Baliologi dan Kebudayaan Bali

Loading

Oleh Budayawan, Drs. Putu Suasta, M.A

Bali (Independensi.com) – Pada Bulan Mei 1984 Mendikbud Nugroho Notosusanto telah meresmikan berdirinya Baliologi, suatu kajian yang sederajat dengan Javanologi, Sundanologi, Galigologi, Melayulogi serta kajian dari suku bangsa yang lain yang didirikan kemudian. Keseluruhan badan-badan kajian ini berada dibawah payung Indonesialogi. Studi tentang kebudayaan Bali ini tidaklah merupakan satu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan satu bagian dari usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara menyeluruh. Dengan perkataan lain, “Proyek” Baliologi ini diadakan terutama untuk melayani keperluan pendidikan, pemahaman terhadap Pancasila, Nusantara dan Bhinneka Tunggal Ika. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pendidikan pasti memerlukan perangkat nilai tertentu sebagai mediumnya disamping metode dan perlengkapan software dan hardware yang khas diperlukan untuk itu. Begitu halnya kebudayaan merupakan perangkat nilai.


Tata bangunan Bali jaman dahulu dengan Asta Kosala Kosali (sumber : www.kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Namun yang jelas, nilai-nilai yang kita butuhkan sebagai medium pendidikan dan kebudayaan itu harus kita gali dari khasanah kebudayaan kita sendiri, dari bumi kita sendiri di antaranya yang diakui sebagai kebudayaan Bali. Dengan demikian penelitian, pemikiran dan pengembangan Baliologi tidak hanya bergerak di bidang kebudayaan, tetapi juga di bidang pendidikan dalam kaitan fungsional timbal-balik antara kedua bidang tersebut. Sedangkan bila kita berbicara kebudayaan, kita pasti akan menyinggung unsur-unsur ruang dan waktu serta kesejarahan (masa lampau, masa kini dan masa akan datang), interpretasi, evolusi, kreasi dan norma-norma (pengembangan kualitas manusia).

Mengingat ruang lingkup kerja yang jangkauannya sangat luas dengan téma kerja yang sangat mendasar dan menentukan, sepatutnya kita semua merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi secara aktif menggali dan mengembangkan Kebudayaan Bali. Ada pun pretensi partisipasi itu tidaklah ditentukan oleh jabatan resmi, oleh kedudukan politik atau pun oleh garis keturunan, akan tetapi didasarkan atas sifat intelektulitas dan kemampuan untuk berbuat sesuatu. Sifat intelektualitas ini diperoleh dari kebiasaan merenungkan sesuatu secara mendalam, kebiasaan menggunakan penalaran dan kebiasaan mengenalkan akal dengan ilmu pengetahuan.

Baliologi berarti ilmu tentang kebudayaan Bali. Itu berarti secara sadar ilmu pengetahuan dilibatkan dalam usaha untuk menggali, mempelajari memahami dan menilai sistem tata nilai yang dirumuskan dan dihayati oleh nenek moyang kita dahulu di Bali. Kita gunakan ilmu pengetahuan dengan segala metode dan cara kerjanya yang spesifik, untuk melacak masa lalu yang pernah ada dan hidup di Bali, demi memperoleh nilai pijakan yang kokoh guna melompat ke masa depan. Dalam melakukan kegiatan intelektual, mánusia mengalami keraguan untuk menilai kemampuannya karena adanya keterbatasan ‘alamiah untuk mengetahui tentang sesuatu’. Namun di sisi lain berkat kemampuan intelektual untuk mengetahui itulah, manusia menilai secara kritis situasi pengetahuannya sendiri. Berdasarkan kesadaran yang kritis ini, kiranya pantas dikatakan adanya kemajuan ilmu pengetahuan. Pengakuan kemajuan ini didasarkan pada norma yang kokoh yang terkandung dalam kemampuan untuk mengetahui itu sendiri.

Kemajuan itu tampil dalam dua arah: terhadap masa lampau dan masa depan. Artinya, di satu pihak, ilmu pengetahuan dewasa ini mampu memahami hal-hal yang dahulu tidak dimengerti sehingga ada kemajuan dibandingkan dengan masa lampau. Di lain pihak, cukup banyak hal yang dewasa ini tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, tetapi selalu ada kemungkinan berkembang maju di masa depan begitu rupa sehingga mampu memahami hal-hal tersebut. Jadi, sesuai dengan hukum kemajuan, melibatkan ilmu pengetahuan dalam mengkaji kebudayaan Bali adalah tindakan yang tepat.

“Dalam masyarakat modern, peranan ilmu pengetahuan menjadi semakin penting dari sistem budaya masyarakat. Karena semakin modern suatu masyarakat, maka semakin berkembang pula perangkat simbol-simbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan sebagai bagian dari sistem budaya yang bersangkutan. Dengan demikian sangatlah tepat melibatkan ilmu pengetahuan dalam mengkaji kebudayaan Bali, asalkan pelibatannya itu secara holistik dan penggunaannya secara interdisipliner. Melibatkan ilmu pengetahuan secara holistik berarti menerapkannya sesuai dengan tahap perkembangannya.

Pemedal Pura Kawitan Dalem Sangsi, Bunutin Bangli, salah satu gaya arsitektur Bali (sumber : dok pribadi)
Baliologi dengan sekala prioritas telah ditetapkan dalam keseluruhan studi kebudayaan Bali. Melibatkan ilmu pengetahuan dalam artian masyarakat yang turut berperan mewujudkan Lembaga Baliologi sebagai wadah pergaulan intelektual diatur oleh empat ketentuan yaitu universalisme, komunalisme; disinterestedness dan skeptisisme yang teratur. Universalisme berarti ilmu pengetahuan bebas dari warna kulit, ras, keturunan maupun keyakinan agama. Komunalisme berarti ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan milik masyarakat. Disinterestedness berarti ilmu pengetahuan bukan propaganda. Skeptisisme yang teratur berarti keinginan untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada penalaran dan keteraturan berpikir (Daoed Joesoef : Makalah : 1984:6). Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan yang dilakukan Baliologi demi penggalian dan pemahaman kebudayaan Bali apa adanya dan bukan seperti yang kita kehendaki. Pada tahap perkembangan Lembaga Baliologi saat ini, bahkan mungkin dimasa mendatang, ilmu pengetahuan sebagai proses inilah yang sebaiknya dilibatkan dengan intensitas yang relatif tinggi mengingat perlunya penelitian guna mendapatkan produk yang sesuai dengan yang diharapkan.

Akhirnya, ilmu pengetahuan sebagai produk adalah pengetahuan yang telah diketahui dan diakui oleh masyarakat ilmiah. Jadi dalam dirinya pengetahuan ilmiah terbatas pada pernyataan-pernyataan yang mengandung kemungkinan secara terbuka untuk diteliti, diuji atau pun dibantah oleh seseorang. Produk di sini berupa sistem nilai Bali dalam segala bentuk dan penampilannya, serta berupa nilai yang dianggap penting untuk dilibatkan dalam proses pembudayaan. Selanjutnya, penggunaan ilmu pengetahuan secara interdisipliner diperlukan guna mengimbangi kelemahan dari spesialisasi yang semakin menyempit.

Dalam pengembaraan pikiran manusia ke kejelasan, pengertian yang lebih sempurna dan pemahaman yang lebih mendalam, muncul kejadian yang sangat menentukan dalam abad ini yaitu kesadaran tentang kesulitan untuk merumuskan suatu aksiomatika yang menyeluruh. Usaha ilmiah selalu merupakan kerja yang serius, perhatian yang semakin besar, terus-menerus meminta pemusatan pikiran dan energi secara total seta semakin banyak menyita waktu dan dana. Namun, saying, hasilnya selalu parsial. Sehubungan dengan itu, menurut hemat saya, perlu digalakkan penelitian dan berfikir secara plural dan interdisipliner. Lebih-lebih bagi Baliologi yang jangkauan kebudayaannya begitu jauh, terutama nanti bila ia sudah memasuki tahap perkembangan yang kedua, yaitu saat memilih nilai-nilai yang layak disumbangkan pada proses pendidikan guna dipakai sebagai tujuan maupun sebagai medium. Penelitian dan pemikiran plural dan interdisipliner tersebut memang sangat diperlukan. Cara berfikir plural dan interdisipliner ini mempunyai tiga tahapan yaitu : multidisipliner, krosdisipliner dan transdisipliner.Yang dimaksud dengar multidisipliner adalah apabila beberapa disiplin ilmiah berkumpul membahas satu masalah dengan otoritas yang sama. Yang dimaksud dengan krosdisiplin adalah apabila beberapa disiplin ilmiah berkumpul membahas satu masalah dengan salah satu disiplin bertindak sebagai pemimpin sedangkan yang lainnya bertindak sebagai penunjang. Sedangkan yang dimaksud dengan transdisipliner adalah apabila beberapa disiplin ilmiah lebur menjadi satu disiplin, sedikitnya satu teori baru. Misalnya biologi bersatu dengan kimia menjadi disiplin biokimia!

Salah satu bangunan di sebuah Pura di Kawasan Danau Batur (sumber : dok pribadi)
Dengan demikian cara berfikir interdisipliner dalam mengolah masalah kebudayaan dan kemasyarakatan adalah tepat karena ilmu pengetahuan pada dasarnya menyangkut hubungan antara manusia dengan masyarakat. Dalam hubungan tersebut dipersoalkan pandangan ilmiah dan pertanggungjawaban manusia dan masyarakatnya. Manusia ilmiah bukan hanya sekadar menghormati etika dan cinta kepada sifat-sifat ilmu pengetahuan, tetapi manusia yang terpanggil hati nurani. Manusia dapat saja memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakatnya, tetapi ilmu pengetahuan memlih manusia yang mampu mengantarkan ilmu pengetahuan kepada pemahaman manusia dan masyarakat secara utuh. Manusia intelek yang berfikir kritik dan bebas merupakan suatu panggilan yang datang dari dalam diri dan hati manusia sendiri.

Seorang ahli matematika dan filosuf Prancis, Henri Poincare pernah mengatakan bahwa dengan intuisi, kita menemukan dan dengan logika kita membuktikan. Jaman dahulu, nenek moyang kita di Bali mungkin merumuskan sistem nilai kebudayaannya yang begitu canggih secara intuitif dan kini Baliologi hendak menguraikan dan membuktikannya secara logika. Mulai sekarang saja sudah dapat dikatakan bahwa usaha itu tidak akan berhasil sepenuhnya. Bukan karena berbagai disiplin ilmiah yang dilibatkannya begitu spesialistik atau penelitian interdisiplinernya sulit dilaksanakan, tetapi semata-mata karena keterbatasan alamiah dari langkah-langkah ilmiah tersebut, yaitu ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya berurusan dengan fakta. Memang nilai atau sistem nilai itu adalah fakta, yang per definisi merupakan obyek yang relevan bagi setiap kajian pembahasan ilmiah. Namun, Baliologi mempunyaï tujuan yang selain sangat mendasar, tetapi juga jelas dan pasti, yaitu mencari azas atau azas-azas yang telah menciptakan fakta-fakta (nilai-nilai) tersebut, yang kiranya dapat dijadikan medium atau tujuan dalam membina manusia Indonesia, termasuk ia menjadi makhluk seutuhnya. Berhubung dengan itu, Baliologi tidak hanya berminat dalam menggali dan menemukan fakta, tetapi juga menaruh minat pada semangat, aspirasi dan peramalan (prophecy) yang dikandung oleh sistem nilai (kebudayaan) Bali. Oleh karena itu, metode kerja yang dipakai oleh tenaga ahli yang dilibatkan oleh Lembaga Baliologi tidak hanya metode ilmiah, tetapi juga metode kontemplatif, metode kesejarahan dan bila perlu menggunakan metode teologikal, memupuk kepekaan kita terhadap misteri dari kenyataan-kenyataan yang ada, Digunakannya metode-metode yang disebut terakhir ini bukan berarti mendorong Baliologi ke arah kebatinan (klenik), namun jauh dari itu. Memang metode kontemplatif; kesejarahan dan teologikal, bukan “ilmiah” berhubung obyek yang dikajinya berbeda atau lain dari obyek-obyek ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, ada baiknya dipertanyakan, apakah lenyapnya kèpekaan terhadap misteri diakibatkan oleh perkembangan ilmiah dalam dirinya dapat dianggap sebagai suatu kemajuan ? Betapa pun tidak ilmiahnya metode kontemplatif, ternyata banyak kebenarannya berupa penemuan-penemuan yang diperoleh melalui intuisi (metode kontemplatif) tetapi dibuktikan kebenarannya itu kemudian secara logika (metode ilmiah). Saya kira, berdasarkan “kenyataan” inilah, kenapa Henri Poincare sampai mengucapkan pernyataan seperti itu (* Penulis adalah alumni UGM dan Cornell University).