Anggota DPR-RI, Dr. Ribka Tjiptaning Proletariat. (ist)

Dr. Tjiptaning Tegaskan Kembali Sanksi Bagi RS yang Menolak Pasien Dalam RUU Kesehatan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pro Kontra RUU Kesehatan Omnibus Law masih terus berlangsung. Anggota DPR-RI, Dr. Ribka Tjiptaning Proletariat menegaskan agar pasal sanksi pada rumah sakit yang menolak pasien di UGD (Unit Gawat Darurat) yang sudah ada dalam UU No 36/2009 Tentang Kesehatan tetap masuk dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Hal ini ditegaskannya, di Jakarta, Jumat (7/7/2023).

“Pasal sanksi pada rumah sakit adalah untuk memasrikan keselamatan pasien yang datang ke UGD rumah sakit dan kaitannya demgantanggang jawab rumah sakit. Pasal ini sudah tercantum dalam UU No 36/2009 Tentang Kesehatan. Ada upaya pasal ini dihapus,” ujarnya.

Mantan Ketua Komisi IX DPR-RI ini menyebutkan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”

Bagi rumah sakit yang melakukan penolakan pasien dalam keadaan darurat maka disebutkan:

Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

“Pasal ini memastikan negara ikut bertanggung jawab melayani rakyat yang menjadi pasien yang membutuhkan peryolongan darurat di rumah sakit. Jangan sampai tidak tercantum,” ujarnya.

Sekarang saja menurutnya walaupun sudah ada sanksi yang tegas dalam UU No 36/2009 Tentang Kesehatan tetap saja masih banyak keluhan penolakan pasien dengan berbagai alasan dan modus namun tidak terekspos, namun laporan tetap masuk ke kami di DPR. Ada upaya menghilamgkan sanksi tersebut dalam RUU Kesehatan yang baru ini,” ujarnya.

Tjiptaning menyebutkan berbagai alasan rumah sakit menolak pasien seperti kekurangan bed, dokter dan peralatan selalu menjadi alasan penolakan pasien di UGD dan membuat repot pasien dan bisa berakibat fatal.

“Apalagi kalau pasien BPJS, semua rumah sakit pada kompak menolak pasien, BPJS,” paparnya.

Menurutnya UU Kesehatan yang sedang digodok DPR saat ini harus membawa perubahan mendasar bagi masyarakat secara nyata. Namun dirinya tidak menepis ada banyak kepentingan bisnis kesehatan dalam dan luar negeri yang menunggangi kelahiran undang-undang tersebut.

“Yang paling mendasar adalah kepentingan seluruh 270 juta rakyat Indonesia. Jangan bebani rakyat dengan iuran BPJS Kesehatan. Seluruh rakyat berhak berobat dikelas 3 sampai sembuh atas biaya negara lewat APBN,” tegasnya.

“Yang kedua adalah memastikan sanksi dan pidana bagi rumah sakit dan petugas yang menolak pasien di seluruh rumah sakit.

Kedua kepentingan rakyat itu menurut Tjiptaning yang paling mendasar karena bersangkutan dengam keselamatan jiwa rakyat yang menjadi pasien yang membutuhkan perlindungan negara.

“Ini perintah tercantum dalam Pancasila dan UUD 45 yang asli. Jika UU tanpa kepastian keselamatan rakyat berarti menginjak-injak Pancasila dan UUD’45. Artinya memusuhi rakyat,” tegasnya. (*)

One comment

Comments are closed.