Kasus Mafia Tanah, Kejati Yogyakarta Tahan Dirut PT Deztama Putri Sentosa

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta tahan Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa (DPS) yaitu RS setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan mafia tanah yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi terkait penyimpangan pemanfaatan tanah Kas Desa Caturtunggal, Kabupaten Sleman seluas 16.215 M2.

Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta Ponco Hartanto mengatakan tersangka RS ditahan selama 20 hari terhitung sejak 14 April hingga 3 Mei 2023 berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kajati DI Yogyakarta Nomor: TAP- 02/M.4/Fd.1/04/2023.

“Penahanan terhadap tersangka RS di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta (Lapas Wirogunan) adalah dalam rangka mempercepat proses penyidikan,” tutur Ponco kepada wartawan, Jumat (14/04/2023).

Ponco menyebutkan pihaknya menetapkan RS sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Kajati DI Yogyakarta Nomor: TAP- 02/M.4/Fd.1/04/2023 tanggal 14 April 2023, setelah tim penyidik mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Adapun modusnya, ungkap dia, yaitu PT DPS pada 11 Desember 2015 awalnya mengajukan proposal permohonan sewa tanah kas Desa Caturtunggal seluas 5.000 M2 untuk area singgah hijau dengan peruntukkan berupa area kawasan yang strategis.

“Selain didukung dengan fasilitas publik seperti kebun hidroponik, area hijau dengan tanaman produktif, sistem pengolahan limbah mandiri, area olahraga, area kuliner sehat dan area niaga sayuran organik,” ujarnya.

Atas permohonan tersebut Gubernur DIY kemudian menyetujuinya melalui Surat Keputusan Nomor 43/1Z/2016 tanggal 7 Oktober 2016 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Caturtunggal untuk menyewakan tanah kas desa seluas 5.000 M2 kepada PT DPS.

Persetujuan Gubernur DIY tersebut keluar setelah permohonan PT DPS untuk menyewa Tanah Kas Desa mendapat persetujuan dari Kepala Desa, BPD serta rekomendasi dari Kecamatan, Kabupaten dan Dispetaru Provinsi.

                                                                                          Belum Ada Izin Gubernur

Kemudian, ucap Ponco, PT DPS pada 1 Oktober 2020 kembali mengajukan proposal permohonan sewa tanah Kas Desa Caturtunggal seluas 11.215 M2 untuk keperluan area singgah hijau “Ambarukmo Green Hills” yang hingga kini belum mendapatkan izin pemanfaatan lahan dari Gubernur DIY.

Terhadap tanah-tanah Kas Desa yang disewanya kemudian pada tahun 2020 oleh PT DPS mulai dibangun. Yaitu untuk tanah seluas 5.000 M2 dibangun pemukiman dengan bangunan permanen yang tidak sesuai proposal awal serta mengalihkan kepada pihak ketiga dengan cara disewakan.

“Sehingga tidak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta yang antara lain mengatur masalah pertahanan, Peraturan Daerah Istimewa DI Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, serta Peraturan Gubernur DI Yogyakarta Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa,” ujarnya

Begitupun, kata dia, untuk lahan seluas 11.215 M2 yang belum mendapat izin pemanfaatan lahan dari Gubernur DIY ternyata oleh PT DPS dibangun untuk pemukiman dan menyewakannya kepada pihak ketiga.

“PT DPS juga tidak bayar uang sewa, membangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (HO) dan Izin Pengeringan Lahan dikarenakan merupakan tanah pertanian,” ungkapnya.

Selain itu, kata Ponco, PT DPS tidak melakukan pembayaran pensertifikatan tanah Kas Desa yang seharusnya dari pembayaran tersebut menjadi pendapatan negara atau Pemerintahan Desa Caturtunggal.

“Akibat perbuatan dari tersangka RS selaku Direktur Utama PT DPS diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,467 miliar,” tuturnya seraya menyebutkan tersangka RS dalam kasus ini disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan jo.

Ponco menyebutkan kasus yang disidik pihaknya merupakan Direktif Prioritas Presiden dan pelaksanaan dari perintah atau Instruksi Jaksa Agung untuk pemberantasan mafia tanah yang tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Mafia Tanah.(muj).