Joko Tjandra

Advokat Itu Penegak Hukum

Loading

Di tengah mempertahankan hidup dan kesehatan 267 juta penduduk Indonesia sekaligus memutus penyebaran pandemik corona virus disease 2019 (covid-19) kita dikejutkan masalah pelik, seorang buronan dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak tahun 2009 yang lari ke luar negeri ternyata sudah tiga bulan di Indonesia.

Wajar kalau sampai Jaksa Agung Burhanuddin SH, MH menyatakan sakit hati, karena tidak terdeteksi buruan instansinya itu (Joko Tjandra) tidak hanya masuk Indonesia bahkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Menkopolhukam Prof. Mahfud MD tegas telah memerintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk menangkap buronan tersebut, sebab pengajuan PK tidak menunda eksekusi, dan seorang yang mengajukan PK harus hadir sendiri di persidangan dan kalau tidak dihadiri, PK tersebut gugur.

Diakui Humas PN Jaksel, sang DPO mendaftarkan sendiri permohonannya di pengadilan, sebagaimana dikemukakan Advokatnya, benar kliennya mendaftarkan sendiri permohonannya dan mereka bertemu di sana.

Merasa tidak nyaman Menkumham Prof. Dr. Yasonna Laoly mengklairifikasi nama Joko Candra tidak ada masuk ke Indonesia dari luar negeri, tanpa dijelaskan juga dalam daftar Interpol nama itu sejak tahun 2014. Sehingga tidak ada dalam daftar di imigrasi.

Kejaksaan Agung merasa kecolongan, pemeriksaan Imigrasi tidak dilewati, namun PN Jaksel menerima pendaftarannya, apakah PN Jaksel tidak tahu ada yang telah dihukum MA belum dieksekusi? Apakah MA dan PT serta PN tidak mempunyai system pengawasan yang terintegrasi tentang perkara-perkara yang telah ditangani sudah dieksekusi atau belum?

Putusan Majelis Hakim di satu PN harus dihormati seluruh PN di Indonesia apalagi ini putusan MA baik Kasasi maupun PK yang menghukum seseorang sudah sepantasnya menjadi perhatian PN Jaksel, tidak ujuk-ujuk merasa terlepas dari bertanggungjawab dari putusan lembaga peradilan lain yang tidak tereksekusi, apalagi ini telah menjadi seorang buronan.

Kasus ini hendaknya menjadi cambuk bagi semua pihak untuk berbenah diri, dan merasa sakit hati seperti Jaksa Agung Burhanuddin, membenahi instansi masing-masing sekaligus bersinergi dengan instansi lain terutama sesama penegak hukum.

Kalau Kapolri Jenderal Drs. Idham Azis MSi beberapa waktu lalu menegaskan, Negara tidak boleh kalah sama preman, perlu semua aparat penegak hukum juga harus tegas, bahwa Negara tidak boleh dipermainkan koruptor, termasuk Advokat harus malu dibilang “maju tak gentar membela yang bayar”.

Judul di atas “Advokat Itu Penegak Hukum”, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menentukan : Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Penjelasannya ayat (1): Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Sengaja dikemukakan, sebab menjadi diskusi hangat dan pertanyaan : apakah advokat bisa dianggap sebagai menyembunyikan atau turut menyembunyikan seorang DPO? Jika diperiksa Penyidik, dapatkah menolak dengan alasan hak imunitas advokat? Bagaimana dengan pengacaranya bisakah kena Pasal 21 Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)?

Menjawab pertanyaan tersebut di atas, tidak mudah. Sebab baru ada dua kasus Advokat diperkarakan karena dianggap menghalang-halangi penegakan hukum, apakah tidak melaporkan seorang DPO juga demikian, belum pernah terjadi. Namun kalau penekanannya Advokat sebagai penegak hukum, tentu bisa multi tafsir.

Advokat memang memiliki hak imunitas tetapi dalam mengeluarkan pendapat dan pernyataan di sidang pengadilan dalam rangka membela kepentingan hukum klien yang menjadi tanggung jawabnya(Pasal 14 dan Pasal 15 UU Advokat) degnan syarat sesuai dengan Kode Etik Advokat Jo. Pasal 7 huruf (g) ini juga ada syaratnya harus dikemukakan secara proporsional dan tidak berlebihan.

Jadi tidak ada bisa ditafsirkan menyangkut klien yang buron. Bahkan kepada Advokat dibebankan kewajiban sebagaimana Pasal 4 huruf (g) KEAI: Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya. Tentu berbeda seorang yang mengajukan seperti narapidana yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan seorang DPO.

Bahwa Pasal 21 KEAI menentukan semua advokat Indonesia harus tunduk pada KEAI, namun diberlakukannya KEAI harus melalui proses adanya pengaduan tertulis yang merasa dirugikan akibat dugaan pelanggaran kode etik oleh advokat sebagaimana diatur Pasal 11 yaitu : Klien, Teman sejawat, Pejabat Pemerintah, Anggota masyarakat, untuk kepentingan organisasi DPC dan DPN.

Tetapi yang bisa diadukan secara tertulis hanyalah yang menyangkut dugaan pelanggaran Kode Etik Advokat, persoalannya apakah tidak melaporkan seorang DPO lebih dominan masalah kode etik atau pelanggaran hukum dan apakah ada yang merasa dirugikan, masih tanda tanya.

Dari kejadian yang “memalukan” ini sudah mendesak dibenahi berbagai peraturan serta pensinergian aparat, termasuk Advokat yang seolah “anak tiri” dan jangan dibiarkan “liar” bagaikan anak ayam kehilangan induk, sebab sekarang mungkin ada sekitar 30-an organisasi advokat.

Kehadiran Menkopolhukan Prof. Mahfud MD yang tahu dari dekat apa dan siapa advokat dan organisasi Advokat sudah mendesak dibenahi sebab akan merugikan pencari keadilan apabila tidak ada yang melakukan pengawaan serta menegakkan Kode Etik. (Bch)