Prof Dr Hamdi Muluk, MSi

RAN-PE ’Mengikat’ dan Harus Dilaksanakan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pemerintah telah resmi meluncurkan Pelaksanaan Peraturan Presiden Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme atau disingkat Perpres RAN PE sebagai regulasi dan pedoman dalam membangun strategi komprehensif.

Dalam desain ini, pelaksanaa, n Perpres RAN PE ini telah membentuk suatu formulasi pencegahan ekstremisme dengan sistematis terpadu dari tingkat pusat hingga daerah, baik dari pemerintah hingga seluruh lapisan masyarakat.

Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Hamdi Muluk, MSi, mengatakan bahwa dengan adanya pelaksnaan Perpres RAN PE ini diharapkan mampu membangun deteksi dini dan partisipasi publik dalam mencegah penyebaran paham ekstremisme yang mengarah pada kekerasan. Dan juga bagaimana implementasinya yang ideal di berbagai lini dan sektor.

Jadi setelah diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden (Wapres), maka pelaksanaan Perpres RAN PE sudah menjadi sebuah  kebijakan nasional yang harus diimplementasikan. Jadi seluruh elemen negara harus sudah sadar bahwa Peraturan Presiden (Perpres) ini sudah ‘mengikat’ dan harus dilaksanakan,” ujar  Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (25/6/2021).

Lebih lanjut, Hamdi menyebut bahwa seluruh elemen negara baik itu Kementerian dan Lembaga (K/L) harus turut serta untuk berkontribusi dalam melaksanakan RAN PE tersebut sehingga keterlibatannya bisa secara semesta. Termasuk juga dengan pelibatan Organisasi Masyarakat (Ormas), kampus, hingga Civil Society bahkan termasuk kontribusi orang perorangan masyarakat seluruhnya.

“Di sini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator, sebagai ujung tombak di dalam pelksanaan RAN PE ini secara reguler dapat memantau, melihat atau mengingatkan kepada K/L terkait supaya RAN PE bisa diimplementasikan,” tutur mantan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Koropsi (Pansel Capim KPK) periode 2019-2023.

Yang pasti menurut Hamdi Muluk, kontribusi dari K/L terkait tentunya disesuaikan dengan bidangnya. Dirinya memberikan contoh  misanya lagi Kemenerian Koperasi UMKM jika nanti ada penempatan penempatan pembinaan napiter atau mantan napiter, maka  mungkin porsinya membantu dalam bantuan pengembangan industri kecil dan munkin juga pelatihannya.

“Lalu misalnya Kemenkominfo yang mungkin costnya agak besar dia terlibat dalam menata seluruh misalnya yang berbau online radikalisation. Misalnya bagaimana disainnya untuk menangkal situs-situs yang radikal,  memonitornya, membersihkannya,  merapikan dan seterusnya. Bisa dikatakan penangkalnya seperti apa dan bagaimana,  dengan menyajikan informasi-informasi yang anti radikal itu,” ujarnya mencontohkan.

Oleh sebab itu, dirinya menyebut bahwa setiap K/L nantinya bisa juga menyetor nama untuk menugaskan sejumlah orang untuk menindaklanjuti RAN PE tersebut. Termasuk juga penganggaran, jenis aktivitas yang harus disesuaikan oleh K/L masing-masing. Dirinya juga berpesan agar BNPT betul-betul untuk memonitor K/L terkait dalam pelaksanannya tersebut.

“Jangan sampai yang sudah dicanangkan oleh Wapresi ini sebagai formalitas bernegara saja, lalu berhenti disitu saja. Misalnya Kementerian Pertanian belum punya ide, mungkin BNPT bisa menyodorkan semacam ide awal, misalnya kalau Kementerian Pertanian mau berkontribusi paling pas misalnya bisa menyediakan pelatihan-pelatihan untuk bertani supaya mantan-mantan napi terorisme itu bisa produktif. Kalau seperti itu tentunya bisa lebih konkrit,” jelasnya.

Dirinya melihat keberadaan Perpres RAN PE sudah cukup lengkap jika dilihat lampirannya yang di-brakedown untuk tanggung jawab di masing-masing sektor. Selain memonitor pelaksanaan yang dilakukan K/L terkait, BNPT juga harus memonitor pelaksanaan RAN PE ini yang dilaksanakan oleh non-governance seperti civil society ataupun masyarakat.

“Selain memonitor pelaksanaan di sektor pemerintahan, pelaksanaan yang non governance  atau masyarakat juga harus dipisah, harus ada koordinatornya yang melakukan monitoring. Misalnya sudah berapa banyak NGO yang sudah melakukan inisiatif dalam rangka RAN PE ini. Harus selalu memonitor dan mensinkronkan rancangan-rancangan RAN PE tersebut. Artinya jangan sampai RAN PE cuma manis di Perpres, sementara yang dibawahnya tidak jalan,” tuturnya.

Selain itu, pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 itu juga menyampaikan pentingnya sosialisasi ke masyarakat agar clear bahwa RAN PE ini tidak bermaksud mendiskriminasikan golongan tertentu, agama tertentu, maupun kelompok-kelompok tertentu. Bahwa keberadaan RAN PE ini dalam rangka mencegah penularan ide-ide yang ekstrem, radikal, dan kekerasan.

“Kita tidak bicara agama tertentu di sini, suku tertentu atau kelompok politik tertentu. Semua bisa saja terpapar dengan ideologi radikal kekerasan yang mengarah ke tindakan tindakan teror. Jadi RAN PE ini harus diyakinkan kepada seluruh masyarakat. Tentu dukungan dari tokoh-tokoh, bisa juga influencer atau orang-orang yang bisa memberikan pencerahan kepada umat itu tetap kita perlukan,” terangnya.

Pria yang juga Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menyebut bahwa jangan sampai terjadi kontraproduktif dimana tokoh-tokoh yang berpengaruh malah mengatakan RAN PE  berbahaya. Menurutnya, perlu komunikasi politik publik untuk meluruskan isu yang berkembang di masyarakat.

“Dengan hadinya RAN PE ini isu yang mendesak juga harus segera dibereskan, misalnya online radicalisation. Karena aktor-aktor yang melakukan radikalisais di banyak platform media online ini kan militan dan tidak kenal waktu. Ini menjadi PR besar yang harus dipikirkan bersama-sama,” ucapnya.

Hamdi menyampaikan bahwa meskipun dengan keterbatasan anggaran yang ada sekarang karena adanya pandemi Covid-19,  pelaksanaan RAN PE ini harus bisa dimaksimalkan misalnya dengan memilih sasaran strategis yang lebih didahulukan, kemudian efisiensi. Dirinya pun memberikan masukan yang salah satunya dengan memanfaatkan teknologi digital.

“Dengan situasi masa pandemi Covid-19 ini tentunya kita bisa memanfaatkan teknologi digital. Karena kelompok-kelompok (radikal) itu juga memanfaatkan teknologi digital, bermain secara online. Maka di zaman era digital ini yang dibutuhkan yaitu kreativitas. Intinya  kita ini  jangan sampai kalah kreatif sama kelompok-kelompok mereka  itu,” kata Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universita Indonesia ini mengakhiri.