Kominfo Ajak Masyarakat Jadi Agen Perubahan Anti Hoaks

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) –Hoaks merupakan berita bohong yang disampaikan pada publik melalui media elektronik yang bermuatan asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan, pencemaran nama baik, kebencian, dan kekerasan yang digunakan untuk mencari kepentingan pribadi. Utamanya, saat ini sedang berlangsung rangkaian atau tahapan pemilihan umum yang informasinya rentan tercemar hoaks.

Oleh Karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) membahas bagaimana menjadi pahlawan di ruang digital agar bebas berita bohong atau hoaks dalam NGOBRAS atau Ngobrol Bareng Legislator dengan tema “Menjadi Pejuang Anti Hoaks di Dunia Digital” pada Senin, 29 Januari 2024.

Dalam Keynote Speechnya H. Subarna ,S.E, M.Si selaku Anggota Komisi I DPR RI, menyampaikan meski tidak ada undang-undang yang secara langsung menyebutkan tentang hoaks, namun di Indonesia penyebaran berita dalam konteks penyiaran sudah diatur dengan konsekuensi pidana yang jelas. Penting diketahui cara mengidentifikasi berita bohong agar dalam masa rentan seperti saat ini, masyarakat mawas terhadap peredaran berita-berita yang tidak menguntungkan.

“Kita harus hati-hati dengan judul provokatif. Karena berita hoaks sering menggunakan judul yang sensasional. Kemudian, cermati alamat website sumber berita,” imbuh Subarna.

Dewan Pers mencatat ada 43 Ribu portal berita yang ada di Indonesa, namun portal resmi yang terverifikasi Dewan Pers hanya kurang dari 300 situs. Karena itu, terdapat puluhan ribu portal berita yang dapat menjadi sumber berita bohong, sehingga masyarakat harus memeriksa fakta dengan cara mencermati apakah portal merupakan terbitan institusi resmi. Masyarakat juga harus dapat membedakan fakta dan opini, serta keaslian foto atau video yang menyertai berita tersebut.

Melengkapi pernyataan Subarna, saat ini kita sudah harus menerapkan langkah menjadi agen perubahan anti hoaks. Dr. Radita Gera Tayibnapis, M.M selaku Ketua Bidang Studi Sains Informatika, UPN Veteran Jakarta, menyatakan saat ini kita memasuki masa era kebenaran atau post truth, yang komponennya diantaranya hoaks, fake news, bias, information twist dan hate speech yang berdampak pada cyber bullying. “Penyebaran konten hoaks membuat masyarakat benci terhadap problem yang memiliki sentimen negatif,” ujar Radita.

Media sosal menjadi sarana penyebaran informasi yang tidak terkontrol termasuk upaya menyebarkan kabar kebohongan untuk melawan pihak rival. Elemen utama hoaks di ruang siber berhubungan dengan agen atau masyarakat yang memproduksi pesan hoaks dan disampaikan pada masyarakat. “Upaya utama motif hoaks menyebarkan atas rasa ketidakpercayaan terhadap sebuah kebenaran dengan motif politik, ekonomi, politisasi terhadap kebencian yang dapat menjadi komoditi atau memiliki nilai jual,” imbuh Radita.

Karena itu, hoaks memiliki dampak terjadinya perpecahan, mengancam keselamatan, dan dapat menurunkan reputasi seseorang seperti yang diungkapkan Tristania Dyah selaku Penggiat Digital. Agar tidak terjebak dalam informasi yang tidak tepat masyarakat harus dapat mengidentifikasi informasi yang diterima dengan membaca berita secara keseluruhan dengan melakukan verifikasi sumber berita dan foto. Tak hanya itu, masyarakat juga harus menjadi penggerak dalam mencegah hoaks tersebar lebih luas. “Masyarakat harus ikut serta dan berperan aktif dalam rangka menghentikan penyebaran hoaks,” tegas Tristania.

Berita hoaks memiliki kecenderungan lebih menarik perhatian dan masyarakat pun menjadi mudah percaya karena umumnya informasi yang berisi kalimat bohong sesuai dengan keinginan pribadi atau opini pribadi. “Jangan mudah percaya dan jadilah pengguna internet yang kritis,” tutup Tristania.