Polri dan TNI dasarnya adalah undang-undang.

Keempat, ujar Eryzeli Bandaro, dengan adanya fenomena MRS ini, proses rekonsiliasi di antara elite dapat berlangsung dengan tanpa ada bargain apapun. Semua berpatokan kepada konstitusi dan undang-undang. Tidak ada lagi politik identitas. Yang ada Pancasila.

“Tugas TNI dan Polri selanjutnya adalah membersihkan segala bentuk gerakan radikalisme politik identitas. Yang jelas mimpi Anies Baswedan, Gubernur DKI, anak asuh Jusuf Kalla, jadi Presiden tahun 2024, pupus sudah. Indonesia akan baik baik saja. Siapapun nanti tahun 2024 yang jadi Presiden, tidak penting lagi,” ujar Eryzeli Bandaro. (Aju).