Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun ketika menjadi nara sumber di diskusi yang digelar Independensi.com

Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Investasi di Indonesia pasca Pembentukan LPI

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Fokus pemerintah Indonesia  memulihkan perekonomian nasional dari dampak pendemi covid-19 patut diacungi jempol. Berbagai upaya dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo agar ekonomi Indonesia bisa cepat bangkit dari keterpurukan.

Pemerintah dengan sigap memastikan ekonomi Indonesia tetap maju di tahun-tahun mendatang melalui penciptaan kuatnya pondasi investasi. Upaya pemerintah itu terlihat dari berbagai kebijakan yang diambil.

Beberapa waktu yang lalu, misalnya, pemerintah kembali membuat terobosan. Kali ini dalam bentuk sebuah lembaga yang bertugas mengelola investasi. Lembaga tersebut dinamakan dengan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). Di beberapa negara LPI ini dikenal dengan sebutan Sovereign Wealth Fund (SWF).

Lembaga pertama yang dilahirkan dari rahim UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian diperkuat dengan peraturan pelaksananya (PP) yang tercantum dalam PP No. 49 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya.

Meski terbilang terlambat, bila dibandingkan negara lain, kelahiran LPI telah menghembuskan angin segar bagi masa depan investasi di Indonesia, terutama investasi berjangka panjang yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bakar pembangunan.

Namun sejarah SWF di dunia tidak semuanya berjalan mulus atau sesuai harapan, beberapa SWF malah bisa dikatakan gagal, seperti 1MDB milik negara tetangga Malaysia.

Kegagalan SWF dari negeri Jiran itu patut menjadi catatan penting. Paling tidak membuat pengelola LPI menjadi lebih hati-hati dalam menjalankan roda lembaga agar kejadian yang sama tidak terjadi. Maka, untuk mengetahui lebih dalam mengenai kiprah, potensi dan peran LPI serta proyeksi investasi masa depan di Indonesia.

Menurut Pemimpin Redaksi situs berita Independensi.com,  Kris Kaban, LPI salah satu lembaga yang  ditunggu-tunggu sudah lama. Apalagi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo pembangunan infrastruktur sangat  gencar hingga ke daerah-daerah terpencil.

Keberadaan LPI menjadi sangat penting demi menjaga kelangsungan pembangunan insfrastruktur  di Indonesia. Semua orang berharap agar LPI bisa mengambil peran agar Indonesia bisa menjaga ritme pembangunan ke depan untuk mensejajarkan diri dengan negara-negara maju.

“Karena bagi sebuah negara, investasi adalah nafas bagi keberlangsungan pembangunan,” ucapnya dalam acara Diskusi Publik Virtual #Seri 1 – 2021 yang diselenggarakan Rabu 31 Maret 2021.

Terbukti, kehadiran LPI sudah terlihat telah membuahkan hasil. Beberapa hari yang lalu Uni Emirat Arab (UEA) bakal mengucurkan investasi sebesar 10 miliar dollar US atau setara dengan Rp 144 triliun. Itu membuktikan bahwa tingkat kepercayaan investor masih begitu tinggi terhadap Indonesia. Semoga investor-investor lainnya menyusul ke dalam negeri.

Dalam acara Diskusi Publik Virtual, nara sumber yang hadir Muhammad Misbakhun, anggota DPR RI dari Komisi XI, Mohammed Ali Berawi, Ketua Komite Tetap Pembiayaan Infrastruktur KADIN, dan berikutnya adalah Edwin Syahruzad, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur dengan moderator pengamat Kebijakan Publik, Yudi Rachman SE, MM. Acara tersebut didukung juga oleh beberapa perusahaan, Bank BRI, Jasa Raharja, PT SMI, dan Bank Mandiri.

Misbakhun dalam pemaparannya menyampaikan SWF ini menarik karena pemerintah melalui UU Cipta Kerja menciptakan LPI sehingga bisa melakukan upaya yang akseleratif terhadap pembangunan agar bisa mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara kelas menengah ke negara maju.

“SWF memiliki dua ragam yakni SWF yang lahir dari negara yang APBNnya surplus dan SWF yang lahir dari negara yang APBNnya defisit. Cara mengelolanya pun berbeda,”ujar Misbakhun.

Ia melanjutkan, Indonesia berada dalam zona SWF dari negara yang APBNnya defisit oleh karena itu LPI akan dibiayai pemerintah dengan modal dasar Rp75 Triliun yang merupakan penyertaan modal negara.

Sementara itu, untuk pemindahtanganan aset ke LPI dan perusahaan patungan LPI, pemerintah akan memiliki skema bagaimana kekayaan negara yang dimiliki dan dikuasai dan dipisahkan di BUMN, digabungkan menjadi sebuah potensi pembiayaan yang dikuasai LPI.

“Skema ini sudah dibicarakan di mana pemerintah melakukan penyertaan moda ke LPI sebagai investasi pemerintah pusat, kemudian investasi pemerintah pusat juga dapat berasal dari aset BUMN dengan preferensi jual beli, berikutnya, Aset negara dan aset BUMN yang dijadikan investasi pemerintah pusat pada LPI dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan LPI,”bebernya.

Misbakhun melanjutkan, aset negara dengan kriteria tertentu dikecualikan dan tidak dapat dijadikan penyertaan modal negara ke LPI. Aset negara dengan kriteria tersebut dapat dikuasakelolakan kepada perusahaan patungan LPI dan LPI tetap mempertahankan kedudukan sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan.

“Sementara itu untuk meningkatan nilai aset, LPI juga dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga yang di antaranya melalui pembentukan perusahaan patungan,”kata dia.

Sementara itu Mohammed Ali Berawi, Ketua Komisi Tetap Kebijakan Strategis Infrastruktur KADIN menjabarkan peluang LPI bagi pelaku usaha. Menurutnya, peluangnya bagi entitas usaha adalah untuk turut serta dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan aset-aset infrastruktur yang ada.

Mohammed Ali Berawi

“Yang saya harapkan adalah prioritas yang sudah dicanangkan presiden bahwa menggunakan lokal konten, mengikutsertakan peran serta usaha kecil menengah di Indonesia dapat menjadi landasan filosofi pekerjaan bagi mereka di LPI. Karena keberpihakan negara pada perkembangan industri konstruksi infrastruktur sangat dibutuhkan,”bebernya.

Pria yang akrab disampa Ale ini melanjutkan, jika investasi luar negeri masuk, yang dibutuhkan adalah bagaimana investasi luar negeri tadi mampu memberikan nilai tambah bagi pembangunan dan pengelolaan infrastruktur.

Sementara itu untuk tantangan, ada beberapa faktor yang menjadi tantangan bagi LPI termasuk political, governance concern, yaitu bagimana dapat meminimalisir risiko pertumbuhan SWF kurang berjalan maksimal.

Kepentingan politik nasional atau kepentingan investor dapat ditunjukkan tetap menuju kepentingan publik. “Untuk Accountability Concern, LPI meminimalisir risiko kebocoran dan penyalahgunaan dana SWF dengan membangun sistem pertanggungjawaban yang prudent dan transparan,”lanjutnya.

Sementara menurut Edwin Syahruzad, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), LPI mempunyai mandat yang sangat mulia untuk mengelola investasi. Kemudian terkait dengan aktifitas investasi dan penyertaan modal merupakan satu hal yang sangat dinanti-nantikan.

Edwin Syahruzad

Karena memang Indonesia secara keseluruhan masih membutuhkan aliran dana strategis, jangka panjang, dan salah satunya yang sangat dibutuhkan adalah terakait SDG’s investment. “Keberadaan LPI sangat strategis untuk bisa memfasilitasi kolaboratif demi upaya kita percepatan pembangunan infrastruktur dan nasional,” ucapnya.

Perbedaan LPI dengan SMI. Karena mandat PT SMI adalah pembiayaan. Awalnya pembiayaan khusus infrastruktur, namun dengan dikeluarkannya PP No.53/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.

Peraturan yang terbit pada 28 September 2020 lalu, memperluas mandat PT SMI, “Dengan adanya perluasan mandat tersebut, PT SMI menjadi salah satu entitas kunci dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk dalam hal ini membantu pemulihan ekonomi daerah dan dukungan untuk melanjutkan pembangunan infastruktur sebagai salah satu kunci pemulihan ekonomi,” jelas Edwin. (yrm/chk)