SOLO (IndependensI.com) – Terusiknya kehidupan kebangsaan yang dipicu kasus penistaan agama dalam Pilkada DKI Jakarta membuat seluruh bangsa Indonesia kembali melakukan introspeksi. Selain itu, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, adat, dan budaya, diminta untuk makin memperdalam pemahaman agama dari kitab suci masing-masing, untuk kembali menemukan nilai toleransi sekaligus memperkuat perbedaan yang ada di bumi Indonesia.
Pernyataan itu diungkapkan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA saat menjadi keynote speaker Dialog Lintas Agama Dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme se-Wilayah Jawa Tengah di Solo, Rabu (24/5/2017).
“Marilah kita tanamkan nilai-nilai agama kita masing-masing untuk kembali memperkuat jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Agama itu mestinya mencerahkan dan agama turun untuk memanusiakan manusia sehinggga kita harus menebarkan kedamaian, kecerahan. Itu persis dengan yang disampaikan dalam Al Quran bahwa Allah memuliakan anak cucu Adam, bukan memuliakan orang islam saja,” ungkap
Berdasarkan itu pula, Prof Nasaruddin juga mendukung penuh tergelarnya dialog lintas agama ini. Menurutnya, dialog seperti ini harus terus dilakukan diberbagai tempat. Selama ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melakukan kegiatan ini dan kebetulan kali ini Solo mendapat giliran sebagai tempat penyelenggaaraan.
Menurut mantan Wakil Menteri Agama ini, dialog seperti ini sudah pernah dilakukan Rasululloh Nabi Muhammad SAW dengan menggelar dialog lintas agama di masjid Madinah. Hal ini mencerminkan bahwa sejak awal islam telah mengembangkan budaya dialog untuk memecahkan sebuah masalah.
“Dengan terus mendalami dan mengamalkan nilai agama dalam koridor perbedaan, bangsa Indonesia pasti akan kebal dari berbagai pengaruh paham transnasional yang tujuannya ingin memecah belah NKRI.
Bahkan, lanjut Prof. Nasaruddin, dalam islam, umat wajib menghormati dan mengurus mayat siapa saja tanpa melihat agamanya. Itu artinya, islam sangat menghormati perbedaan. Dengan demikian, bila ada orang yang mengatasnamaan islam, tapi begitu mudah menghilangkan nyawa manusia lain, dia bukanlah orang islam dan bukan pula disebut jihad.
“Jihad dalam islam itu untuk menghidupkan orang. jihad untuk meningkatkan martabat kemanusiaan, dan perekonomian masyarakat, bukan untuk menciptakan keonaran dan kesengsaraan. Dalam islam tidak ada paksaan. Kalau orang sudah tenang dengan agamanya, tidak usah diusik-usik. Urusan kesesatan agama itu biarlah jadi urusan Allah SWT,” terang salah satu Kelompok Ahli BNPT ini.
Ia mengakui, masih ada di masyarakat yang mengusik akidah orang lain. Dan itu kembali ke hati masing-masing dalam menggunakan bahasa agama. Faktanya banyak contoh orang keliru dalam menggunakan bahasa agama sehingga menimbulkan persoalan besar seperti yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta.
“Betapa kalau kita menggunakan bahasa agama, akibatnya sangat besar. Hati-hati menggunakan bahasa agama, jangan gunakan untuk tujuan subyektif atau bisnis dengan memakai ayat atau hadits,” tuturnya.