JAKARTA (IndependensI.com) – Hoax stigmatif PKI atas Presiden Joko Widodo kembali mendapat respons. Jokowi menyatakan kekesalannya terkait dengan tuduhan bahwa dirinya diidentikkan sebagai pendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dengan kata ‘gebuk’.
Sebagaimana diketahui, kepemimpinan Jokowi menghadapi serangan serius stigma mendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dan menduduki sejumlah jabatan strategis. Sejak menjelang Pemilu 2014, isu ini terus dihembuskan oleh lawan politik Jokowi yang secara sistematis akan berpotensi melemahkan elektabilitas Jokowi pada 2019. Bagaimana pun, di era pasca kebenaran (post-truth era), hoax yang diproduksi secara sistematis dan berkelanjutan akan dianggap kebenaran oleh para pembaca atau penerima pesan. Karena itu ekspresi Jokowi dapat dipahami sebagai upaya menolak pengarusutamaan (mainstreaming) hoax PKI itu agar tidak menjadi kebenaran palsu.
“Hoax semacam ini jelas merupakan kerja politik oleh pihak-pihak yang disengaja (by design) untuk tujuan-tujuan politik tertentu, bisa dilakukan oleh pendukung parta-partai politik, bisa juga oleh kelompok professional yang dipekerjakan sebagai pihak yang bertugas melemahkan legitimasi kepemimpinan Jokowi. Sebagai bagian dari bentuk tindakan pelanggaran hukum, penyebar hoax harus ditindak secara hukum,” kata Ketua SETARA Institute Hendardi, Kamis (15/03/2018).
Ia mengatakan namun demikian, cara polisi merespons kegelisahan Jokowi tidak boleh kontraproduktif sehingga menunjukkan institusi Polri berpolitik. “Polri harus memastikan penindakan atas penyebar hoax dan jejaring intelektualnya murni berdasarkan fakta-fakta peristiwa. Langkah itu pun harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sehingga tidak terjadi generalisasi penindakan, yang justru akan melemahkan independensi dan netralitas Polri. Pendekatan preventif yang demokratik bisa menjadi pilihan Polri dalam bersikap, karena pendekatan represif yang tidak terukur hanya menyenangkan penyebar hoax dan kekuatan-kekuatan yang mempolitisasi isu PKI di tengah kontestasi politik. Pendekatan represif ini pula yang justru akan mengoyak dukungan kelompok prodemokrasi pada Jokowi dan mengikis elektabilitasnya saat kontestasti politik itu tiba,” papar Hendardi.
Hendardi menyatakan paralel dengan langkah penegakan hukum, edukasi publik untuk meningkatkan literasi media menjadi tugas banyak pihak. Publik bahkan dituntut menjadi bagian dari pemberantas hoax dengan senantiasa kritis membaca dan menyimak berita, tidak menyebarkan hoax, dan melaporkan pihak-pihak yang memproduksi hoax, karena hoax adalah sampah demokrasi.