JAKARTA (Independensi.com) – Sidang kasus dugaan tindak pidana pemalsuan surat atas nama terdakwa Jaya mantan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) DKI Jakarta dalam perkara Nomor 545/Pid.B/2022/PN Jkt.Pst sudah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak dua pekan lalu.
Jaksa penuntut umum Andri Saputra pun sudah membacakan surat dakwaan yang pada prinsipnya mendakwa terdakwa telah melanggar pasal 263 KUHP ayat (1) KUHP dan Pasal 263 KUHP ayat (2) KUHP. Atau terdakwa dianggap telah membuat surat palsu dengan menerbitkan Surat Keputusan Kakanwil BPN DKI Jakarta tentang pembatalan sertifikat tanah. Atas dakwaan itu penasihat hukum terdakwa dari Kantor Hukum Erlangga Lubai juga sudah mengajukan eksepsi.
Apa pendapat dari pakar atau ahli hukum pidana terhadap tindakan terdakwa tersebut. Berikut petikan wawancara Independensi.com dengan pakar hukum pidana, dosen sekaligus Direktur Pascasarjana Universitas Mathla’ul Anwar Banten Dr H Suhardi Somomoeljono, SH, MH, Rabu (12/10/202)
Terdakwa dalam kedudukannya selaku Kakanwil BPN DKI telah membatalkan sertifikat yang sah. Apakah tindakan terdakwa bisa dibenarkan misalnya juga dengan alasan adanya dugaan unsur cacat administrasi?
Sepanjang terdakwa dalam kedudukannya selaku Pejabat Negara yaitu Kakanwil BPN DKI pada saat itu dan perbuatan membatalkan sertifikat yang dianggap memiliki unsur Cacat Administrasi memiliki dasar hukum atau landasan hukum yang pada tahun 2019 mengacu pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN). Sehingga Terdakwa, memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan berupa pembatalan suatu sertifikat yang sah.
Bahkan bukan hanya terdakwa yang dalam kapasitasnya selaku Kakanwil BPN DKI. Namun berdasarkan Permen ATR/BPN tersebut, seluruh Kakanwil BPN di seluruh Provinsi di Indonesia juga boleh melakukan pembatalan atas sertifikat tanah yang terbukti memiliki Cacat Administrasi, kewenangan tersebut juga dimiliki Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sepanjang ada pihak yang mengadu dan dirugikan atas terbitnya suatu sertifikat tanah.
Apakah perbuatan membatalkan sertifikat tanah yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut, termasuk wilayah hukum yang menjadi wewenang dari hukum pidana?
Jika dalam kenyataannya pada saat proses berlangsungnya penelitian, pemeriksaan atas adanya indikasi terjadinya cacat prosedur atau cacat administrasi terdapat kesalahan yang dilakukan terdakwa selaku Kakanwil BPN DKI. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 68 ayat (3) Permen ATR/BPN yang menyatakan bahwa setiap kesalahan dalam proses penyelesaian kasus pertanahan akibat kelalaian pegawai atau pejabat BPN, maka kesalahan tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran administratif yang dapat dikenakan sanksi administratif.
Lebih jauh Permen ATR/BPN secara hukum termasuk keluarga atau klasifikasi (genus) hukum administrasi negara, bukan hukum pidana. Sehingga sebagai suatu sistem, hukum administrasi negara itu memiliki forum tersendiri. Apabila terdapat suatu pelanggaran atas prosedur, misalnya syarat untuk memutuskan adanya unsur cacat administrasi tidak terpenuhi, sehingga terjadilah kesalahan dalam melaksanakan tugas negara dan hukumannya secara sistemik merupakan hukuman administrasi, misal dipecat dari jabatannya, dan lain-lain. Sehingga forumnya bukan diadili oleh pengadilan pidana (criminal justice sistem) berupa dengan penjatuhan sanksi hukuman pidana (penjara, denda, kurungan, dll.).
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Permen ATR/BPN yang menyatakan bahwa BPN bertanggung jawab atas segala akibat yang terjadi karena perbuatan hukum oleh pegawai atau pejabat BPN dalam melaksanakan Permen ATR/BPN. Karena BPN meyakini bahwa kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat BPN merupakan pelanggaran administrasi yang sanksinya juga bersifat administrasi.
Agar masyarakat pada umumnya tidak bingung, dapatkah dijelaskan mengenai perbedaan antara forum pengadilan pidana dan forum administrasi negara, dalam hal perbuatan yang menjadi obyek permasalahan adalah sama yaitu berupa pembatalan sertifikat. Apakah sertifikat dapat dibatalkan baik melalui forum hukum pidana, maupun dalam forum hukum administrasi negara?
Sertifikat atas tanah itu dapat dibatalkan dalam dua kategori hukum, yaitu dengan alasan adanya (i) unsur Cacat Administrasi, dimana proses pembatalan sertifikat tanah akan menjadi wewenang bagi pihak Eksekutif (misal: Kakanwil BPN/Menteri BPN), dan (ii) unsur Perbuatan Melawan Hukum, dimana proses pembatalan sertifikat tanah didasari oleh putusan pengadilan sebagai lembaga yudikatif (baik Perdata/Pidana). Jika kedua jenis hukum tersebut dibenturkan kewenangannya, akan sangat membahayakan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri, yaitu perlunya kepastian hukum, kemanfaatan hukum, keadilan.
Menurut anda apakah ada semacam saran atau solusi yang terbaik, untuk perlindungan bagi para pencari keadilan maupun bagi Pejabat Negara itu sendiri?
Dapat dibayangkan, sekiranya mungkin sampai saat ini, sudah terdapat berapa puluh ribu sertifikat tanah yang sudah dibatalkan dengan alasan cacat administrasi oleh Kakanwil BPN secara nasional. Dan apabila terdapat preseden bahwa perbuatan membatalkan sertifikat dengan alasan cacat administrasi, dapat dilaporkan sebagai perbuatan pidana, maka tidak menutup kemungkinan, akan terjadi tsunami perkara pidana, karena orang akan merasa adanya peluang, untuk memidanakan Pejabat Negara yang telah membatalkan sertifikat atas tanahnya, dengan alasan administrasi. Untuk itu sebaiknya, kita semua dapat tetap taat pada asas-asas dan mekanisme sistem hukum sebagaimana diuraikan di atas.(muj)