Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. (Ist)

Kasus Pulau Sangihe, Menteri ESDM “Tampar” Wajah Presiden di COP26 Glasgow

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Joko Widodo menghadiri sejumlah forum internasional pada Oktober dan November 2021. Dua di antaranya berkaitan dengan isu perubahan iklim, yakni KTT G20 Roma, Italia dan KTT Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia. Indonesia juga menjadi inisiator untuk deklarasi negara kepulauan dan pulau kecil dalam forum COP26 Glasgow.

“Tapi kok, apa yang kita lihat di sini sama sekali berbeda. Menteri ESDM memberikan izin penambangan di separuh dari Pulau Sangihe. Tambang mas itu akan menghancurkan Pulau Sangihe, lantas apa yang dibicarakan di COP26 Glasgow. Ini kan sama saja menteri menampar wajah Presiden di forum internasional. Bahkan didaulat menyampaikan pengantar deklarasi. Mungkin orang tersinggung kalau begini, tapi kan kenyataannya begitu,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina di Jakarta, Sabtu (30/10/2021).

Menurut Engelina, dia tidak yakin Presiden Joko Widodo mengetahui kebijakan Menteri ESDM yang mengizinkan penambangan mas di separuh Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Apalagi, kata Engelina, Indonesia membuktikan perlindungan terhadap pulau kecil melalui UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Dari kriteria UU itu sangat jelas Pulau Sangihe itu merupakan pulau kecil, yang oleh UU juga dilarang adanya penambangan mineral. Memang ada penambangan yang tidak merusak lingkungan dan yang tidak merugikan rakyat sekitar? Tapi sekelas menteri tidak paham yang begini kan bahaya,” jelas Engelina yang juga keturunan dari Pulau Sangihe ini.

Sebenarnya, kata Engelina, menteri yang mengurus dampak lingkungan, pulau kecil dan pesisir, serta yang mengeluarkan tambang memberikan informasi yang benar kepada Presiden Joko Widodo, sehingga Presiden jangan dibiarkan memperjuangkan nasib pulau kecil, tapi menterinya berbuat sebaliknya.

“Apakah ini bukan sama saja menjerumuskan pimpinan? Mereka mau hancurkan pulau kecil, tapi hadir di forum internasional memperjuangkan perlindungan pulau kecil, omong kosong macam apa ini?” tegas mantan anggota MPR/DPR RI ini.

Menurutnya, kesan yang bisa ditangkap, apa yang diinginkan dan dilakukan adalah dua hal berbeda. Di satu sisi, melindungi pulau kecil menjadi slogan heroik, tapi di satu sisi eksploitasi pulau kecil seolah menjadi hal yang terpisah. “Jadi, buktikan dulu lindungi Pulau Sangihe, kalau tidak COP26 itu tidak jelas komitmen untuk lindungi pulau kecil,” katanya.

Dia menjelaskan, tidak mau terjebak dalam tataran prosedur boleh tidaknya penambangan, tetapi yang nyata Pulau Sangihe itu sangat kecil dan memiliki gunung api aktif. Artinya, bencana alam selalu mengintai sewaktu-waktu dan rakyat di Sangihe yang akan menanggung semua itu, bukan pejabat atau penambang.

“Saya kira, tidak ada jalan lain, kecuali membatalkan izin pertambangan. Tidak boleh atas nama investor, kemudian mengorbankan rakyat yang sudah bermukim di pulau itu secara turun-temurun,” katanya.

Kalau dari referensi yang ada, Sulawesi itu sudah dihuni puluhan ribu tahun silam, termasuk Pulau Sangihe merupakan pulau yang tua, sehingga sangat heran kalau merusak begitu saja hanya demi investor. “Penguasa itu hanya miliki masa jabatan lima tahun atau 10 tahun, jangan sombong menentukan nasib anak cucu dan generasi mendatang. Apakah mereka pikir, bagaimana generasi mendatang memenuhi pangan, memulihkan lingkungan dan sebagainya,” ujar Engelina.

Berbagai informasi dari Sangihe, kata Engelina, ada banyak penyimpangan yang terjadi tetapi seolah dibiarkan saja. Seharusnya, mengambil posisi yang tepat dan melindungi rakyat itu yang utama, bukan sebaliknya.

“Ingat baik-baik, pesan pasal 33 UUD 1945, sangat jelas, semua sumber daya alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai sumber daya alam menjadikan rakyat sebagai korban,” tegasnya.

Engelina menyayangkan karena sebenarnya, masyarakat sudah menyampaikan penolakan dengan berbagai cara, termasuk demontrasi, unjuk perasaan, menolak dan berbagai cara, tetapi seolah tidak ada yang dengar.

“Kok kepentingan pemodal seolah bisa mengatur segalanya. Pemerintah, negara tidak boleh merampas tempat hidup rakyatnya,” kata Engelina.

Namun, Engelina yakin, Presiden dan banyak tokoh di Indonesia bisa memahami apa yang sebenarnya diinginkan rakyat Sangihe. Dia menambahkan, ada banyak cara untuk meraih pemasukan daripada merusak pulau kecil.

“Kelola saja ikan di laut yang benar, maka mungkin lebih dai cukup untuk bisa sejahtera. Mengapa harus merusak ruang lingkup kehidupan,” katanya.