JAKARTA (Independensi.com) – Pemikiran Denny JA tentang “Agama sebagai Warisan Kultural Milik Bersama” kembali mendapat sorotan dalam diskusi akademik yang mendalam di jakarta, Minggu (17/2/2025). Budhy Munawar-Rachman selaku Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP), Universitas Paramadina, menegaskan bahwa gagasan ini tidak hanya menawarkan cara pandang baru dalam memahami agama, tetapi juga berkontribusi strategis terhadap pembangunan berkelanjutan di era modern.
Dalam buku terbaru yang ditulis bersama Ahmad Gaus, berjudul Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI: Agama Sebagai Warisan Budaya Milik Kita Semua, Budhy menguraikan bagaimana teori ini akan menjadi modul kuliah di berbagai kampus. Menurutnya, pemikiran Denny JA memoderasi klaim kebenaran mutlak dalam doktrin keagamaan, dengan menekankan bahwa agama merupakan hasil evolusi budaya yang terus berkembang.
Agama dan Pembangunan Berkelanjutan
Pendekatan Denny JA yang melihat agama sebagai warisan kultural dinilai sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang diusung oleh PBB. Budhy menekankan bahwa agama memiliki potensi besar dalam mendukung program-program pembangunan, terutama dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“SDGs adalah upaya kolektif global untuk menciptakan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis. Dengan memahami agama sebagai bagian dari budaya yang hidup dan berkembang, kita dapat lebih efektif menggerakkan komunitas keagamaan dalam mendukung program-program pembangunan berkelanjutan,” ujar Budhy.
Ia menyoroti bahwa komunitas keagamaan memiliki sejarah panjang dalam menyediakan layanan sosial, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan lingkungan. Dengan pendekatan inklusif seperti yang ditawarkan oleh Denny JA, ajaran moral agama dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Teori Denny JA di Era Globalisasi dan Digitalisasi
Budhy juga menyoroti bagaimana teori Denny JA mampu mengakomodasi perubahan sosial akibat globalisasi dan revolusi digital. Internet dan media sosial telah mengubah cara masyarakat mengakses dan mendiskusikan nilai-nilai keagamaan. Dalam konteks ini, pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif terhadap agama menjadi semakin relevan.
“Agama tidak lagi menjadi sumber eksklusivitas yang membatasi, tetapi justru dapat menjadi jembatan bagi solidaritas sosial yang lebih kuat,” katanya.
Lebih lanjut, Budhy menilai Denny JA berhasil mengembangkan wawasan inklusif dari pemikir seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, dengan menambahkan analisis berbasis data empiris. Ia menegaskan bahwa pemikiran Denny JA bukan sekadar kelanjutan dari pemikiran terdahulu, tetapi merupakan inovasi yang menggabungkan analisis keagamaan dengan kajian opini publik.
“Denny JA bukan hanya meneruskan pemikiran para guru kami, tetapi juga memperluasnya dengan memadukan analisis keagamaan dan kajian empiris berbasis survei. Ini pendekatan yang inovatif dan sangat relevan bagi tantangan zaman,” tambahnya.
Membangun Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan
Budhy menutup refleksinya dengan menekankan bahwa pemahaman agama yang lebih inklusif dan dinamis dapat menjadi pilar dalam menciptakan dunia yang lebih harmonis dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
“Jika kita mampu melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama, maka kita dapat membangun masa depan yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Pemikiran Denny JA ini tidak hanya berpotensi memperkaya wacana akademik, tetapi juga menjadi dasar kebijakan dalam mendorong pembangunan berkelanjutan yang lebih inklusif dan berbasis nilai-nilai spiritual universal.