JAKARTA (Independensi com) –Perbedaan pandangan di antara kedua pihak tentang reformasi militer telah meruncing dalam beberapa bulan belakangan terkait integrasi Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) ke dalam Mliter Sudan atau Sudan Armed Forces (SAF) yang menjadi syarat darurat,yang dikecam kekuatan-kekuatan politik di negara itu sebagai kudeta. Masa transisi Sudan,yang dimulai pada Agustus 2019 pasca Presiden Omar Al Bashr dilengserkan serta direncanakan akan diakhiri dengan pemilu pada awal 2024.
Rangkaian peristiwa berdarah untuk merebut kekuasaan secara paksa dimulai sejak Sabtu pagi, 15 April 2023, yang dilakukan oleh Pasukan Pendukung Cepat (RSF), yang secara terang-terangan menyerang sesama rekan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), di berbagai lokasi di ibu kota, Khartoum, dan kota-kota lainnya. Sedikitnya 550 orang tewas dan ribuan orang lainnya terluka akibat pertempuran antara dua jenderal yang bermusuhan di Sudan,yaitu panglima SAF, Abdel Fattah Al Burhan dan komandan paramiliter RSF, Mohammed Hamdan “Hemedti” Dagalo.
Duta Besar Sudan untuk Indonesia, Yassir Mohamed Ali menegaskan,” Militer Sudan atau SAF telah menghancurkan semua dukungan logistik dasar RSF , sebanyak 85 persen pasukan mereka menyerah, melarikan diri atau dibunuh oleh tentara.” Ini bukan perang saudara, namun tindakan tak terhindarkan oleh SAF terhadap kelompok pemberontak bersenjata, yang mencoba membunuh kepala negara, dan mengendalikan semua lokasi strategis di Khartoum yang dihuni hampir 8 juta penduduk.” jelasnya pada konferensi pers di kediaman Duta Besar Sudan, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, (3/5/2023).
Yassir Mohamed Ali melanjutkan bahwa serangan ofensif ini direncanakan dengan baik, dipersiapkan dengan baik, dan diatur dengan baik, tidak hanya oleh RSF yang memberontak, tetapi juga didukung oleh elemen asing, dalam konspirasi besar untuk mengepung kekuasaan dengan paksa di Sudan.
Konflik internal militer Sudan telah mengancam situasi keamanan negara tersebut, sehingga KBRI Khartoum menetapkan status Siaga II pada tanggal 16 April 2023. Dengan meningkatnya eskalasi konflik tersebut, pada tanggal 20 April 2023, KBRI Khartoum menetapkan status Siaga I. Sejauh ini, terdapat 949 Warga Negara Indonesia (WNI) yang berhasil dievakuasi dari wilayah konflik di Sudan. Rinciannya, 930 orang dievakuasi Jvia Jeddah, 13 orang dievakuasi via Mesir, dan 6 orang dievakuasi via Persatuan Emirat Arab. Mereka dipulangkan dalam empat tahap. Tahap pertama terdiri 385 orang tiba pada 28 April dengan Garuda Indonesia. Tahap kedua terdiri dari 363 orang tiba pada 30 April dengan Garuda Indonesia. Tahap ketiga terdiri dari 75 orang tiba 1 Mei dengan pesawat TNI AU. Sementara 6 WNI mengatur kepulangannya secara mandiri. Adapun tahan keempat terdiri dari 100 orang WNI yang tiba pada Selasa,2 Mei 2023.
Untuk itu, Duta Besar Sudan untuk Indonesia membutuhkan bantuan kemanusiaan. Pihaknya akan menemui Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi untuk membahas hal tersebut. Saat ini Sudan sudah menerima dukungan dari beberapa negara, seperti Oman dan Mesir. Yassir Mohamed Ali berharap bantuan kemanusiaan juga hadir dari Indonesia, khususnya di bidang kesehatan. Sebab, banyak rumah sakit yang hancur akibat konflik di negaranya.
Yassir Mohamed Ali mengungkapkan, sekitar 40 persen rumah sakit rusak karena menjadi sasaran penyerangan. “Kami membutuhkan bantuan kemanusiaan terutama bagi mereka yang terluka dan juga rumah sakit,” ujar Yassir Mohamed. Terkait bantuan itu, pihaknya sudah memiliki daftar kebutuhan.
Sudan telah mendapat dukungan dari Liga Arab,dimana mereka mengutuk keras penyerangan terhadap warga sipil, misi diplomatik dan rumah sakit, dan meminta RSF untuk mengecualikan rumah sakit dari operasi militer. Pada konteks yang sama, Uni Afrika secara samar-samar menggambarkan apa yang terjadi di Sudan adalah masalah internal, dan harus ditangani tanpa intervensi asing; dan semua mediasi dan dukungan kemanusiaan harus dikoordinasikan dengan pemerintah Sudan.
Ditempat yang sama, Yassir Mohamed Ali memprediksi kondisi belajar mengajar di Sudan akan kembali membaik dalam tiga hingga empat bulan ke depan. Ketika situasi membaik, ia berharap Warga Negara Indonesia (WNI) yang sebelumnya menempuh pendidikan di Sudan bisa kembali ke negara tersebut untuk menyelesaikan studinya. “Kami memprediksi situasi ini akan kembali normal mungkin sekitar 3-4 bulan. Insya Allah akan kembali normal sehingga mereka (WNI) dapat kembali ke Sudan dan menyelesaikan studinya,” kata Yassir Mohamed Ali
Kegiatan belajar mengajar mahasiswa RI di Sudan memang terhenti akibat konflik memanas di negara itu. Saat konflik terjadi, banyak mahasiswa asal Indonesia yang akhirnya dievakuasi oleh KBRI Khartoum. Menurut Yassir, mayoritas WNI berstatus pelajar itu berada di ibu kota Sudan, Khartoum. “Mereka belajar di beberapa universitas di Khartoum. Kami memang memiliki banyak universitas di Sudan, di banyak tempat dan berada di Khartoum. Sekarang mereka sudah dievakuasi,” ucap Yassir. (Amytyasari)