JAKARTA (Independensi.com) – Produk akuakultur menjadi keniscayaan untuk meningkatkan daya saing baik di pasar domestik maupun ekspor. Oleh karena itu, sebagai bagian penting dalam suplai kebutuhan pangan, maka aspek keamanan pangan menjadi suatu hal yang tak dapat dipungkiri dalam meningkatkan preferensi konsumen.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto dalam keterangannya di Jakarta. Kamis (29/11/2018).
Slamet menjelaskan lebih lanjut bahwa seiring dengan tren kebutuhan ikan yang kian meningkat, maka subsektor akuakultur harus yang terdepan dalam mensuplai kebutuhan tersebut. Namun demikian menurut Slamet, produk yang dihasilkan harus dapat dipertanggungjawabkan dari aspek mutu dan keamanannya.
“Ini bentuk tanggungjawab kita, bahwa aspek keamanan pangan harus dikedepankan untuk menjamin kesehatan masyarakat sebagaimana amanat dalam UU nomor 18 tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan. KKP dalam hal ini sangat berkomitmen, salah satu dengan dikekuarkannya Permen KP No 39 tahun 2015 tentang Pengendalian Residu Obat Ikan, Kimia dan Kontaminan”, jelas Slamet
Berdasarkan data hasil monitoring residu dari tahun 2010 – 2018 menunjukkan bahwa data hasil uji non compiant (NC) terus menurun, bahkan data hingga triwulan IV tahun 2018 belum ada sampel yang terdeteksi mengandung residu atau non compiant.
Disamping itu, capaian dari pembangunan sistem monitoring residu nasional tersebut telah berhasil meningkatkan kepuasan para buyer terhadap kualitas produk perikanan Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum pernah mendapat laporan atau surat Rapid Allert System For Food and Feed (RASFF) dari negara buyer khususnya terkait cemaran atau residu pada produk perikanan budidaya kita yang di ekspor.
“Ini adalah suatu prestasi yang dapat kita banggakan bersama, karena berkat kerja keras kita bersama selama ini, produk perikanan budidaya yang diekspor memiliki daya saing dan nilai jual yang sangat kompetitif”, imbuhnya.
Hasil audit DG Sante Simpulkan tak ada Temuan Mayor pada Proses Produksi Akuakultur
Sebagaimana diketahui, bulan lalu Tim Auditor dari DG Sante, Uni Eropa telah melakukan audit sistem mutu dan keamanan pangan di 2 Provinsi yakni Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Dari draft laporan hasil investigasi yang diterima KKP menunjukkan bahwa temuan tersebut sebagian besar tidak bersifat mayor, artinya lebih terhadap kesesuian persyaratan antara regulasi nasional dengan regulasi yang berlaku di Uni Eropa.
Tim auditor UE juga menyampaikan apresiasi terhadap upaya Pemerintah Indonesia untuk bisa meyakinkan konsumen masyarakat Eropa terhadap keamanan pangan produk perikanan Indonesia. Ini dibuktikan dengan hanya 3 (tigs) rekomendasi yang diberikan oleh tim auditor UE dalam draft laporan audit.
Ketiga rekomendasi tersebut secara garis besar terkait dengan : (1) Ruang lingkup NRMP harus sudah mencakup kegiatan pembenihan, substansi uji erythromycin serta lokasi yang ekspor ke UE yang harus disampling meskipun dari segi produksi masih relatif rendah; (2) Penerapan ISO 17025 di laboratorium harus dioptimalkan termasuk kegiatan validasi dan tindak lanjut hasil profisiensi test; dan (3) Tindak lanjut dan investigasi yang dilakukan terhaap unit budidaya yang terdeteksi residu harus diperluas ke kolam/tambak dan lingkungan sekitarnya.
“Rekomendasi UE ini, tentunya menjadi PR bersama untuk secara konsisten melaksanakan rekomendasi tersebut dan ini baik sebagai bahan acuan kebijakan sistem pengendalian residu nasional. Dalam rangka menyukseskan program monitoring residu kami berharap prosedur monitoring residu bisa dijalankan oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari pengambilan sampel sesuai alokasi sampel, pengiriman sampel, pengujian dan input data di setiap tahapan.Tidak kalah pentingnya adalah optimalisasi penggunaan anggaran, penempatan personil/SDM yang kompeten pelaksana monitoring residu, dan upaya pengembangan kapasitas laboratorium penguji residu yang perlu dilakukan terus menerus”, pungkas Slamet.
Menindaklanjuti rekomendasi UE tersebut KKP akan mendorong pemetaan rencana aksi mulai dari level Pusat, Provinsi maupun laboratorium. Perencanaan, implementasi yang didukung dengan ketersediaan regulasi dan Standar Operaional Prosedur (SOP) yang sudah diharmonisasikan dengan regulasi internasional harus mulai jadi fokus perhatian.
Nice posts! 🙂
___
Sanny