Petrus Selestinus

Perbuatan MRS Penuhi Unsur Tindak Pidana Terorisme

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Mohammad Rizieq Shibab (MRS) dan Front Pembela Islam (FPI), melalui ujaran kebencian dan hasutan melawan institusi negara, melecehkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) sudah memenuhi unsur tindak pidana terorisme.

“Di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018, mengatur masalah ini,” kata Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus dan pegiat media sosial, Ninoy K Karundeng, Jumat pagi, 11 Desember 2020.

Keduanya menanggapi MRS dan 5 pentolan FPI ditetapkan sebagai tersangka dari Polisi Republik Indonesia (Polri) di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2020. Sebagai tersangka, MRS dan 5 pentolan FPI lainnya, dicegah tangkal atau dicekal ke luar negeri didasarkan permohonan Polri kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia, Senin, 7 Desember 2020.

MRS melarikan diri ke Arab Saudi sejak 27 April 2017, untuk menghindari proses hukum atas 14 laporan masyarakat di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Polisi Daerah Jawa Barat dan Polisi Daerah Bali, di antaranya chat mesum dengan janda bahenol Firza Hussein.

MRS menolak melakukan karantina mandiri 14 hari begitu mendarat di Jakarta, 10 Nopember 2020 sebagai upaya mengurangi penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19). MRS ditersangkakan atas kerumunan ribuan massa di Petamburan, Jakarta dan Megamendung, Kabupaten Bogor, 10 – 20 Nopember 2020. Polisi kemudian memutuskan membuka kembali kasus hukum MRS didasarkan 14 laporan masyarakat periode 2007 – 2020.

Menurut Petrus Selestinus, menurut Ketentuan Umum di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang Terorisme, disebutkan, “Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan serius yang dilakukan dengan menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dengan sengaja, sistematis, dan terencana, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau tidak terseleksi, serta Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup, dan Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dan cenderung tumbuh menjadi bahaya simetrik yang membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, integritas teritorial, perdamaian, kesejahteraan dan keamanan manusia, baik nasional, regional, maupun internasional.”

Dikatakan Petrus Selestinus, “Tindak Pidana Terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi karena memiliki kekhasan yang bersifat klandestin yaitu rahasia, diam-diam, atau gerakan bawah tanah, lintas negara yang didukung oleh pendayagunaan teknologi modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi, dan persenjataan modern sehingga memerlukan kerja sama di tingkat internasional untuk menanggulanginya.”

“Tindak Pidana Terorisme dapat disertai dengan motif ideologi atau motif politik, atau tujuan tertentu serta tujuan lain yang bersifat pribadi, ekonomi, dan radikalisme yang membahayakan ideologi negara dan keamanan negara. Oleh karena itu, Tindak Pidana Terorisme selalu diancam dengan pidana berat oleh hukum pidana dalam yurisdiksi negara.”

“Dengan adanya rangkaian peristiwa yang melibatkan warga negara Indonesia bergabung dengan organisasi tertentu yang radikal dan telah ditetapkan sebagai organisasi atau kelompok teroris, atau organisasi lain yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri, telah menimbulkan ketakutan masyarakat dan berdampak pada kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat.”

Kemenudian, “ketahanan nasional, serta hubungan internasional. Organisasi tertentu yang radikal dan mengarah pada Tindak Pidana Terorisme tersebut merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas yang secara nyata telah menimbulkan terjadinya Tindak Pidana Terorisme yang bersifat masif jika tidak segera diatasi mengancam perdamaian dan keamanan, baik nasional maupun internasional.”

Aksi radikalisme, intolerans, main hakim sendiri setiap kali melakukan razia terhadap tempat hiburan malam, warung makan, ceramah-cemarah provokasi yang menghujat dan melecehkan Negara dilakukan MRS dan FPI, menurut Petrus Selestinus, sudah memenuhi unsur tindak pidana terorisme.

Menurut Petrus, peristiwa baku tembak antara pasukan Laskar Pembela Islam (LPI) yang mengawal MRS dengan aparat Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) ketika melaksanakan penyelidikan di Kilometer 50, Krawang, Jalan Tol Jakarta-Cikampek, 7 Desember 2020, sehingga 6 anggota FPI tewas ditembak karena menyerang penyidik, tidak boleh dilihat sebagai peristiwa yang bersifat insidentil, akibat saling kejar di Jalan, tetapi harus dilihat secara konprehensif dengan rentetan peristiwa lain sebelumnya.

“Sudah menjadi fakta yang notoire feiten, bahwa MRS dan kelompoknya dalam berbagai aktivitas ceramah, diskusi dll. sering menggunakan narasi, diksi atau gambar yang bermuatan menebar kebencian, teror, ancaman kekerasan, pesan kebencian, penistaan agama dll. sebagaimana rekaman videonya beredar secara luas, menimbulkan rasa takut yang meluas, sehingga memenuhi unsur-unsur dalam Tindak Pidana Terorisme,” ungkap Petrus Selestinus.

Menurut Petrus Selestinus, apa yang dilakukan MRS dan kelompoknya harus dilihat secara konprehensif dengan rentetan beberapa peristiwa yang terjadi sejak 2017 hingga insiden berdarah di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Kilometer 50, Krawang Timur, tanggal 7 Desember 2020, sebagai perbuatan berlanjut yang bermotif ideologi atau politik yaitu ingin menjadikan Indonesia Negara Syariah.

Penjelasan resmi oleh Polri dan paparan bukti-bukti hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berhasil diamankan dalam peristiwa 7 Desember 2020, di Kilometer 50 Krawang harus dirangkai sebagai peristiwa pidana terorisme yang berlanjut, karenanya pertanggungjawaban dan mekanisme pertanggungjawabannya-pun tunduk pada instrumen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Instrumen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang Tindak Pidana Terorisme, digunakan karena Terorisme mengandung unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, dll. dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Diungkapkan Petrus Selestinus, unsur ancaman kekerasan didefinisikan sebagai, setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.

Dengan memperhatikan kompleksitas permasalahan yang muncul dan unsur-unsur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka MRS dan kelompoknya dapat dikenakan tindakan kepolisian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), karena selama ini MRS patut diduga sedang melakukan aktivitas bermotif politik, ideologi dan gangguan keamanan dengan cara-cara teror seperti dimaksud dalam undang-undangi.

Dikatakan Petrus Selestinus, dalam pada itu, penjelasan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigjen Awi Setiyono kepada pers, 7 Senin, Desember 2020, mengungkap fakta bagaimana para teroris beroperasi dengan dana yang berasal dari Kotak Amal, yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, digunakan untuk; memberangkatkan anggota ke Suriah, pelatihan militer hingga pembuatan senjata, karenanya ini juga harus dihentikan dan diusut tuntas dengan instrumen UU Terorisme.

Pengiat media sosial, Ninyo K Karundeng, mengatakan, “Kecut. Pasi. Itu reaksi MRS mendengar kabar dia ditetapkan sebagai tersangka. Kini drama penangkapan terhadap dia tengah terjadi. Tegas. Tidak ada kompromi.”

Menurut Ninoy K Karundeng, dua hari lalu, Selasa, 8 Desember 2020, MRS masih begitu alot. Masih melakukan glorifikasi terhadap enam teroris FPI yang tewas di jalan tol. Lantang menyuarakan kebohongan. Tetap berteriak. Membela MRS adalah mati syahid.

Dikatakan Ninoy K Karundeng, pelintiran berita peristiwa penyerangan laskar FPI terus dilakukan. Upaya memutarbalikkan fakta. Nyaris berhasil. Unjuk kekuatan karena dukungan para pembenci Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Fadli Zon dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan kalangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Namun, Polri dengan seluruh bukti yang ada bekerja dalam diam. Upaya penangkapan terhadap Rizieq Shihab tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena dia adalah proxy. Dan, dia memiliki laskar alias pasukan alias tentara. Laskar Khusus FPI. Mereka bahkan berseragam ala para militer. Terlatih seperti video yang mereka sebar.

“Dan, FPI pun dipastikan memiliki banyak senjata. RMS menyebut dia hanya mengembalikan senjata karatan. Dia masih menyimpan senjata sesuai pengakuan dia sendiri. Itu terbukti dengan baku tembak di jalan tol. Mereka bersenjata,” kata Ninoy K Karundeng.

Drama skenario palsu FPI tentang tewasnya 6 teroris yang didor polisi justru membuat publik mendukung penghancuran FPI. Tekanan Komnas HAM dan kalangan kadal gurun atau kadrun (sebuah sebuah bagi kelompok anti Pemerintah dan berperilaku kearab-araban) tidak digubris. Publik pun tidak memberikan simpati. Yang memberikan simpati hanyalah Ikan Buntel dan para kadal gurun.

Nada sumbang dukungan terhadap MRS dari Hidayat Nur Wahid (PKS) dan geng Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak menggema. Teriakan provokasi glorifikasi terhadap teroris tidak membuahkan hasil. Ajakan membentuk tim pencari fakta patah. Narasi penyahidan, yang tewas sahid tidak berkembang.

Justru yang beredar dukungan terhadap Polri – juga TNI. Menggema kekuatan nasionalis. Tidak ada lagi rasa takut terhadap keberadaan FPI. Ini diwujudkan dengan penetapan MRS alias Muhammad Rizieq Shihab sebagai tersangka. Juga pencekalan. Semua berawal dari tindakan tegas Polda Metro Jaya membabat 6 laskar FPI yang menyerang aparat negara.

Diungkapkan Ninoy K Karundeng, publik tahu. MRS tinggal di rumah mewah di Sentul dan Megamendung. Sementara laskarnya disuruh mencicil bayaran seragamnya. Kemewahan MRS hasil berkoar provokasi jualan kebencian antar anak bangsa, antar umat. Tentu juga ada dukungan para proxy kejahatan terhadap Indonesia. Arahnya: penghancuran NKRI.

Data menunjukkan kekuatan MRS tanpa batas. Maka skenario penangkapan disusun rapi oleh Polri. Sabar. Taktis melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) sebagai komponen Tentara Nasional Indonesia (TNI), Detasemen Khusus (Densus) 88, Mabes Polri, selain tentu Polda Metro Jaya.

“Strategi membekuk MRS dilakukan sesuai dengan prosedur. Protap. Halus. Lewat pengacara. Respon lambat pengacara terkait praperadilan dan sebagainya bukan ranah Polri. MRS harus ditangkap,” ujar Ninyo K Karundeng.

“Polri juga cerdas. Polri menghindari martirisasi MRS dan FPI. Skenario hara-kiri Rizieq dengan membentengi diri dengan laskar FPI juga dihitung. Untuk menghindari kampanye hoaks lebih dalam. Sudah dihitung oleh Polri.”

“Nah, kini MRS tengah menghitung hari. Tak ada lagi dalih. Alasan berkelit. Hanya provokasi yang akan terus dia lakukan untuk mengaduk kebencian antar umat. Kebencian terhadap Negara dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Maka langkah polisi menegakkan hukum, dengan menagkap MRS adalah upaya penyelamatan negara. Dan, pembubaran FPI yang bertindak ala teroris,” kata Ninoy K Karundeng. (Aju).