Dr Devie Rahmawati, MHum

Memupuk Toleransi di Sekolah

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Toleransi sebetulnya adalah betuk cerminan dari sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang keputusan pakaian seragam dan atribut di sekolah adalah wujud dari semangat toleransi itu. Maka masyarakat hendaknya paham bahwa manifestasi dari toleransi ialah penghormatan terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali, tanpa adanya unsur pemaksaan seperti yang temuat dalam SKB.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Dr Devie Rahmawati, MHum menjelaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa besar, karena di negara kepulauan ini, berbagai suku, agama, ras dan golongan dapat hidup damai, saling menghormati dan sepakat untuk bahu membahu membangun negeri. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, bukan hanya menjadi kekayan lokal nusantara, tetapi kekayaan kemanusiaan. Tuhanlah yang menghadirkan perbedaan ini.

Karena justru dengan perbedaan, kita saling melengkapi. Indonesia ialah pusaka peradaban. Di mana lagi, di dunia, ada masyarakat dalam jumlah sangat besar yang memiliki perbedaan dari mulai warna kulit, wilayah tinggal kepulauan, budaya, makanan, pakaian, nyanyian, tarian, keyakinan, hingga iklim dan cuaca berbeda, yang menyatu sebagai bangsa,” ujar Devie Rahmawati di Jakarta, Jumat (12/2/2021).

Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa dengan adanya pebedaan yang bermacam-macam tersebut, hanya ada satu kekuatan yang mampu merekatkan seluruh perbedaan fisik, geografis, historis, dan sosiologis ini yaitu toleransi.

“Toleransi ialah upaya untuk memahami orang lain, salah satunya dengan tidak berkata dan berbuat hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak nyaman bila orang lain mengatakan dan melakukannya kepada diri kita. Sebagai ilustrasi, apakah kita rela, bila kita “dipaksa” melakukan sesuatu seperti menggunakan atribut yang merupakan milik keyakinan orang lain? Kalau jawabannya tidak, maka sudah seyogyanya, kita tidak

elakukan hal tersebut kepada orang lain juga,” ujar Devie.
Menurutnya memang dibutuhkan kesabaran dan konsistensi untuk terus mengkomunikasikann filosofi dan praktik dari toleransi ini. Oleh sebab itu, wanita yang juga praktisi komunikasi dalam bidang public relations (PR) ini mengatakan bahwa pemerintah perlu untuk menggandeng para tokoh yang akan didengar oleh setiap kelompok di masyarakat. Perlu diidentifikasi siapa tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar di setiap wilayah atau kelompok tersebut.

“Para tokoh inilah yang perlu diajak bicara terlebih dahulu tentang semangat dari SKB ini. Mengapa dibutuhkan tokoh-tokoh publik? Karena karakter sosial masyarakat Indonesia yang hirarkis, Patron-Klien, yaitu adanya para Patron (individu yang dianggap berada di puncak hirarki) yang dihormati, diteladani hingga diikuti oleh para klien (individu yang berada di posisi bawah dalam hirarki sosial),” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan Devie, ketika para patron mendemonstrasikan suatu aksi, berpeluang besar diikuti oleh masyarakat luas, sebagai klien. Lantas siapa saja para patron tersebut? Sederhananya mengatakan bahwa mereka yang masuk dalam kategori 4 K yaitu individu-individu yang memiliki pertama, Kekuasaan (RT, Lurah, Kades hingga presiden), kedua, adalah Ketenaran (para selebritis), ketiga Kekayaan, dan yang keempat yaitu Kewibawaan yang bisa ada di tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat).

“Ketika para patron (panutan publik) ini menunjukkan sebuah perilaku, maka akan menimbulkan bandwagon effect (dampak ikutan). Ibaratnya Lokomotif dan gerbong. Ketika lokomotif mengarah ke kanan, maka gerbong berpeluang mengikuti juga ke kanan,” tutur penerima Australian Award tahun 2019 tersebut.
“Tugas pemerintah melakukan identifikasi tokoh publik yang masuk di antara kategori 4 K tersebut. Lalu dirangkul untuk dimohonkan menjelaskan kepada masyarakat tentang semangat dari SKB ini,” jelas wanita yang juga Dosen dan Peneliti Tetap Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI).
“Munculnya SKB ini sendiri bisa kita anggap sebagai sebuah sinyal bahwa kita memang perlu untuk terus mengingatkan masyarakat di sepanjang hayat. Mengingat, generasi terus berganti. Dan toleransi itu tidak cukup kalau hanya sekedar tahu tapi juga harus dilatih,” terang mantan Direktur Kemahasiswaan UI ini.
Karena menurutnya, toleransi termasuk dalam keterampilan sosial dan harus dilatih bukan cuma dihafalkan. Ia menyebut yang menjadi tantangan dari metode pendidikan di Indonesia adalah lebih menekankan kepada upaya menghafalkan bukan mengamalkan.
“Nilai-nilai pancasila, yang diantaranya toleransi, tidak pernah dipraktikkan sebagai sebuah amalan, berhenti pada hapalan semata,” ujarnya.
Kemduian Devie mencontohkan soal kejujuran misalnya. Ini konsep abstrak, yang tidak boleh hanya diajarkan teorinya. Tapi konkret dilaksanakan, seperti, tidak menyontek, kalau memang tidak mengerjakan belajar saat test, yah seadanya saja, jangan ambil jalan pintas. Atau konsep cinta tanah air, seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengantri, sebagai wujud menjaga ketertiban dan persatuan bangsa.

“Semua nilai-nilai tersebut lemah dalam hal implementasi. Sehingga, kita tumbuh dewasa tanpa memiliki pengalaman langsung hidup mengamalkan nilai-nilai kebaikan, hanya sekedar tahu,” ujar peraih gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran dan Swansea University, Inggris (sandwich program).

Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa toleransi dalam prakteknya ini ya tidak boleh memaksakan. Dan itu harus terus menerus diamalkan, bukan dihafalkan. Devie juga berpesan kepada adik-adik siswa di sekolah, bahwa saat ini mereka adalah warga dunia, berbeda dengan generasi di masa lalu, yang sangat terbatas untuk tersambung dengan orang dari belahan dunia.

“Sebagai anak kandung peradaban teknologi digital, kalian saat ini telah menjadi warga dunia (global citizen). Dimana, kalian hidup dan saling berinteraksi dengan individu dari seluruh belahan dunia hanya dengan sentuhan jari.

Oleh karena itu menurutnya, untuk menjadi masyarakat dunia yang baik, maka harus belajar menghormati orang lain, agar insya allah orang lain juga akan menghormati kita. Sebagai orang Indonesia, karena “DNA sosial” kita adalah perbedaan, saya yakin, tidak akan sulit bagi kalian menjadi pemimpin yang toleran bagi warga dunia.

“Dan yang harus diingat, ibaratnya sebuah lagu, yang lahir dari nada-nada berbeda, bukan hanya nada ’do’, keindahan hidup ini juga terwujud dari perbedaan tersebut,” tutup Devie yang juga produktif menjadi penulis dan editor lebih dari 70 buah buku.